Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Australia dan Pergulatan Dadang

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FERNY Hills. Kawasan yang lokasinya 11 kilometer dari Brisbane itu mirip Kaliurang, Yogyakarta. Dari ketinggian perbukitannya, bila malam hari, dapat dilihat kerlap-kerlip Kota Brisbane. Di situlah perupa Dadang Christanto tinggal.

Dadang menempati rumah dengan tanah seluas 1.300 meter yang dibelinya A$ 385 ribu atau hampir Rp 3,5 miliar. Halaman belakangnya yang luas menyambung dengan kawasan hutan eucalyptus. Di situ ia hendak membangun galeri kecil-kecilan. Telah sepuluh tahun Dadang tinggal di Australia dan menjadi penduduk tetap.

Dadang mengikuti Trienal Asia Pasifik 1993. Pada 1999 ia diundang untuk mengajar performance art di University of Northern Territory, Darwin. Itulah awal ia tinggal di Australia. Ia memboyong istrinya, Nana-bekas wartawan harian Bernas-dan anak-anaknya, Tuk Gunung Tan Aren (kini 13 tahun) dan Embun Tan Aren (kini 9 tahun) dari Yogya. Empat tahun di Darwin, pada 2004 ia pindah ke Sydney, mengajar di COFA College of Fine Art, University of South Wales. Tapi rencana mengajar tiga tahun di sana lalu menjadi satu semester. "Kota itu mahal sekali," kata Dadang. "Saya tak kuat menyewa studio," katanya.

"Saya kemudian memutuskan menjadi seniman total." Ia berani melakukan pilihan itu setelah memperoleh kontrak dengan Sherman Galleries, Sydney. Sherman mengurusi semua aktivitas Dadang dan mencarikan kolektor papan atas untuknya. "Bahkan ketika saya mengadakan pameran di CP Foundation Jakarta, Sherman membelikan tiket pesawat dan mengirimkan orangnya ke Jakarta untuk membantu," tuturnya. Pembagian dirinya dengan Sherman 40 persen dan 60 persen. Beberapa karya Dadang sendiri, seperti instalasi Red Rain, dibeli oleh Sherman dan disumbangkan ke Galeri Nasional Australia, Canberra. Maka, ketika Sherman Galleries berubah menjadi yayasan, Dadang perlu menyewa art dealer. Ia sampai memiliki dua art dealer, satu di Brisbane dan satu di Canberra.

Para art dealer-nya itu tidak memasukkan karya Dadang untuk lelang. "Lelang di sini tidak seheboh di Jakarta. Para kolektor lebih percaya membeli di galeri daripada lelang." Di Australia galeri lebih kuat daripada lelang. Karya yang laku di lelang belum tentu diterima di galeri publik. "Maka, bila saya menaikkan harga lukisan saya di lelang, itu sama saja bunuh diri," tuturnya. Jadi lebih baik ia mengikuti harga galeri yang stabil tapi aman. Di Australia, menurut dia, seorang perupa lebih bangga apabila karyanya dibeli oleh museum atau galeri. Dadang ingat, karya instalasi bambunya dibeli GOMA A$ 35 ribu. "Waktu itu saya langsung pesta kambing guling di Kaliurang."

Pernah Dadang memperoleh proyek di Albani, sebuah kota kecil di Australia barat dekat Perth, yang bila Juli tiba banyak ikan paus yang bermigrasi dari Antartika ke teluk-teluk Albani. Di situ ada dua taman nasional yang lokasinya terpisah. Pemerintah Perth ingin menyambungkan dua cagar alam ini, dan membebaskan tanah sekitar seribu hektare. Dadang diberi jatah tanah 20 hektare untuk karyanya. "Saya sudah bermimpi macam-macam," katanya. Tapi ternyata proyek gagal, karena di kawasan itu ada bukit sakral milik orang Aborigin, dan otoritas pemerintah tidak berani melanjutkan.

Di Australia Dadang juga kerap memperoleh commissioned project. Pada Juni ini di Darwin ia membuat patung pohon berbentuk tangan dari besi dan aluminium setinggi empat meter. Karya Dadang bakal diletakkan di pintu masuk Cultural Centre yang dibangun sebuah perusahaan Jepang.

Dadang aktif terlibat dalam aneka festival: dari Adelaide Biennale sampai Perth International Festival. Sejak empat tahun lalu ia tinggal di Brisbane. Di studionya di Ferny Hills, ia sibuk membuat gambar-gambar motif batik. Menurut Dadang, karyanya berupa gambar kepala dengan latar dot-dot (titik-titik) yang pernah dipamerkan di Sherman Galleries, dipandang beberapa orang terpengaruh seni rupa Aborigin tradisional yang banyak menggunakan unsur dot-dot. "Dot dot saya padahal inspirasinya dari batik Jawa," kata Dadang. Tahun ini Australian Art Collector-sebuah majalah panduan para kolektor- memilih 50 perupa di Australia yang karyanya layak dikoleksi (50 Most Collectable Artist 2008) dan Dadang salah satu yang terpilih.

Demikianlah Dadang-yang pernah membungkus kantor biro Tempo di Yogya dengan kain hitam, ketika majalah ini dibredel pada 1994-kini menjadi bagian dari kehidupan seni rupa kontemporer Australia. Bahkan kurator GOMA, Diane Moon, sangat ingat nama anjing labrador hitam milik Dadang, yang diberi nama Jawa: "Siapa itu nama anjingnya...?" Langes.

SJS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus