DI stadion Santiago Bernabeau, Madrid, itu kapten kesebelasan
Italia Dino Zoff menitikkan air-mata. "Mati pun kini aku rela,"
kata Zoff yang bermain sebagai kiper. Timnya telah menang.
Italia untuk ketiga kalinya jadi Juara Dunia --terakhir kalinya
hampir setengah abad yang silam, 1938.
Namun tak ada komentar yang lebih tepat daripada yang ditulis
harian Il Messager ketika kesebelasan Italia melawan Brazil dan
menjadi "si pembunuh raksasa" setelah mengalahkan tim favorit
itu. "Italia telah melakukan sesuatu yang tak mungkin." kata
koran terkemuka itu, 6 Juli.
Memang, hampir-hampir mustahil. Tim asuhan Enzo Bearzot tak
diperhitungkan lawan waktu tiba di Vigo, Spanyol, mereka
bertanding di babak penyisihan. Prestasi mereka dalam meraih
tiket finalis memang kurang meyakinkan. Tim Italia, yang
bertarung di Grup V Eropa, cuma mengumpulkan nilai 12 dari 8
pertandingan -- satu angka di bawah Yugoslavia.
Tak heran bila pelatih kesohor Helenio Herrera hanya melihatnya
dengan sebelah mata. Ia, yang dikenal sebagai bapak catenaccio,
meramalkan Italia, yang mengamalkan catenaccio, kesandung di
kaki pemain Kamerun.
Ramalan Herrera nyaris tepat. Italia tak pernah mencetak
kemenangan satu kali pun dari tiga pertandingan di Grup 1.
Mereka lolos dari lubang jarum, dan masuk ke babak
perempat-final, berkat gol rata-rata: 2-2. Sedang Kamerun, juga
bermain seri tiga kali seperti Italia, tersisih lantaran gol
mereka 1-1. Prestasi itu membuat Italia berkumpul bersama dua
raksasa Amerika Latin, Argentina dan Brazil di Grup C. Ia
tinggal tunggu untuk masuk kotak. Bahkan pelatih Italia endiri,
Enzo Beanot meramalkan Italia akan dicoret oleh kaki pemain
Brazil.
Di lapangan ternyata ramalan itu tak berlaku. Italia
berturut-turut mengalahkan Argentina (2-1) dan Brazil (3-2).
"Dua pertandingan penting dalam sejarah sepakbola Italia," ujar
Zoff.
Tim Italia, sejak hampir setengah abad yang lalu memang baru dua
kali menang atas Brazil yang pertama pada Piala Dunia 1938. Yang
kedua 1982.
Di tahun 1938 Italia, memang lagi sedang jaya. Tahun itu ia
untuk kedua kalinya jadi juara dunia, setelah naik ke puncak di
tahun 1934.
Tak heran Italia waktu itu berani sesumbar menghadapi Brazil.
Sesudah mengalahkan Prancis di babak perempat final, di Aix,
Prancis, pelatih Italia Vittorio Pozzo langsung mendatangi
markas tim Brazil. Ketika orang Brazil menyatakan bahwa mereka
akan menang, dengan tenang Pozzo bertanya: "Giastabilito? Apa
yakin betul?". Setelah pertanyaan itu, Italia menundukkan Brazil
2-1. Tim yang bisa mengangkat nama bangsa di masa jaya facisme
itu langsung diterima Diktator Mussolini.
Tapi sejak itu dunia dilanda perang, dan sejak Piala Dunia 1950
kehebatan Italia tinggal dongeng masa lalu. Satu-satunya
prestasi terbaik mereka adalah menjadi runner-up dalam turnamen
Piala Dunia 1970 di Mexico. Juaranya waktu itu Brazil. Setelah
itu, kemerosotan Italia nampaknya terus menggelinding. Tahun
1958 untuk mendapat tiket finalis saja mereka tak mampu.
Toh waktu mengikuti Piala Dunia di Inggris, tahun 1966, Italia
diperbincangkan orang karena sistem catenaccio yang diterapkan
mereka. Hampir tak ada lawan yang mampu mengalahkan mereka
dengan angka telak, berkat kerjasama kuwartet back yang saling
bergandeng bagaikan rantai itu. Tapi sebaliknya mereka juga tak
terkenal sebagai tim yang lapar gol. Tak heran jika pemain
Italia lebih mengesankan sebagai robot. Atau tembok. Setidaknya
sampai tibanya Bearzot.
Bearzot, 55 tahun, yang mulai menjadi pelatih nasional Italia di
tahun 1975, sebenarnya memimpikan yang lain. Baginya,
kesebelasan ideal adalah kesebelasan Belanda waktu itu, yang
beken dengan total football-nya. "Tapi untuk menjadi seperti
mereka dibutuhkan waktu sepuluh tahun," kata Bearzot.
Tak sampai 10 tahun di Spanyol tim Italia berhasil melebihi
Belanda. Mereka juga bisa mematahkan anggapan tak-lapar-gol
lewat Rossi. Paulo Rossi mencetak enam gol dari tiga
pertandingan terakhir dan menentukan. Keluar sebagai pencetak
gol terbanyak dalam Piala Dunia 1982, Rossi telah menjebol
gawang Brazil 3 X, Polandia 2 X, dan Jerman Barat 1 X.
Rossi, 25 tahun, nampaknya memang bernasib baik. "Saya mujur,"
katanya. Karir sepakbolanya nyaris berakhir sekembalinya dari
Argentina, mengikuti Piala Dunia 1978. Ia dituduh terlibat
skandal suap yang mengguncang Italia di awal 1980. Persatuan
Sepakbola Italia (FICC) menjatuhkan hukuman: Rossi tak boleh
turun bertanding membela klub apalagi tim nasional. "Waktu itu
saya sudah mau pindah ke Afrika Selatan -- negeri yang tak
terikat pada FIFA," kata Rossi mengenang masa lalunya.
Di masa-masa pahit itu, Rossi menikah, dan tetap berlatih di
Klub Juventus yang membelinya dari vincenzia sebesar US$ 3 juta.
Ketika Bearzot mempersiapkan tim Piala Dunia 1982, Rossi
termasuk pemain yang diincarnya. Tapi ia belum bisa diturunkan
karena masa hukumannya baru berakhir April.
"Setiap orang seperti mengharapkan keajaiban dariku," ujar Rossi
yang banyak dinilai bukan sebagai superstar, tapi lebih sebagai
pemain amat lincah yang pandai memilih posisi. Tapi keajaiban
toh terjadi. Ketika Rossi (mengenakan kaus nomor 20) berhasil
mengantar Italia ke semifinal, Presiden Pertini langsung
menghadiahi bintang kehormatan Commendatore bagi Rossi, orang
yang baru selesai dihukum itu. Hadiah lain: 1.000 liter anggur
dari pedagang minuman di Pescara, juga sepatu untuk seumur hidup
dari pembuat sepatu di Vigevano.
Tapi tentu saja Italia tak cuma punya Rossi. Pemain inti,
jumlahnya 22 orang, yang dipanggil Beazort memperkuat tim Piala
Dunia 1982, hampir separuh veteran -- pemain terpilih untuk ke
Argentina, empat tahun lalu. Tokohnya, tentu kiper Dino Zoff.
Ia terjun sejak Piala Dunia 1970. "Zoff salah seorang kiper
terbaik dunia dekade ini," tulis Jimmy Hills dalam buku The
Great Soccer Stars. Di bawah mistar kapten tim Italia ini memng
sudah mendekati taraf seni dalam membentengi gawangnya. Selama
Piala Dunia 1982, Zoff cuma kebobolan 6 gol.
Zoff, lahir di Venezia, 28 Februari 1942, sejak bocah memang
sudah bercita-cita menjadi kiper. Tapi tak ada klub remaja yang
mau menerimanya. Ia baru ditemukan oleh pemandu bakat Umberto
Donda pada usia 16 tahun. Zoff bergabung dengan Klub Montova
setelah Juventus, perkumpulannya sekarang menolaknya
--kekeliruan yang harus ditebus Juventus sebesar US$ 900.000,
tahun 1972.
Tahun 1982 bukan cuma awal kebangkitan bagi tim Italia. Juga
Eropa. Ini adalah kali kedua kesebelasan dari Amerika Latin
gagal mencapai semifinal. Sebelumnya di Piala Dunia 1966 di
Inogris. Sistem total football gaya Brazil, yang dipertontonkan
mereka lima kali pertandingan di Spanyol, ternyata tidak mampu
mengatasi gaya permainan Eropa. Dalam gaya Eropa, yang
diutamakan ialah disiplin tim. Sedang permainan individu dengan
gerak memukau merupakan ciri khas tim Amerika Latin -- terutama
Brazil dan Argentina.
TURNAMEN Piala Dunia 1982 juga nampak cenderung meninggalkan
sistem man to man marking -- senjata yang ampuh untuk bertahan.
Sistem man to man marking, yang terbukti kurang efektif
dalam membangun serangan ini mencapai puncak di kaki pemain
Jerman Barat dekade lalu.
Pilihan dunia sekarang tampak beralih ke zonal marking -- metode
penjagaan daerah yang diterapkan Brazil sejak lama. Tim Uni
Soviet sudah mulai mengembangkannya. Juga Jerman Barat. Jika
metode permainan ini dipopulerkan lagi penonton akan melihat
gaya akrobatik Pele maupun Johan Cruyff.
Ironisnya man to man marking justru dimainkan Italia kemarin.
Efektif memang, hingga Maradona, yang berharga US$ 8 juta itu,
tak mendapatkan ruang gerak mempertontonkan ketrampilannya
menggocek bola. Tapi justru karena itu pertandingan dengan
Italia tak menarik buat ditonton -- meskipun ramai.
Itu tidak berarti Italia kurang pantas menjadi juara. Bearzot
bagaimanapun cerdik sekali dalam mengatur strategi menghadapi
lawan, baik Argentina, Brazil, Polandia, maupun Jerman Barat.
Italia tak hanya kokoh dalam bertahan, juga hebat waktu
melakukan serangan balik. Dan akhirnya, yang menang adalah yang
menang -- bukan yang cuma dipuji-puji harus menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini