Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

"indak disangko catenaccio"

Gaya kuno ternyata menampilkan italia sebagai juara piala dunia 1982. akrobatik ala pele tidak terlihat lagi, walau paolo rossi muncul sebagai pencetak gol terbanyak. (or)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI stadion Santiago Bernabeau, Madrid, itu kapten kesebelasan Italia Dino Zoff menitikkan air-mata. "Mati pun kini aku rela," kata Zoff yang bermain sebagai kiper. Timnya telah menang. Italia untuk ketiga kalinya jadi Juara Dunia --terakhir kalinya hampir setengah abad yang silam, 1938. Namun tak ada komentar yang lebih tepat daripada yang ditulis harian Il Messager ketika kesebelasan Italia melawan Brazil dan menjadi "si pembunuh raksasa" setelah mengalahkan tim favorit itu. "Italia telah melakukan sesuatu yang tak mungkin." kata koran terkemuka itu, 6 Juli. Memang, hampir-hampir mustahil. Tim asuhan Enzo Bearzot tak diperhitungkan lawan waktu tiba di Vigo, Spanyol, mereka bertanding di babak penyisihan. Prestasi mereka dalam meraih tiket finalis memang kurang meyakinkan. Tim Italia, yang bertarung di Grup V Eropa, cuma mengumpulkan nilai 12 dari 8 pertandingan -- satu angka di bawah Yugoslavia. Tak heran bila pelatih kesohor Helenio Herrera hanya melihatnya dengan sebelah mata. Ia, yang dikenal sebagai bapak catenaccio, meramalkan Italia, yang mengamalkan catenaccio, kesandung di kaki pemain Kamerun. Ramalan Herrera nyaris tepat. Italia tak pernah mencetak kemenangan satu kali pun dari tiga pertandingan di Grup 1. Mereka lolos dari lubang jarum, dan masuk ke babak perempat-final, berkat gol rata-rata: 2-2. Sedang Kamerun, juga bermain seri tiga kali seperti Italia, tersisih lantaran gol mereka 1-1. Prestasi itu membuat Italia berkumpul bersama dua raksasa Amerika Latin, Argentina dan Brazil di Grup C. Ia tinggal tunggu untuk masuk kotak. Bahkan pelatih Italia endiri, Enzo Beanot meramalkan Italia akan dicoret oleh kaki pemain Brazil. Di lapangan ternyata ramalan itu tak berlaku. Italia berturut-turut mengalahkan Argentina (2-1) dan Brazil (3-2). "Dua pertandingan penting dalam sejarah sepakbola Italia," ujar Zoff. Tim Italia, sejak hampir setengah abad yang lalu memang baru dua kali menang atas Brazil yang pertama pada Piala Dunia 1938. Yang kedua 1982. Di tahun 1938 Italia, memang lagi sedang jaya. Tahun itu ia untuk kedua kalinya jadi juara dunia, setelah naik ke puncak di tahun 1934. Tak heran Italia waktu itu berani sesumbar menghadapi Brazil. Sesudah mengalahkan Prancis di babak perempat final, di Aix, Prancis, pelatih Italia Vittorio Pozzo langsung mendatangi markas tim Brazil. Ketika orang Brazil menyatakan bahwa mereka akan menang, dengan tenang Pozzo bertanya: "Giastabilito? Apa yakin betul?". Setelah pertanyaan itu, Italia menundukkan Brazil 2-1. Tim yang bisa mengangkat nama bangsa di masa jaya facisme itu langsung diterima Diktator Mussolini. Tapi sejak itu dunia dilanda perang, dan sejak Piala Dunia 1950 kehebatan Italia tinggal dongeng masa lalu. Satu-satunya prestasi terbaik mereka adalah menjadi runner-up dalam turnamen Piala Dunia 1970 di Mexico. Juaranya waktu itu Brazil. Setelah itu, kemerosotan Italia nampaknya terus menggelinding. Tahun 1958 untuk mendapat tiket finalis saja mereka tak mampu. Toh waktu mengikuti Piala Dunia di Inggris, tahun 1966, Italia diperbincangkan orang karena sistem catenaccio yang diterapkan mereka. Hampir tak ada lawan yang mampu mengalahkan mereka dengan angka telak, berkat kerjasama kuwartet back yang saling bergandeng bagaikan rantai itu. Tapi sebaliknya mereka juga tak terkenal sebagai tim yang lapar gol. Tak heran jika pemain Italia lebih mengesankan sebagai robot. Atau tembok. Setidaknya sampai tibanya Bearzot. Bearzot, 55 tahun, yang mulai menjadi pelatih nasional Italia di tahun 1975, sebenarnya memimpikan yang lain. Baginya, kesebelasan ideal adalah kesebelasan Belanda waktu itu, yang beken dengan total football-nya. "Tapi untuk menjadi seperti mereka dibutuhkan waktu sepuluh tahun," kata Bearzot. Tak sampai 10 tahun di Spanyol tim Italia berhasil melebihi Belanda. Mereka juga bisa mematahkan anggapan tak-lapar-gol lewat Rossi. Paulo Rossi mencetak enam gol dari tiga pertandingan terakhir dan menentukan. Keluar sebagai pencetak gol terbanyak dalam Piala Dunia 1982, Rossi telah menjebol gawang Brazil 3 X, Polandia 2 X, dan Jerman Barat 1 X. Rossi, 25 tahun, nampaknya memang bernasib baik. "Saya mujur," katanya. Karir sepakbolanya nyaris berakhir sekembalinya dari Argentina, mengikuti Piala Dunia 1978. Ia dituduh terlibat skandal suap yang mengguncang Italia di awal 1980. Persatuan Sepakbola Italia (FICC) menjatuhkan hukuman: Rossi tak boleh turun bertanding membela klub apalagi tim nasional. "Waktu itu saya sudah mau pindah ke Afrika Selatan -- negeri yang tak terikat pada FIFA," kata Rossi mengenang masa lalunya. Di masa-masa pahit itu, Rossi menikah, dan tetap berlatih di Klub Juventus yang membelinya dari vincenzia sebesar US$ 3 juta. Ketika Bearzot mempersiapkan tim Piala Dunia 1982, Rossi termasuk pemain yang diincarnya. Tapi ia belum bisa diturunkan karena masa hukumannya baru berakhir April. "Setiap orang seperti mengharapkan keajaiban dariku," ujar Rossi yang banyak dinilai bukan sebagai superstar, tapi lebih sebagai pemain amat lincah yang pandai memilih posisi. Tapi keajaiban toh terjadi. Ketika Rossi (mengenakan kaus nomor 20) berhasil mengantar Italia ke semifinal, Presiden Pertini langsung menghadiahi bintang kehormatan Commendatore bagi Rossi, orang yang baru selesai dihukum itu. Hadiah lain: 1.000 liter anggur dari pedagang minuman di Pescara, juga sepatu untuk seumur hidup dari pembuat sepatu di Vigevano. Tapi tentu saja Italia tak cuma punya Rossi. Pemain inti, jumlahnya 22 orang, yang dipanggil Beazort memperkuat tim Piala Dunia 1982, hampir separuh veteran -- pemain terpilih untuk ke Argentina, empat tahun lalu. Tokohnya, tentu kiper Dino Zoff. Ia terjun sejak Piala Dunia 1970. "Zoff salah seorang kiper terbaik dunia dekade ini," tulis Jimmy Hills dalam buku The Great Soccer Stars. Di bawah mistar kapten tim Italia ini memng sudah mendekati taraf seni dalam membentengi gawangnya. Selama Piala Dunia 1982, Zoff cuma kebobolan 6 gol. Zoff, lahir di Venezia, 28 Februari 1942, sejak bocah memang sudah bercita-cita menjadi kiper. Tapi tak ada klub remaja yang mau menerimanya. Ia baru ditemukan oleh pemandu bakat Umberto Donda pada usia 16 tahun. Zoff bergabung dengan Klub Montova setelah Juventus, perkumpulannya sekarang menolaknya --kekeliruan yang harus ditebus Juventus sebesar US$ 900.000, tahun 1972. Tahun 1982 bukan cuma awal kebangkitan bagi tim Italia. Juga Eropa. Ini adalah kali kedua kesebelasan dari Amerika Latin gagal mencapai semifinal. Sebelumnya di Piala Dunia 1966 di Inogris. Sistem total football gaya Brazil, yang dipertontonkan mereka lima kali pertandingan di Spanyol, ternyata tidak mampu mengatasi gaya permainan Eropa. Dalam gaya Eropa, yang diutamakan ialah disiplin tim. Sedang permainan individu dengan gerak memukau merupakan ciri khas tim Amerika Latin -- terutama Brazil dan Argentina. TURNAMEN Piala Dunia 1982 juga nampak cenderung meninggalkan sistem man to man marking -- senjata yang ampuh untuk bertahan. Sistem man to man marking, yang terbukti kurang efektif dalam membangun serangan ini mencapai puncak di kaki pemain Jerman Barat dekade lalu. Pilihan dunia sekarang tampak beralih ke zonal marking -- metode penjagaan daerah yang diterapkan Brazil sejak lama. Tim Uni Soviet sudah mulai mengembangkannya. Juga Jerman Barat. Jika metode permainan ini dipopulerkan lagi penonton akan melihat gaya akrobatik Pele maupun Johan Cruyff. Ironisnya man to man marking justru dimainkan Italia kemarin. Efektif memang, hingga Maradona, yang berharga US$ 8 juta itu, tak mendapatkan ruang gerak mempertontonkan ketrampilannya menggocek bola. Tapi justru karena itu pertandingan dengan Italia tak menarik buat ditonton -- meskipun ramai. Itu tidak berarti Italia kurang pantas menjadi juara. Bearzot bagaimanapun cerdik sekali dalam mengatur strategi menghadapi lawan, baik Argentina, Brazil, Polandia, maupun Jerman Barat. Italia tak hanya kokoh dalam bertahan, juga hebat waktu melakukan serangan balik. Dan akhirnya, yang menang adalah yang menang -- bukan yang cuma dipuji-puji harus menang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus