Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Perkenalkan, Aborigin Urban

Populasi Aborigin di wilayah Queensland mencapai 30 persen dari seluruh warga Aborigin Australia. Pemerintah, galeri, universitas-universitas di Queensland memberikan perhatian terhadap seni rupa Aborigin, terutama yang kontemporer.

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ROCKHAMPTON adalah sebuah kota kecil. Kota itu dapat ditempuh satu jam perjalanan naik pesawat dari Brisbane. Pagi itu, Ibu Kathy Ramm, petugas untuk bagian mahasiswa internasional di Central Queensland University, mengantar Tempo keliling-keliling kota mungil itu dengan mobil tuanya. Umurnya mendekati 60 tahun, tapi masih lincah dan, menurut dia, tiap hari menyopir sendiri.

”Lebih banyak ternak daripada orang di kota ini,” katanya, tertawa. Kami menuju Aboriginal Cultural Centre bernama Dream Time. Sebuah tempat dengan kawasan pepohonan yang luas. Di sini terdapat sebuah lapangan untuk belajar menggunakan bumerang. Dan memang, bila dilontarkan, bumerang bisa melenting jauh dan bisa balik ke genggaman tangan. Letak Cultural Centre itu hanya 10 menit dari pusat studi spiritualitas Aborigin yang dimiliki universitas.

Banyak universitas di Queensland memiliki kajian tentang Aborigin. Universitas Sunshine Coast, yang letaknya dekat pantai Sunshine Coast, misalnya, memiliki koleksi lukisan Aborigin yang cukup banyak. Ketika berkunjung ke sana dua pekan lalu, galeri universitas tengah memamerkan koleksi lukisan Aboriginnya bertajuk Western Desert Art. ”Karya-karya ini adalah karya warga Aborigin yang masih nomaden di gurun. Mereka diundang untuk melukis,” kata Dawn Oelrich, kurator galeri.

Ruang Profesor Robert Stable, rektor universitas swasta Bonn di Gold Coast, dindingnya juga penuh lukisan Aborigin. Akan halnya di Universitas James Cook, Townsvile, mahasiswa asal Indonesia, Maulita Sari Hani, melakukan riset membandingkan tari, kesenian Papua dengan kesenian Aborigin. ”Saya riset di Papua dan juga di sini,” katanya. Bila kita mengunjungi Universitas Griffith di jantung Brisbane, di fakultas seni murninya juga ada jurusan spesialis mempelajari seni rupa Aborigin.

Tiga puluh persen dari populasi Aborigin Australia berada di wilayah Queensland. Bahkan sejak 2003 pemerintah Queensland memiliki departemen bernama Queensland Indigenous Arts Marketing and Export Agency yang bertugas mempromosikan karya-karya seni rupa Aborigin dan juga warga asli Torres Strait Islander.

Menurut Helena, corak seni rupa Aborigin di Queensland agak berbeda dengan Aborigin di daerah lain, terutama Aborigin yang berasal dari daerah Arukun, Mornington Island, Lockhart River di East Cape York. ”Karya-karya mereka tak banyak menampilkan dot seperti umumnya Aborigin dan warnanya cerah-cerah,” ujarnya.

”Kami memperkenalkan media baru seperti akrilik untuk menggambar di atas kanvas kepada mereka,” kata Bruce McLean, kurator Gallery of Modern Art khusus seni Aborigin. Yang menarik, baik Gallery of Modern Art maupun Queensland Indigenous Arts Marketing and Export Agency tak alergi dengan karya-karya seniman kontemporer berdarah Aborigin yang umumnya menampilkan protes sosial. Mereka bahkan mensponsori Aborigin City-based itu. Beberapa di antaranya nama-nama terkenal, seperti Gordon Bennet, Vernon Ah Kee, dan Richard Bell.

Di Gallery of Modern Art bulan lalu, pengunjung misalnya bisa menikmati karya Vernon Ah Kee. Vernon menampilkan potret-potret yang realis. Rata-rata yang ditampilkan adalah sosok-sosok dengan tatapan mata yang sedih, nanar tanpa harapan. Salah satunya ia beri judul Neither Pride Nor Courage. ”Para seniman kontemporer Aborigin umumnya bergelut dengan persoalan identitas,” kata Cameron Costello, manajer progam untuk Aborigin di Queensland Government.

Richard Bell, misalnya, dikenal sebagai aktivis hak asasi untuk Aborigin. Ia seorang pemberang, terkenal dengan pernyataannya: ”Aboriginal Art—It’s a white thing.” Karya-karyanya penuh kritik tapi dengan gaya pop art yang kadang jenaka. Ia mengadopsi cara menggambar seniman pop Amerika terkenal Roy Lichtenstein. Ia membuat komik-komik, dengan pembicaraan sehari seputar seksualitas yang penuh balon percakapan.

Salah satu lukisannya misalnya menampilkan seorang perempuan sensual, berambut pirang, berbibir merah yang tampak tengah berpikir tentang hal-hal yang erotik: ”Beat me! Whip me! Spank me!” katanya. Di lain lukisan, si pirang itu tampak bergumam sendirian: ”Thank Christ I’m not Aboriginal!”

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus