Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrian Panggabean
Prognosis saya di majalah ini (Tempo, 11 Februari 2008) banyak yang telah menjadi kenyataan. Pasar modal Indonesia berfluktuasi tajam akibat adanya koreksi terhadap persepsi risiko, dan menyebabkan guncangan di pasar obligasi dan volatilitas di pasar ekuitas. Harga minyak terus merambat naik. Demikian pula tekanan inflasi akibat lonjakan harga komoditas yang diaksentuasi oleh pelemahan nilai dolar.
Semua gejala pemburukan faktor eksternal ini bukan hal baru. Gejala itu telah lama terlihat. Sejak akhir 2006, misalnya, lingkaran pengambil kebijakan di Asia sudah ramai mengantisipasi harga minyak akan mencapai US$ 100. Sejak Maret 2008, antisipasi sudah mulai dibuat untuk menghadapi harga minyak US$ 150 pada tahun ini. Naiknya harga pangan dan komoditas sudah mulai dibicarakan sejak awal 2007. Dan implikasi makro dari melemahnya nilai dolar sudah ramai dibicarakan sejak pertengahan 2007. Di banyak negara Asia, pengambil kebijakan paham akan pentingnya sebuah scenario planning.
Sayangnya, semua fakta lapangan dan prognosis tadi tidak diperhitungkan secara rapi dalam proses perumusan kebijakan ekonomi kita. Tim ekonomi pemerintah sampai saat ini tidak mampu menerbitkan solusi jitu. Sebagai akibat dari kurang pekanya mereka dengan semua gejala yang muncul itu, asumsi-asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara harus terus direvisi.
Ironisnya, proses revisi asumsi APBN selalu diiringi oleh siklus self-denial, optimisme berlebihan, dan pembelaan diri. Lingkungan eksternal yang tidak bersahabat pun ikut-ikutan disalahkan. Untuk perilaku kebijakan yang seperti ini, ucapan Rabindranath Tagore, pujangga India termasyhur, mungkin relevan: ”We read the world wrongly and say that the world deceives us”.
Lima bulan hampir berlalu sejak dimulainya tahun anggaran 2008, namun tim ekonomi pemerintah tidak kunjung memberikan arah kebijakan yang jelas kepada para pelaku ekonomi. Tim ekonomi berkutat dengan wacana mengontrol pola konsumsi BBM lewat berbagai usul penghematan—mulai dari meributkan definisi pembatasan konsumsi, teknik pembatasan, sampai ide heroik untuk membatasi jam operasi pusat belanja. Ada kesan kuat tim ekonomi pemerintah melupakan salah satu diktum penting kebijakan ekonomi: ”You can’t have both the markets and a government decree setting the price of a commodity, because one will displace the other”.
Keragu-raguan dalam mengambil keputusan, karena terlalu banyak menunggu, pun telah memunculkan ongkos fiskal yang tidak sedikit. Dalam hitungan saya, besarnya mencapai Rp 5 triliun per bulannya. Majalah Tempo minggu lalu pun melansir sebuah perhitungan yang mirip. Artinya, sejak Januari 2008 saat APBN versi lama diluncurkan di tengah-tengah harga minyak yang merambat naik, opportunity loss yang sudah muncul akibat keragu-raguan mencapai hampir Rp 23 triliun (US$ 2,5 miliar). Tim ekonomi tampaknya perlu diingatkan akan diktum penting lain: ”Policy indecision has opportunity costs”.
Mungkin mereka juga lupa bahwa esensi dasar dari operasi fiskal bertujuan menjaga likuiditas dalam sistem perekonomian. Saat ini sistem fiskal kita sudah mengalami guncangan likuiditas. Pada saat anggaran gagal menjaga likuiditas dalam sistem ekonomi, pada saat itu pula otoritas kebijakan fiskal sebenarnya telah gagal.
Lalu bagaimana dengan kebijakan moneter kita? Saya terkejut dengan kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 8,25 persen. Ada tiga alasan.
Pertama, dalam kurun tujuh bulan terakhir Bank Indonesia telah mengirim dua sinyal yang bertolak belakang. Padahal latar belakang kondisinya tetap sama: tekanan inflasi dari sisi penawaran telah di ambang pintu dan perekonomian Indonesia masih tumbuh di bawah laju pertumbuhan potensialnya (baca: output gap yang ada masih membutuhkan dorongan dari sisi moneter).
Penurunan suku bunga yang terus-menerus pada beberapa bulan yang lalu jelas mengindikasikan bahwa ekonomi membutuhkan dorongan kebijakan sisi moneter. Dilihat dari sudut ini, dinaikkannya BI rate secara tiba-tiba jelas membingungkan. Mengapa harus naik? Dengan keputusan itu, Bank Indonesia secara mendadak berbalik arah dan memberikan sinyal bahwa ekonomi kita tidak lagi membutuhkan dorongan dari sisi moneter. Juga, momentum inflasi dari output gap sudah begitu besarnya, sehingga bank sentral perlu menginjak rem.
Bila Bank Indonesia memang mengantisipasi tekanan inflasi dalam bulan-bulan mendatang, mengapa kenaikan suku bunga baru dilakukan sekarang? Sebab, prekondisi saat ini kurang lebih sama dengan tujuh bulan lalu. Kerangka inflation targeting mengisyaratkan bahwa kenaikan suku bunga itu seharusnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Pembalikan arah sinyal ini memberikan kesan kuat bahwa pengambil kebijakan di Bank Indonesia pun berada di belakang kurva alias reaktif.
Kedua, Bank Indonesia seharusnya mendasarkan langkahnya pada ”ekspektasi inflasi” yang muncul dari tekanan output gap (alias demand-pull), dan bukan sebagai reaksi terhadap tekanan cost-push, apalagi yang sifatnya eksternal. Bila tekanan inflasi ini disebabkan oleh harga minyak dan komoditas di pasar dunia, mengapa Bank Indonesia justru ingin membunuh ekonomi dengan kenaikan suku bunga? Bila dengan menaikkan suku bunga Bank Indonesia mengharap bisa menjaga inflasi pada satu digit (katakanlah 8-9 persen) tapi bukankah itu akan berdampak pada kian melambatnya mesin ekonomi? Bukankah harga kebijakan seperti itu terlalu mahal? Bukankah lebih bijaksana bila bank sentral menjaga suku bunga tetap pada delapan persen?
Ketiga, apakah Bank Indonesia juga lupa bahwa kebijakan moneter cenderung tidak efektif pada saat postur kebijakan fiskal sedang terjepit alias tidak efektif mendorong perekonomian?
Beberapa minggu terakhir ini tim ekonomi sibuk melempar skenario bahwa pertumbuhan ekonomi masih mencapai 6 persen walaupun inflasi diperkirakan 9-10 persen.
Dari kaca mata praktisi kebijakan, skenario ini terlihat kurang realistis. Bagaimana caranya pertumbuhan ekonomi hanya akan turun 0,4 persen (dari target semula) pada saat inflasi diperkirakan meledak ke arah double digit? Beberapa kawan diskusi saya yang duduk di lembaga multilateral dunia pun ikutan menggaruk kepala melihat skenario seperti itu. Mereka bertanya: apakah itu cerminan optimisme yang berlebihan?
Simpang-siurnya sinyal kebijakan yang dilemparkan oleh tim ekonomi bisa mengakibatkan, dalam beberapa bulan ke depan, pelaku pasar melakukan revaluasi terhadap persepsi bisnis. Dan efeknya, bisa jadi, adalah penurunan permintaan kredit. Artinya, postur kebijakan seperti ini membuka kemungkinan terjadinya liquidity squeeze di sektor finansial.
Tekanan inflasi dan ketidakjelasan arah kebijakan makro juga akan mengaksentuasi kegamangan investor di pasar aset. Pasar modal boleh jadi akan terus melorot dari bulan ke bulan. Pasar obligasi tetap rentan. Dan yield dari instrumen Surat Utang Negara akan cenderung tinggi (yang pada gilirannya akan membebani anggaran). Hal ini, pada gilirannya, akan mengaksentuasi jepitan likuiditas yang telah muncul di pasar aset.
Dengan merambat naiknya harga-harga di toko dan kedai, likuiditas pada sisi rumah tangga pun ikut-ikutan tererosi. Dan yang paling jelas terganggu adalah likuiditas penghuni rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah.
Dengan prognosis di atas, saya melihat betapa ekonomi kita sedang, dan akan, dikepung oleh kendala likuiditas dari berbagai sisi: fiskal, moneter, pasar aset, dan juga rumah tangga masyarakat. Dan ini terjadi karena tidak koherennya format dan koordinasi kebijakan ekonomi serta keragu-raguan berkepanjangan dalam mengambil keputusan ekonomi.
Prognosis di atas juga yang membawa saya pada dimensi persoalan yang lebih besar: strategi ekonomi pemerintah.
Dimensi pertama berkait dengan arah haluan kebijakan. Masalah terbesar dari tim ekonomi pemerintah, paling tidak dilihat dari kaca mata pelaku pasar, adalah tidak tampaknya target final yang ingin dituju. Apakah mereka ingin pertumbuhan atau stabilitas harga? Apakah ingin mengatasi kemiskinan dan pengangguran atau ingin sekedar menjaga keseimbangan neraca anggaran? Dalam situasi normal tidaklah sulit mencapai keduanya. Tapi dalam situasi yang serba sulit ini, tim ekonomi harus memilih. Masalahnya, mereka tidak memilih arah haluan.
Dimensi kedua berkaitan dengan pilihan strategi. Dalam makalah terbarunya yang dikirimkan kepada saya (dimuat awal 2008 ini di jurnal Asian Economic Papers terbitan MIT dan Columbia University), Profesor Iwan Jaya Azis mengungkapkan bahwa lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia terkait erat dengan strategi kebijakan makroekonomi kita yang terus-terusan mengadopsi pendekatan konservatif (yang menggunakan permintaan agregat untuk mengatasi inflasi dan penawaran agregat untuk mendorong pertumbuhan). Padahal komposisi aktiva dan pasiva dalam neraca di perbankan Indonesia, asimetri informasi di pasar, dan tingginya agency cost menyebabkan bukan saja terjadinya credit rationing melainkan juga tidak efektifnya kebijakan moneter dalam pengelolaan makroekonomi.
Itu berarti, bila tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, postur anggaran negara justru sebenarnya harus lebih ekspansif—dan bukan sebaliknya. Makna lain, lemahnya momentum pertumbuhan kita antara lain dikarenakan kekeliruan tim ekonomi pemerintah dalam memilih ”strategi dasar perang” yang sesuai.
Bila tidak segera diatasi, kepungan likuiditas ini akan memperburuk tingkat kemiskinan dan pengangguran. Pada titik itu kekeliruan kebijakan ekonomi akan berjumpa dengan realitas politik.
Apa kira-kira pelajaran terbaik yang boleh saya bagikan kepada kawan-kawan di tim ekonomi pemerintah? Saya pernah menonton sebuah film dokumenter mengenai Robert McNamara, mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat yang juga mantan Presiden Bank Dunia. Dalam salah satu advisnya dia berkata: ”if we keep engaging in something that we can’t either win, lose, or drop, it shows that we encounter instability in ideas.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo