MARCO Tardelli meliak-liuk di lapangan tengah musuh. Dia
menerima umpan dari sayap kanan. Menggiring dan memperdayakan
seorang pengawal. Pemain tengah Italia itu kemudian merayap ke
rusuk kiri daerah penalti dengan bola yang masih lengket di
ujung kaki. Ketika pemain belakang Jerman Barat, Bernd Forster
mau menghentikan serbuannya itu, Tardelli, dengan berat badan
yang jatuh ke kanan menghantam bola dengan kaki kiri,
memperdayakan benteng terakhir Schumacher yang maju ke depan
untuk menutup pintu gawang. Bola tajam menghunjam di pojok
gawang.
Penonton yang memadati stadion Santiago Bernabeu, Madrid, yang
berkapasitas 120.000 tempat duduk itu, berdiri seperti tersengat
listrik. Bendera hijau, putih dan merah berkibaran ditingkah
drum yang dipalu suporter Italia.
Tardelli sendiri tak bisa menahan emosi untuk gol kedua bagi
negaranya itu. Dia berteriak dan berlari dengan tangan mengepal
ke udara. Baru beberapa saat kemudian, ketika emosinya reda, ia
ingat akan sesuatu yang lebih besar. Tardelli lantas membuat
tanda salib di dadanya.
Di tribun, Presiden Italia, Sandro Pertini, seperti tak bisa
mengatasi ketegangan saraf yang timbul gara-gara gol itu.
Presiden yang tua itu berdiri dari kursi, mengangkat tangan dan
meneriakkan kata-kata gembira ke lapangan. Sementara rekannya
dalam "pertemuan puncak" Madrid itu (yang duduk dibatasi Raja
Spanyol, Juan Carlos) Kanselir Jerman Barat, Helmut Schmitt,
hanya tersenyum.
Pertini luluh dengan kegembiraan anak-anaknya, ketika
pertandingan Italia-Jerman Barat yang berlangsung 11 Juli itu
berakhir 3-1. Dia begitu asyik hingga membuat Helmut Schmidt
beberapa detik tertunggu-tunggu untuk mengucapkan selamat.
Dengan kemenangan itu tim Italia berhak memboyong Piala Dunia
yang menggambarkan Dewi Kemenangan. Sebuah tanda penghargaan
terbuat dari emas setinggi 36 cm bobot 5 kg. Bernilai sekitar
US$ 4 juta, atau Rp 2,6 milyar.
Kemenangan di Madrid itu merupakan pesta ketiga kalinya buat
Italia sejak negara itu terjun dalam perebutan supremasi
sepakbola dunia yang berusia 52 tahun tersebut. Sebelumnya dia
memenangkannya di Roma tahun 1934. Kemudian di Paris tahun 1938.
Dengan kemenangan di Madrid ini, Italia sekaligus mengangkat
nama Eropa untuk menyamai prestasi Brazil dari Amerika Latin.
Italia turun ke putaran final di Spanyol dengan kekuatan yang
tidak meyakinkan (lihat box: Juara Di Luar Ramalan). Satu grup
dengan Polandia, Kamerun dan Peru di putaran pertama, dia hanya
bisa bermain draw. Melawan Peru yang berakhir 1-1 dia hampir
saja terguling. Untung wasit Walter Eschweiler menolak tuntutan
penalti dari pemain Peru, Juan Carlos Oblitas, karena jatuh
diganjal Claudio Gentile.
Sebagai satu tim Italia belum menemukan bentuknya pada putaran
pertama. Karena itulah pelatih Enzo Bearzot tidak berani
sesumbar mengenai peluang anak buahnya. Ia malah kelihatan
seperti terpukau oleh permainan Brazil dan meramalkan tim
Amerika Latin itu bakal muncul di final. Entahlah kalau sikap
itu semacam permainan kucing-kucingan belaka dari orang Italia
yang memang terkenal lihai. Masuk ke putaran kedua barulah
Italia memperlihatkan belangnya dan membuat orang yang
memandang rendah mulai menghitung-hitung.
Dia mengejutkan penonton di stadion Sarria, Barcelona dan
membikin kecut Argentina dengan mengalahkan tim Amerika Latin
itu dengan 2-1. Tidak hanya pelatih Menotti yang tercoreng
mukanya. Kekalahan ini juga membikin malu bintang muda Maradona.
Gentile membuatnya tak berdaya dengan pengawalan yang luar biasa
ketat. Menotti mencatat anak emasnya itu dicurangi paling tidak
20 kali. Dia mencerca wasit, karena kurang melindungi kaki
Maradona.
Tak kalah dramatis adalah kekalahan Brazil. Tukang nujum,
komputer, sampai bintang-bintang bola seperti Pele dan Cruyff,
meramalkan tim ini bakal keIuar sebagai juara, paling tidak
mencapai final. Pada putaran pertama dia mengumpulkan angka
tertinggi 6. Hanya bisa disamai Inggris. Di putaran pertama
mengalahkan Uni Soviet, Skotlandia, dan Selandia Baru dengan
gaya permainan yang memikat. Serangan-serangannya yang ritmis
ditingkah gendang dan tarian samba para suporter, membuat
pertandingan-pertandingannya mirip sebuah atraksi. "Bertanding
dengan Brazil ibarat main pada abad ke-21," sanjung pelatih
Selandia Baru, John Adshead, setelah timnya takluk 4.
TETAPI gelembung pujian itu tiba-tiba pecah. Italia
menghancurkan harapan banyak orang dengan menundukkan juara
dunia 3 kali itu 3-2.
Buat penyokong Brazil, kekalahan ini cukup pahit untuk
ditanggungkan. Contoh:
Biro Keamanan Nasional Brazil melaporkan 3 orang langsung
membunuh diri begitu melihat kekalahan itu di layar televisi, di
Rio de Janeiro. Lima orang tak sadarkan diri dan meninggal
sebelum sempat dirawat. Di Fortaleza, 3000 km dari bekas ibukota
Brazil itu, seorang menebus kekalahan itu dengan menembak
dirinya hingga mati. Dua orang "fanatik" lainnya tewas karena
serangan jantung.
Di Mesir, kekalahan Brazil itu dianggap lebih menyedihkan
dibandingkan dengan penderitaan pejuang-pejuang Palestina yang
terkepung di Libanon. Menurut seorang wartawan Al Aram, krisis
di Beirut itu sudah rutin, sedangkan kekalahan Brazil ini adalah
hilangnya sebuah pesona untuk orang Mesir. Tapi solidaritas Arab
tak berhenti rupanya -- meski agak berlebihan: beberapa negara
Arab tidak menyiarkan pertandingan itu, karena wasit Abraham
Klein berasal dari Israel.
Di Brazil sendiri, kaitannya lebih terasa tidak dalam politik.
Harga kopi diperhitungkan turun. Paling tidak Brazilian Coffee
Institute (BCI) dalam kampanyenya tidak bisa menyebutkan Brazil
sebagai "produsen kopi terbaik dan pemain bola terbaik di
dunia." Untuk iklan kelak dia hanya bisa bilang "Brazil
penghasil kopi dan pemain bola yang baik."
Kopi dan tim sepakbola yang diasuh Tele Santana ini memang erat
berhubungan. Keuntungan tiap cangkir kopi masuk ke kas
persepakbolaan. Untuk tahun 1981 negara yang mengekpor kopi
dengan nilai sekitar US$ 2 milyar itu menyisihkan US$ 1,5 juta
untuk pembinaan persepakbolaan. Untuk Piala Dunia, BCI
menyebarkan 180.000 kaus kuning dengan emblem Federasi Sepakbola
Brazil di kiri dan BCI di dada kanan. Kaus inilah yang
mendominasi tiap stadion tempat Brazil bertarung.
Namun betapa pun kecewanya kaum fanatik, orang Brazil mencoba
tetap gagah dengan kekalahannya. Dua hari setelah kekalahan itu,
tim Brazil dengan Tele Santana sebagai boss-nya mendarat di
lapangan terbang Rio. Mereka tetap disambut hangat. Memang ada
spanduk mengejek yang ditulis bagaikan menu makanan: "Spesial
hari ini: Ayam dengan gaya Waldir Peres." Tetapi spanduk yang
mengecam penampilan penjaga gawang Peres yang botak itu segera
disingkirkan polisi.
Banyak penyesalan dan kritik mengapa Brazil begitu serakah
ketika kedudukan sudah 2-2 dalam pertandingan melawan Italia.
Sebab dengan mempertahankan skor itu Brazil sudah berhak maju ke
semifinal. Tetapi Santana, sama seperti Menotti, datang ke
Spanyol tidak untuk bermain seri. Mereka mau menang. "Kalau
Brazil akan bertarung lagi melawan Italia, saya akan memberikan
instruksi yang sama," ujarnya dengan wajah tegang kepada
wartawan.
Namun pelatih yang pernah dapat serangan jantung ketika
mempersiapkan tim Brazil itu, mengakui kesalahannya membiarkan
Paolo Rossi terlalu bebas. Sehingga penyerang Italia itu
mendapat peluang untuk memborong 3 gol.
Bagi para ahli sepakbola, kekalahan Brazil punya segi lain yang
mengecewakan. Grup C yang terdiri dari Argentina, Brazil dan
Italia dalam putaran kedua merupakan arena konfrontasi gaya
persepakbolaan Eropa yang kurang elok dan "terbelakang" lawan
Amerika Latin yang memikat. Pers Italia sendiri merendahkan arti
kemenangan tim nasionalnya. "Mengherankan Italia memenangkan
pertandingan dengan gaya kuno," tulis sebuah koran yang terbit
di Turino.
Italia memang dianggap tidak bergerak maju. Malahan mundur ke
tahun 1960-an. Itulah masa jaya-jayanya gaya permainan
Catenaccio: satu sistem permainan yang juga disebut permainan
"menggembok". Sistem ini mengandalkan pertahanan ketat dengan
serangan balik secepat kilat. Untuk serangan balik ini
diperlukan pemain-pemain pilihan yang punya daya tahan fisik.
Apalagi kalau diperhitungkan pertandingan di Spanyol itu
dimainkan di bawah suhu melebihi 30 derajat Celcius.
Menotti sendiri menilai tim Italia menyuguhkan "anti football"
ketika berhadapan dengan anak buahnya. Barangkali bukan sistem
permainan Catenaccio yang dikritik pelatih Argentina itu, tapi
gaya permainan yang diwarnai pula dengan kekerasan dan dianggap
kurang nilai sportivitasnya. (Lihat Indak Disangko Catenaccio).
Bagi para pembela catenaccio yan penting: permainan
gebrak-balik ini tak melanggar garis wasit. Buktinya permainan
yang mengalir dari dua tim Amerika Latin itu kandas oleh benteng
pertahanan Italia. Jumlah penyerang lawan ditimpali dengan
jumlah pemain bertahan yang lebih banyak. Terkadang di depan
pintu gawang off bisa berkerumun 20 pemain. Tetapi awas: sekali
bola lepas dari daerah pertahanan, Conti atau Tardelli bagaikan
anak panah menyerbu pertahanan musuh. Sementara Rossi yang sudah
menunggu di daerah lawan, siap menyelesaikan umpan-umpan.
Kemenangan Italia atas dua musuh terkuat dari Amerika Latin itu
menaikkan moral pemain. Sehingga ketika melawan Polandia di
semifinal, mereka kelihatannya tidak terlalu menyandang beban
berat. Apalagi Polandia bermain tanpa oniek yang harus absen
karena mendapat 2 kartu kuning pada pertandingan sebelumnya.
Polandia takluk 0-2.
ITALIA yang gegap gempita karena kemenangan menentukan atas
Brazil dan Argentina sebelumnya, bertambah menjadi-jadi. Juga
jauh di Roma. Serombongan pemuda dengan menumpang kendaraan
menuju bundaran St. Picter di Vatikan. Mereka berharap bisa
melihat Paus Yohannes Paulus II kelahiran Polandia itu. Dengan
nakal merea berteriak: "Kami lebih kuat dari Paus," -- mungkin
karena yakin Paus yang gemar olahraga (tapi ski, khususnya) itu
tak akan menantang mereka main bola.
Tapi apakah Bapa Suci itu menonton pertandingan? Rupanya ini
termasuk rahasia Vatikan. Seorang uskup mengatakan Paus menonton
kekalahan tim Polandia itu. Tapi uskup yang lain mengatakan
Yohannes Paulus II terlalu sibuk untuk menonton televisi.
Jerman Barat sendiri yang bertemu Italia di final diharapkan
orang bisa mempertahankan semangatnya yang meluap-luap seperti
ketika menahan draw Prancis dalam semifinal -- walaupun sudah
ketinggalan 1-3 sementara perpanjangan waktu 2 kali 15 menit
sudah hampir usai. Tetapi serangan-serangan yang dimotori
bintang Eropa KarlHeinz Rummenigge yang menggebu-gegu di babak
pertama, tak kuasa menembus pertahanan Italia.
Babak pertama dikuasai Jerman Barat. Tetapi justru pada babak
ini Italia sudah berada di ambang kemenangan, ketika wasit asal
Brazil, Coelho, memberikan hadiah penalti karena seorang pemain
belakang Jerman Barat menyerempet pemain Italia. Tapi sial.
Mungkin karena tegang, Cabrini yang pernah dipuji Pele sebagai
pemain yang kalem itu, gagal menjalakan bola. Tendangan datarnya
melenceng ke kanan gawang.
Rossi yang mencetak gol pertama melalui tandukan kepalanya,
sekali lagi mujur. Tempelan-tempelan Karl Heinz Forster
terhadapnya tidak sekejam yang dilakukan pemain berwajah keras
Gentile terhadap Maradona atau Zico pada pertandingan
sebelumnya. Jerman Barat terlalu percaya diri. Dan kelihatannya
mereka agak meremehkan Rossi -- seorang pemain bertubuh kecil,
suka cengar-cengir, dengan gaya berjalan a la Charlie Chaplin.
Rossi memang baru bebas dari hukuman larangan bermain dua tahun,
karena tuduhan terlibat penyuapan. Barangkali karena itu dia
agak kurang dipandang. Ternyata . . .
Bola memang seperti hoki: sukar ditebak ke mana ia menemplok.
Jerman Barat yang diunggulkan berbagai kalangan, ternyata dengan
merangkak baru bisa lulus ke final. Di putaran pertama dia
dipermalukan Aljazair yang mencukurnya 2-1. Lantas datang lagi
cemooh yang tak kalah getirnya: dia dan tetangganya Austria yang
sama-sama berbahasa Jerman "bersekongkol" untuk hanya bermain
1-0. Tujuan: agar keduanya masuk ke putaran kedua.
Peristiwa itu memang kentara betul. Setelah gol yang tercipta
pada menit ke-1, kedua tim tiba-tiba menghentikan
serangan-serangan dan hanya kutak-katik di lapangan tengah.
Berpura-pura untuk berusaha menggolkan pun mereka tidak mau.
Lapangan tenang dan dingin seperti Sungai Rhein. Penonton yang
kecewa meneriakkan rasa simpati mereka kepada tim yang jadi
korban "Aljazair, Aljazair . . . "
Reaksi datang juga memang. Ketua Federasi Sepakbola Aljazair
Ben Ali Sekkal menuntut kepada FIFA supaya Jerman Barat dan
Austria didiskualifikasikan.
Semula Hermann Neuberger, wakil Jerman Barat di FIFA,
menyebutkan bahwa semua tim boleh bermain hati-hati. Tetapi
Ketua Federasi Sepakbola Dunia, Joao Havelange, kepada Kongres
FIFA yang berlangsung di Madrid 9 Juli, menyatakan minta maaf
terhadap "affair Jerman-Austria." Dan badan sepakbola dunia itu
sendiri akan membuat peraturan yang menghindarkan
"persekongkolan" dua tim, dengan melaksanakan pertandingan
secara serempak.
Di negeri sendiri tim yang dipimpin manajer berambut perak, Jupp
Derwall itu, tak ayal kena kritik juga. Perwira polisi Alexander
Klumper dari Oldenburg, dekat Bremen, telah mengajukan tuntutan
ke pengadilan. Dia menuntut tim Jerman Barat karena dirinya muak
mau muntah. Dia juga menggugat tim negaranya menghina dan
merusak nama Republik Federal.
KEPADA tim Aljazair, Ketua FIFA, Havelange yang berasal dari
Brazil dan terpilih kembali sebagai ketua untuk masa jabatan 4
tahun lagi, membujuk dengan berkata: "Brazil datang ke sini
dengan tim yang hebat, tapi gagal. Mereka tak berdalih. Mereka
pulang sama seperti tim yang tersingkir lainnya." Jadi
diharapkan Aljazair tak terus penasaran.
Diharapkan tak cuma Aljazair yang tidak penasaran terus. Pemain
Jerman Barat pun perlu bersabar. Sebab bila pemain Italia yang
berhasil mengalahkan Jerman Barat menurut kabar akan mendapat
bonus US$ 65.000, sekitar Rp 42 juta per orang, pemain Jerman
Barat sendiri belum tahu akan dapat imbalan apa. Cuma penjaga
gawang Herr Schumecher nampaknya akan kehilangan uang. Sebab dia
sudah berjanji akan membayar ongkos perawatan perllain Prancis,
Battiston, yang dia tabrak hingga setengah jam tak sadarkan
diri. Battiston dilarikan ke sebuah rumahsakit di Seville.
Giginya rontok 3 biji.
Untung juga tak ada lagi yang harus kehilangan uang dan/atau
gigi. Tapi toh Italia dan Jerman Barat yang memainkan
pertandingan di final oleh banyak kalangan dinilai kurang
menampilkan permainan yang bermutu tinggi. Paling sedikit kurang
menarik, ketimbang pertandingan yang dimainkan Brazil ketika
melawan Italia misalnya.
Pada puncak pertandingan itu orang menyaksikan permainan "adu
kaki" -- meskipun masih dalam batas di bawah betis. Ini
nampaknya tak lebih dari strategi "untuk menang" yang digariskan
Bearzot sebelum turun ke lapangan. "Saya yakin kekuatan fisik,
dan bukan ketrampilan teknik yang akan menentukan pertandingan
malam ini, " katanya.
Mengikutsertakan 24 kesebelasan dalam putaran final, seperti
pertama kali terjadi di Spanyol ini, memang ada untung-ruginya.
Yang tak enak tentulah sempat tampilnya kesebelasan yang belum
memadai. Ini terbukti, misalnya, ketika kesebelasan El Salvador
harus bertekuk lutut pada Hongaria dengan 110.
Tapi untung juga, dari sekian banyak peserta, ternyata muncul
kesebelasan yang cukup tangguh yang tak pernah diduga. Misalnya
Aljazair dan Kamerun walau kedua-duanya tersisih pada putaran
pertama.
Perwasitan juga memberi warna buruk di Mundial '82. Antara lain
keributan yang timbul dalam pertandingan Kuwait-Prancis,
sehingga wasit Stuyar dari Uni Soviet diskors. Begitu pula
"permainan damai" Jerman-Austria yang tidak ditegur wasit.
Pele, dalam sebuah kolomnya mengusulkan supaya pertandingan
dipimpin oleh 2 orang wasit. Masing-masing menguasai separuh
lapangan. "Saya menghendaki 2 wasit untuk tiap pertandingan,
berapa pun harga yang harus ditanggung promotor. Ini berdasarkan
apa yang saya amati selama hampir 30 tahun sebagai pemain dan
pengamat," kata macan bola Brazil yang legendaris itu.
Pelaksanaan pertandingannya sendiri berjalan sesuai dengan
rencana. Lima puluh dua pertandingan di 14 kota yang tersebar di
seluruh Spanyol. Tidak ada pembantaian pemain seperti yang
terjadi di Olympiade Munchen 1972, sekalipun api untuk kerusuhan
cukup potensial untuk pesta olahraga paling akbar ini. Empat
buah bom memang meledak secara serempak di empat pusat
kementerian pertahanan Spanyol. Hanya beberapa jam setelah 5000
merpati putih dan 10.000 balon diterbangkan ke udara dari
Stadion Nou Camp. Tak ada korban yang jatuh. "Cuma menimbulkan
suara ribut saja," kata polisi.
Organisasi separatis Basque, ETA, yang dikhawatirkan akan
menarik "perhatian", ternyata ikut terlena selama pesta itu.
Memang, sebelumnya kelompok separatis ini sudah berjanji tidak
mengganggu jalannya bola yang ditendang kian ke mari. Mungkin
karena tim tuan rumah Spanyol sendiri diperkuat beberapa pemain
dari daerah Basque. Jesus Maria Zamora di antaranya.
Konflik Inggris-Argentina juga tidak memancing. Sekalipun
televisi Inggris sempat mem-blackout tiap pertandingan yang
dimainkan Argentina. Perselisihan Inggris-Spanyol soal Gibraltar
memang terbawa-bawa. Tetapi hanya sampai perkelahian di luar
stadion. Seorang pemuda Inggris kena tikam, masuk rumahsakit.
Dan segera sembuh. Beberapa suporter Inggris yang terkenal
ugal-ulgalan sempat juga ditahan polisi karena menggosok-gosok
tubuhnya yang telanjang bulat dengan bendera Spanyol. Dan
pemuda-pemuda fanatik Spanyol sudah cukup puas melihat tim
Inggris gagal maju ke semifinal, setelah ditahan draw 0-0 oleh
Zamora dkk. Sebanyak 22.000 petugas keamanan dikerahkan menjaga
keamanan mulai dari lapangan terbang sampai pintu masuk stadion.
Tak ada satu pertandingan olahraga yang begitu besar daya
pikatnya seperti Piala Dunia ini. Diperkirakan 1 milyar penduduk
dunia menyaksikan pertandingan yang dibuka dan ditutup dengan
lagu Le jeu irterdit (Permainan terlarang) -- yang manis
mendayu-dayu. Orang-orang di belahan bumi sebelah timur menjadi
loyo paginya karena pesona permainan.
Di Mesir orang menonton sambil menunggu berbuka puasa. Begitu
ramainya orang menyetel televisi sehingga kementerian tenaga
listrik mengecam Piala Dunia tersebut sebagai "edan" karena
mengakibatkan kurangnya cadangan tenaga untuk musim panas ini.
Di Spanyol sendiri kaum wanita menganggap Mundial 82 ini jelas
merepotkan. Mereka mengeluh, suami mereka menonton pertandingan
di televisi tanpa boleh diganggu. Pengantin baru juga tersiksa.
Seorang mempelai wanita yang masih mengenakan pakaian lengkap
berwarna putih dengan topinya segala, terlihat mondar-mandir
mencan pengantin lelaki di Stadion Barcelona yang begitu besar.
Buat tuan rumah Spanyol yang kehilangan kesempatan menempati
kedudukan terhormat dalam perebutan piala pesta ini ternyata
harus dibayar dengan harga yang tidak sedikit. Pesta yang empat
tahun lalu itu diperkirakan menghabiskan sekitar US$ 40 juta,
ternyata setelah dilambungkan inflasi, mencapai US$ 400 juta.
DALAM perhitungan untung rugi, muncul lagi pertarungan
kalah-menang. "Dalam Piala Dunia yang menyedihkan ini, ada 2
pemenang dan satu kalah parah," tulis koran Diario 16. "Pemenang
adalah FIFA dan perusahaan periklanan West Nally. Sedangkan yang
kalah habis-habisan adalah Spanyol."
Kebangkrutan itu terutama diderita Mundiespana, agen resmi yang
menjual tiket. Hanya setengah paket tiket yang disatukan dengan
biaya penginapan itu laku terjual. Harganya US$ 5.000 per paket
yang berlaku selama sebulan. "Mungkin kami memasang harga
terlalu tinggi," kata seorang jurubicara Mundiespana. Selain itu
dari 1 juta turis yang diharapkan tumpah di Spanyol selama
Mundiespana, hanya 400.000 orang yang jadi datang.
Yang pulang dengan saku tebal tentu saja West Nally yang
sebagian besar sahamnya dipegang perusahaan alat olahraga
Adidas. Dia yang dapat kontrak pemasangan iklan dari Coca-Cola,
Gillete dan Seiko, mengeruk untung US$ 20 juta. FIFA mengantungi
US$ 4 juta dari persentase penjualan karcis dan iklan. Mungkin
ancaman rugi inilah yang membuat Kolumbia di Amerika Tengah itu
yang hidup dari cokelat dan kopi, ragu-ragu menerima tawaran
sebagai penyelenggara kerepotan sepakbola dunia ini tahun 1986.
Atau anda kepingin Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini