Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gara-gara penyelenggaraan Piala Thomas dan Uber pada 11-18 Mei lalu, demam bulu tangkis melanda Tanah Air. Ribuan penonton mendatangi Gedung Istora Senayan untuk memberikan dukungan kepada atlet bulu tangkis nasional yang tampil membela Merah-Putih. Jutaan lainnya menyaksikan lewat layar kaca, sambil mendoakan dari jauh.
Mungkin berkat dukungan dan doa para pencinta bulu tangkis itu, prestasi pemain Indonesia dalam kejuaraan kali ini mencatat kemajuan. Setelah lama terpuruk, tim Uber mampu mencapai babak final, setelah mengalahkan tim-tim yang dianggap lebih kuat. Pencapaian target juga dipenuhi tim Thomas.
Kemajuan itu patut disyukuri. Bulu tangkis merupakan satu-satunya cabang olahraga yang mampu menerbitkan rasa bangga rakyat Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, atlet kita mengalami paceklik prestasi.
Salah seorang yang prihatin terhadap merosotnya prestasi pemain Indonesia adalah Rudy Hartono. Legenda bulu tangkis yang terlahir dengan nama Nio Hap Liang 59 tahun lalu itu menjadi satu-satunya pemain bulu tangkis Indonesia yang mampu delapan kali menjuarai turnamen All England. Ia, bersama timnya, juga empat kali merebut Piala Thomas pada 1970, 1973, 1976 dan 1979.
Hampir sepanjang hayat Rudy tak lepas dari olahraga tepok bulu itu. Demi bulu tangkis, ia harus melupakan cita-citanya menjadi dokter. Setelah gantung raket, ia menjadi pengurus Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia dan pernah menduduki posisi Ketua Bidang Pembinaan.
Selasa pekan lalu, Rudy berbincang dengan Grace S. Gandhi, Yudono Yanuar, Ahmad Taufik, dan Sahala Lumbanraja dari Tempo, tentang pasang-surut bulu tangkis Indonesia. Berikut petikannya.
Mengapa regenerasi pemain bulu tangkis Indonesia begitu lamban?
Sejak zaman saya sampai sekarang memang kurang persiapan untuk kesinambungan prestasi. Kalau mau berhasil, paling lama lima tahun sekali harus ada pemain baru. Bila tidak terjadi, berarti pemassalan tidak sampai ke bawah. Kenapa? Karena kita tidak menciptakan sistem. Ini tidak bisa dilakukan Persatuan Bulu Tangkis sendiri.
Siapa yang bisa?
Pemerintah. Wong, pemerintah yang punya dana, kok. Bayangkan, di negara lain, misalnya Malaysia, dana untuk bulu tangkis tidak terbatas. Singapura apalagi. Kalau perlu, pemain dibeli.
Berapa anggaran untuk bulu tangkis?
Pemerintah hanya menyumbang kalau ada SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade. Tapi sebenarnya bukan semata soal anggaran. Ini soal sistem seperti yang saya katakan tadi. Kalau kita mau mencari bibit baru, ke mana mencarinya? Di sekolah-sekolah!
Mengapa sekolah?
Di seluruh Indonesia mungkin ada sekitar 150 ribu sekolah dasar. Satu sekolah kan muridnya 400 orang. Di seluruh Indonesia ada 60 juta murid sekolah dasar. Kalau 10 persen dari 60 juta itu main bulu tangkis, dapat 6 juta. Kalau diperas lagi 5 persen dari 6 juta ini, didapat 300 ribu anak. Diperas lagi 1 persen saja, diperoleh 3.000 anak, dan diperas lagi dapat 30 anak.
Selama ini pembibitan seperti itu tidak jalan karena pemerintah tak punya dana.…
Bukan soal dana. Bikin aturan saja. Contohnya, bulu tangkis masuk ke sekolah-sekolah dasar di ibu kota provinsi saja.
Bulu tangkis harus masuk dalam kurikulum sekolah?
Harus. Pragmatis saja. Yang menjadi juara dunia itu atlet cabang mana saja? Itu saja yang dituju. Enggak usah pusing. Voli, basket, atau renang tidak mungkin. Sepak bola? Nanti dulu. Ruangannya terlalu besar. Yang juara dunia? Bulu tangkis. Tenis meja mungkin bisa. Apa lagi? Tidak banyak. Jadi, konsentrasi ke situ saja.
Tapi itu butuh dana besar?
Enggak. Wong, sponsor ada di mana-mana. Pemerintah daerah juga harus diajak. Sepuluh tahun lalu saya datang ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, mengemukakan ide ini. Bulu tangkis masuk ke sekolah dasar. Tapi belum apa-apa menterinya bilang: “Percuma, karena guru sudah penuh pelajaran semua.” Lha, top level-nya saja bilang begitu. Apa waktu itu enggak langsung lemes?
Apakah peran pemerintah dan sekolah memang penting untuk pembinaan bulu tangkis?
Kenapa harus pemerintah, karena ini sistem. Jalurnya di sekolah. Sekarang, karena tidak ada pemain lain, yang ada hanya pemain ini, padahal tidak ada potensi menjadi juara dunia. Mau diapakan? Karena adanya cuma satu orang ini, dihajar habis-habisan. Kalau memang bukan jenius, apa mau dipaksakan? Enggak bisa! Jadi, penyelesaiannya bagaimana? Mudah. Cari yang banyak.
Tentu dibutuhkan banyak pelatih bila bulu tangkis masuk kurikulum sekolah….
Itu enggak sulit. Guru sekolah dasar bisa dilatih. Saya ditanya kenapa enggak mulai dulu? Saya enggak bisa kalau enggak dikasih fasilitas. Kalau ada fasilitas, baru mau. Ini untuk kepentingan umum.
Bagaimana peran Kementerian Olahraga?
Kuncinya bukan di Kementerian Olahraga tapi di Departemen Pendidikan. Character building itu salah satunya di olahraga. Anak-anak muda harus dibangun wataknya supaya sportif, berani mengakui kekalahan. Sekarang ini, kalau kalah, terus lempar batu. Orang lain yang kena.
Minat anak muda sekarang terhadap bulu tangkis amat rendah?
Ini salah kita semua, karena tidak memberikan fasilitas. Tidak memberikan kesempatan kepada mereka. Penghargaan di sekolah juga tidak ada. Coba lihat Amerika. Kalau murid atau mahasiswanya ikut tim olahraga, sekolah bangga. Padahal tidak dibayar, hanya dikasih beasiswa. Kasih beasiswa itu berapa sih?
Zaman Anda dulu juga tidak ada hadiah uang….
Enggak ada. Tapi penghargaan dalam bentuk lain bisa dilakukan. Kalau terus begini, bagaimana mau menang melawan Cina? Saya yakin, 100 tahun lagi juga tak bakalan menang. Kenapa? Sistemnya kalah kok. Kecuali muncul yang jenius, model Taufik Hidayat.
Bagaimana caranya agar muncul pemain seperti Taufik?
Kita harus menjemput bola. Harus menciptakan. Tidak bisa menunggu. Sekarang baru terasa, ternyata Taufik sudah waktunya... (lengser). Memang sudah 28 tahun.
Bila kondisi terus begini, apa yang akan terjadi dengan bulu tangkis nasional dalam lima tahun ke depan?
Pokoknya akan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kalau 10 tahun lagi baru muncul bibit baru, malah bisa saja 15 tahun atau 20 tahun lagi, lama-lama akan mandek. Sekarang, setiap kali ketemu orang, mereka bilang malas menonton bulu tangkis. Kenapa? Karena kalah...!
Negara mana yang paling bagus regenerasi atletnya?
Cina tidak ada lawannya. Anda tahu Provinsi Guangzhou? Saya datang ke satu sekolah di sana. Kaget. Isinya pelajaran olahraga semua, khususnya olahraga yang dikuasai Cina seperti loncat indah, senam, dan bulu tangkis. Di loncat indah, anak umur enam tahun sudah sekolah di situ.
Mereka membuat sekolah berasrama?
Iya. Kayak pelatihan nasional. Pagi-sore olahraga terus. Tidak ada yang malas latihan. Kalau malas, out. Apa kita punya yang seperti itu? Enggak ada.
Apakah metode pelatihan di Indonesia ketinggalan dibanding negara lain?
Memang metode pelatihan harus berkembang. Yang paling bagus, setiap pemain hanya punya satu pelatih. Seperti Taufik, pelatihnya satu itu saja. Itu memang yang benar. Kalau melatih lebih dari tiga orang, pasti puyeng. Kalau yang dilatih hanya satu atau dua orang, pasti tahu si X karakternya begini, si Y begitu.
Sistem pelatihan nasional kurang bagus?
Lama-kelamaan pelatihan nasional kurang efektif, karena pemain jadi manja. Semua disiapkan, tapi tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Susahnya pemainnya cuma itu-itu saja. Berani mengeluarkan tidak, kalau dia tidak disiplin? Selama ini tidak ditindak karena tidak ada penggantinya. Kok, bisa begitu? Karena tidak ada pilihan.
Dulu, bagaimana cara Anda berlatih?
Dulu saya berlatih hanya untuk satu jurus saja, bisa bertahun-tahun. Misalnya saya mau membuat lawan saya tidak tahu apakah saya akan melakukan smes atau pukulan biasa, itu latihan bertahun-tahun. Tidak ada orang menonton dan itu bikin lemas, capek, atau bosan. Tapi tidak ada pilihan karena memang mesti begitu.
Apakah memang harus makan waktu begitu lama?
Untuk membentuk muscle memory, memori otot, tidak mungkin cuma satu dua tahun. Muscle memory itu bagaimana membuat raket bisa menjadi seperti tangan. Bagaimana mau memukul bola ke sana tapi gerakannya seolah mau ke sini untuk mengecoh lawan. Bagaimana... rettt... membuat lawan kaget satu-dua detik. Dalam bulu tangkis, satu-dua detik itu bukan sebentar. Muscle memory itu bagaimana membuat otak dan otot bisa menjadi satu kesatuan. Kelihatannya sederhana tapi sebetulnya tidak. Mau smes saja ada tekniknya. Kalau seorang pemain memukul bola enak tapi tidak masuk, berarti ada sesuatu yang enggak beres.
Dulu fasilitas latihan amat minim tapi bisa menghasilkan pemain luar biasa?
Memang manusia di mana saja kalau terlalu gampang mendapat fasilitas biasanya jadi menggampangkan. Sekarang ada pelatih, makanan, tempat tidur, kesempatan ke luar negeri mudah, tidak dimanfaatkan.
Bakat saja tidak cukup?
Enggak cukup. Mesti gigih. Pemain bulu tangkis itu harus mikir. Enggak bisa hanya latihan. Harus berpikir dan menjiwai. Bagaimana caranya mau men-smes ...takkk... mesti latihan dan mikir. Yang seperti itu dibutuhkan kerja sangat keras. Harus konsentrasi total. Tidak boleh lihat kiri-kanan. Enggak gampang menciptakan suasana itu.
Mungkinkah pemain bulu tangkis menjadi pemain profesional sehingga harus mengurus diri sendiri?
Mereka memang harus dilepas. Latihan sendiri, semua sendiri. Kaya, ya, kaya sendiri. Kalau negara butuh, baru dipanggil latihan bareng. Ketimbang keadaan sekarang, ada pemain protes karena pembagian hadiah yang kurang.
Jadi, pelatihan nasional dibubarkan saja?
Pelatihan nasional harus dibenahi, dilihat lagi apa yang terbaik. Pelatihan nasional masih tetap ada tapi bukan untuk terus-terusan. Kenapa? Pusing ngurusin-nya. Kalau sekian tahun tidak juga menjadi juara, dikeluarkan saja. Ini benar-benar harus ditegakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo