DEMAM Piala Dunia ternyata selain berjangkit di 24 negara
finalis, juga menular ke negeri lain. Hampir 500 juta penduduk
dunia mengalihkan perhatian ke Spanyol, tempat turnamen Piala
Dunia 1982 diselenggarakan, antara lain akibat pemberitaan pers
yang luar biasa besarnya.
Di Indonesia, sejak awal kejuaraan, 13 Juni, berita Piala Dunia
bahkan telah menggeser berita domestik dari halaman depan
suratkabar ibukota maupun daerah. Suratkabar Kompas sampai
menyediakan kolom khusus bagi kolomnis Kadir Yusuf yang menulis
tinjauan dari Spanyol -- melengkapi reportase redaktur olahraga
Valens Doy.
Pilihan itu tak keliru. Sejak Kadir dan Valens melakukan
gebrakan, oplah Kompas menjadi 390.000 per hari, melonjak 10.000
dari sebelumnya. Waktu kampanye pemilu lalu, angka puncak yang
dicapainya tidak setinggi itu.
Untuk meliput Piala Dunia di Spanyol, pertama kali diikuti 24
kesebelasan, duet Kadir-Valens, menurut mereka, bekerja
pontang-panting. "Hampir tak ada waktu buat istirahat," ujar
Kadir, 70 tahun. Kegiatan rutin mereka dimulai dari pagi dan
berakhir tengah malam -- itu pun tidak semua pertandingan bisa
mereka tonton.
Tapi Kadir dan Valens tak pernah absen di lapangan setiap kali
tim Brazil turun. Mereka bahkan pernah mencarter taksi dari
Barcelona ke Seville, jarak kedua kota ini hampir 800 km, dengan
bayaran US$ 500 hanya untuk bisa menyaksikan Brazil melawan Uni
Soviet -- satu hari seusai pembukaan turnamen itu.
Selama putaran pertama, 13 s/d 25 Juni, mereka meliput di
Seville dan Malaga saja -- tempat Brazil bertanding melawan Uni
Soviet, Skotlandia, dan Selandia Baru. Alasannya: tim Brazil,
sampai pertandingan melawan Italia, 5 Juli, yang berakhir dengan
kekalahan mereka, merupakan tim unggulan dan tak asing di
Indonesia.
Mengenai pertandingan lain yang tak terliput, menurut Valens,
mereka tonton di televisi atau rekaman video. Fasilitas ini bisa
diperoleh di press centre, hotel, maupun di klub-klub sepakbola.
Satu rekaman pertandingan sewanya US$ 3.
Tak semua laporan Kadir dan Valens eksklusif. "Bahasa merupakan
faktor penghambat dalam mencari informasi," kata Kadir yang
fasih dalam bahasa Inggris dan Belanda. Suatu hari mereka
berjumpa dengan Falcao, seorang bintang Brazil, di sebuah toko
serba ada. Tapi kesempatan emas itu terpaksa lewat lantaran
mereka tak bisa berbahasa Portugis yang menjadi hahasa nasional
di Brazil.
Tentang kutipan dari tim manajer yang menopang analisanya,
menurut Kadir, didapatkannya dari konperensi pers. Tiap habis
pertandingan, tim manajer dari kedua kesebelasan yang bertarung
selalu menyediakan waktu selama 15 menit (kadang lebih) untuk
menjawab pertanyaan wartawan mengenai kegagalan maupun sukses
masing-masing.
Faktor kesulitan bahasa dari wartawan, seluruhnya 7.000 orang,
sudah dipikirkan panitia jauh hari sebelumnya. Untuk itu panitia
menyediakan tenaga penerjemah, cewek-cewek cantik. Ongkos mereka
untuk satu kali komunikasi US$ 15, tarif yang cukup mahal buat
wartawan Indonesia. "Bisa jadi tarzan kita di sini," gurau
Valens. Tarzan adalah ungkapan yang sering dipakai wartawan
olahraga Indonesia untuk istilah kapiran di negeri orang.
Biaya hidup di Spanyol selama Piala Dunia jelas tak murah. Sewa
hotel US$ 71) perorang. Makan berkisar US$ 12 sampai 15. "Kalau
mau makan hamburger (roti lapis daging) terus, bisa murah." kata
Kadir. Untuk ongkos Kadir dan Valens, di luar biaya teleks dan
telepon, sampai minggu lalu, Kompas telah mengeluarkan Rp 11
juta.
Tercatat lima penerbitan nasional lain yang mengirim wartawan
olahraga untuk meliput Piala Dunia di Spanyol: Sinar Harapan,
Merdeka, Olympic, Waspada, dan Selecta Sport. Sebagian dari
mereka berangkat dengan uang saku pas-pasan. Uang harian bagi
wartawan Waspada, misalnya, menurut Wakil Pemred Teruna Jasa
Said, cuma US$ 20 per hari.
Rata-rata oplah media yang meliput Piala Dunia itu bertambah.
"Oplah Waspada naik 35%, kata Teruna tanpa membeberkan angka.
Wakil Pemred Sinar Harapan Max Karundeng juga berkata begitu.
"Tak rugi mengirim wartawan ke Spanyol," lanjut Teruna yang
menugasi dua wartawan tulis dan dua fotografer.
The Straits Times tampak lebih siap daripada media Indonesia.
Godfrey Robert, redaktur olahraga koran Singapura itu misalnya,
sebelum berangkat ke Madrid mengambil kursus bahasa Spanyol
selama delapan bulan. Tak heran bila reportase maupun analisa
Robert sering eksklusif dan tajam. "Caranya menyiapkan diri
patut kita tiru," kata Valens.
Umumnya wartawan Indonesia mengeluh dalam menguber deadline di
Jakarta karena rintangan telekomunikasi. Indonesia satu-satunya
negara yang tak punya hubungan telepon langsung dengan Spanyol.
Hingga untuk mengirim berita mereka terpaksa menunggu,
kadangkala sampai 30 menit, sebelum bisa mengontak redaktur
malam di Jakarta atau Medan. Sementara batas waktu naik cetak
tak bisa diulur. Beda waktu Spanyol-Indonesia sekitar lima jam
di Jakarta lebih duluan malam. "Selama Piala Dunia saya selalu
pulang dinihari," kata wartawan olahraga Kompas Sumohadi Marsis
yang bertugas membenahi laporan Valens dan Kadir dari Spanyol.
Kerja keras semacam itu, seperti tiap wartawan tahu, bukan saja
keharusan, tapi juga karena hal lain: keasyikan. Jurnalisme
memang keasyikan berbagi informasi secepat-cepatnya, apalagi
tentang Piala Dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini