Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Setelah pesta bola 400 juta dolar

Italia menjuari sepak bola piala dunia 1982 di spanyol. banyak yang meramal para calon juara. mutu turnamen merosot dibanding dahulu. melahirkan superstar baru. spanyol direpotkan utang.(or)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARCO Tardelli meliak-liuk di lapangan tengah musuh. Dia menerima umpan dari sayap kanan. Menggiring dan memperdayakan seorang pengawal. Pemain tengah Italia itu kemudian merayap ke rusuk kiri daerah penalti dengan bola yang masih lengket di ujung kaki. Ketika pemain belakang Jerman Barat, Bernd Forster mau menghentikan serbuannya itu, Tardelli, dengan berat badan yang jatuh ke kanan menghantam bola dengan kaki kiri, memperdayakan benteng terakhir Schumacher yang maju ke depan untuk menutup pintu gawang. Bola tajam menghunjam di pojok gawang. Penonton yang memadati stadion Santiago Bernabeu, Madrid, yang berkapasitas 120.000 tempat duduk itu, berdiri seperti tersengat listrik. Bendera hijau, putih dan merah berkibaran ditingkah drum yang dipalu suporter Italia. Tardelli sendiri tak bisa menahan emosi untuk gol kedua bagi negaranya itu. Dia berteriak dan berlari dengan tangan mengepal ke udara. Baru beberapa saat kemudian, ketika emosinya reda, ia ingat akan sesuatu yang lebih besar. Tardelli lantas membuat tanda salib di dadanya. Di tribun, Presiden Italia, Sandro Pertini, seperti tak bisa mengatasi ketegangan saraf yang timbul gara-gara gol itu. Presiden yang tua itu berdiri dari kursi, mengangkat tangan dan meneriakkan kata-kata gembira ke lapangan. Sementara rekannya dalam "pertemuan puncak" Madrid itu (yang duduk dibatasi Raja Spanyol, Juan Carlos) Kanselir Jerman Barat, Helmut Schmitt, hanya tersenyum. Pertini luluh dengan kegembiraan anak-anaknya, ketika pertandingan Italia-Jerman Barat yang berlangsung 11 Juli itu berakhir 3-1. Dia begitu asyik hingga membuat Helmut Schmidt beberapa detik tertunggu-tunggu untuk mengucapkan selamat. Dengan kemenangan itu tim Italia berhak memboyong Piala Dunia yang menggambarkan Dewi Kemenangan. Sebuah tanda penghargaan terbuat dari emas setinggi 36 cm bobot 5 kg. Bernilai sekitar US$ 4 juta, atau Rp 2,6 milyar. Kemenangan di Madrid itu merupakan pesta ketiga kalinya buat Italia sejak negara itu terjun dalam perebutan supremasi sepakbola dunia yang berusia 52 tahun tersebut. Sebelumnya dia memenangkannya di Roma tahun 1934. Kemudian di Paris tahun 1938. Dengan kemenangan di Madrid ini, Italia sekaligus mengangkat nama Eropa untuk menyamai prestasi Brazil dari Amerika Latin. Italia turun ke putaran final di Spanyol dengan kekuatan yang tidak meyakinkan (lihat box: Juara Di Luar Ramalan). Satu grup dengan Polandia, Kamerun dan Peru di putaran pertama, dia hanya bisa bermain draw. Melawan Peru yang berakhir 1-1 dia hampir saja terguling. Untung wasit Walter Eschweiler menolak tuntutan penalti dari pemain Peru, Juan Carlos Oblitas, karena jatuh diganjal Claudio Gentile. Sebagai satu tim Italia belum menemukan bentuknya pada putaran pertama. Karena itulah pelatih Enzo Bearzot tidak berani sesumbar mengenai peluang anak buahnya. Ia malah kelihatan seperti terpukau oleh permainan Brazil dan meramalkan tim Amerika Latin itu bakal muncul di final. Entahlah kalau sikap itu semacam permainan kucing-kucingan belaka dari orang Italia yang memang terkenal lihai. Masuk ke putaran kedua barulah Italia memperlihatkan belangnya dan membuat orang yang memandang rendah mulai menghitung-hitung. Dia mengejutkan penonton di stadion Sarria, Barcelona dan membikin kecut Argentina dengan mengalahkan tim Amerika Latin itu dengan 2-1. Tidak hanya pelatih Menotti yang tercoreng mukanya. Kekalahan ini juga membikin malu bintang muda Maradona. Gentile membuatnya tak berdaya dengan pengawalan yang luar biasa ketat. Menotti mencatat anak emasnya itu dicurangi paling tidak 20 kali. Dia mencerca wasit, karena kurang melindungi kaki Maradona. Tak kalah dramatis adalah kekalahan Brazil. Tukang nujum, komputer, sampai bintang-bintang bola seperti Pele dan Cruyff, meramalkan tim ini bakal keIuar sebagai juara, paling tidak mencapai final. Pada putaran pertama dia mengumpulkan angka tertinggi 6. Hanya bisa disamai Inggris. Di putaran pertama mengalahkan Uni Soviet, Skotlandia, dan Selandia Baru dengan gaya permainan yang memikat. Serangan-serangannya yang ritmis ditingkah gendang dan tarian samba para suporter, membuat pertandingan-pertandingannya mirip sebuah atraksi. "Bertanding dengan Brazil ibarat main pada abad ke-21," sanjung pelatih Selandia Baru, John Adshead, setelah timnya takluk 4. TETAPI gelembung pujian itu tiba-tiba pecah. Italia menghancurkan harapan banyak orang dengan menundukkan juara dunia 3 kali itu 3-2. Buat penyokong Brazil, kekalahan ini cukup pahit untuk ditanggungkan. Contoh: Biro Keamanan Nasional Brazil melaporkan 3 orang langsung membunuh diri begitu melihat kekalahan itu di layar televisi, di Rio de Janeiro. Lima orang tak sadarkan diri dan meninggal sebelum sempat dirawat. Di Fortaleza, 3000 km dari bekas ibukota Brazil itu, seorang menebus kekalahan itu dengan menembak dirinya hingga mati. Dua orang "fanatik" lainnya tewas karena serangan jantung. Di Mesir, kekalahan Brazil itu dianggap lebih menyedihkan dibandingkan dengan penderitaan pejuang-pejuang Palestina yang terkepung di Libanon. Menurut seorang wartawan Al Aram, krisis di Beirut itu sudah rutin, sedangkan kekalahan Brazil ini adalah hilangnya sebuah pesona untuk orang Mesir. Tapi solidaritas Arab tak berhenti rupanya -- meski agak berlebihan: beberapa negara Arab tidak menyiarkan pertandingan itu, karena wasit Abraham Klein berasal dari Israel. Di Brazil sendiri, kaitannya lebih terasa tidak dalam politik. Harga kopi diperhitungkan turun. Paling tidak Brazilian Coffee Institute (BCI) dalam kampanyenya tidak bisa menyebutkan Brazil sebagai "produsen kopi terbaik dan pemain bola terbaik di dunia." Untuk iklan kelak dia hanya bisa bilang "Brazil penghasil kopi dan pemain bola yang baik." Kopi dan tim sepakbola yang diasuh Tele Santana ini memang erat berhubungan. Keuntungan tiap cangkir kopi masuk ke kas persepakbolaan. Untuk tahun 1981 negara yang mengekpor kopi dengan nilai sekitar US$ 2 milyar itu menyisihkan US$ 1,5 juta untuk pembinaan persepakbolaan. Untuk Piala Dunia, BCI menyebarkan 180.000 kaus kuning dengan emblem Federasi Sepakbola Brazil di kiri dan BCI di dada kanan. Kaus inilah yang mendominasi tiap stadion tempat Brazil bertarung. Namun betapa pun kecewanya kaum fanatik, orang Brazil mencoba tetap gagah dengan kekalahannya. Dua hari setelah kekalahan itu, tim Brazil dengan Tele Santana sebagai boss-nya mendarat di lapangan terbang Rio. Mereka tetap disambut hangat. Memang ada spanduk mengejek yang ditulis bagaikan menu makanan: "Spesial hari ini: Ayam dengan gaya Waldir Peres." Tetapi spanduk yang mengecam penampilan penjaga gawang Peres yang botak itu segera disingkirkan polisi. Banyak penyesalan dan kritik mengapa Brazil begitu serakah ketika kedudukan sudah 2-2 dalam pertandingan melawan Italia. Sebab dengan mempertahankan skor itu Brazil sudah berhak maju ke semifinal. Tetapi Santana, sama seperti Menotti, datang ke Spanyol tidak untuk bermain seri. Mereka mau menang. "Kalau Brazil akan bertarung lagi melawan Italia, saya akan memberikan instruksi yang sama," ujarnya dengan wajah tegang kepada wartawan. Namun pelatih yang pernah dapat serangan jantung ketika mempersiapkan tim Brazil itu, mengakui kesalahannya membiarkan Paolo Rossi terlalu bebas. Sehingga penyerang Italia itu mendapat peluang untuk memborong 3 gol. Bagi para ahli sepakbola, kekalahan Brazil punya segi lain yang mengecewakan. Grup C yang terdiri dari Argentina, Brazil dan Italia dalam putaran kedua merupakan arena konfrontasi gaya persepakbolaan Eropa yang kurang elok dan "terbelakang" lawan Amerika Latin yang memikat. Pers Italia sendiri merendahkan arti kemenangan tim nasionalnya. "Mengherankan Italia memenangkan pertandingan dengan gaya kuno," tulis sebuah koran yang terbit di Turino. Italia memang dianggap tidak bergerak maju. Malahan mundur ke tahun 1960-an. Itulah masa jaya-jayanya gaya permainan Catenaccio: satu sistem permainan yang juga disebut permainan "menggembok". Sistem ini mengandalkan pertahanan ketat dengan serangan balik secepat kilat. Untuk serangan balik ini diperlukan pemain-pemain pilihan yang punya daya tahan fisik. Apalagi kalau diperhitungkan pertandingan di Spanyol itu dimainkan di bawah suhu melebihi 30 derajat Celcius. Menotti sendiri menilai tim Italia menyuguhkan "anti football" ketika berhadapan dengan anak buahnya. Barangkali bukan sistem permainan Catenaccio yang dikritik pelatih Argentina itu, tapi gaya permainan yang diwarnai pula dengan kekerasan dan dianggap kurang nilai sportivitasnya. (Lihat Indak Disangko Catenaccio). Bagi para pembela catenaccio yan penting: permainan gebrak-balik ini tak melanggar garis wasit. Buktinya permainan yang mengalir dari dua tim Amerika Latin itu kandas oleh benteng pertahanan Italia. Jumlah penyerang lawan ditimpali dengan jumlah pemain bertahan yang lebih banyak. Terkadang di depan pintu gawang off bisa berkerumun 20 pemain. Tetapi awas: sekali bola lepas dari daerah pertahanan, Conti atau Tardelli bagaikan anak panah menyerbu pertahanan musuh. Sementara Rossi yang sudah menunggu di daerah lawan, siap menyelesaikan umpan-umpan. Kemenangan Italia atas dua musuh terkuat dari Amerika Latin itu menaikkan moral pemain. Sehingga ketika melawan Polandia di semifinal, mereka kelihatannya tidak terlalu menyandang beban berat. Apalagi Polandia bermain tanpa oniek yang harus absen karena mendapat 2 kartu kuning pada pertandingan sebelumnya. Polandia takluk 0-2. ITALIA yang gegap gempita karena kemenangan menentukan atas Brazil dan Argentina sebelumnya, bertambah menjadi-jadi. Juga jauh di Roma. Serombongan pemuda dengan menumpang kendaraan menuju bundaran St. Picter di Vatikan. Mereka berharap bisa melihat Paus Yohannes Paulus II kelahiran Polandia itu. Dengan nakal merea berteriak: "Kami lebih kuat dari Paus," -- mungkin karena yakin Paus yang gemar olahraga (tapi ski, khususnya) itu tak akan menantang mereka main bola. Tapi apakah Bapa Suci itu menonton pertandingan? Rupanya ini termasuk rahasia Vatikan. Seorang uskup mengatakan Paus menonton kekalahan tim Polandia itu. Tapi uskup yang lain mengatakan Yohannes Paulus II terlalu sibuk untuk menonton televisi. Jerman Barat sendiri yang bertemu Italia di final diharapkan orang bisa mempertahankan semangatnya yang meluap-luap seperti ketika menahan draw Prancis dalam semifinal -- walaupun sudah ketinggalan 1-3 sementara perpanjangan waktu 2 kali 15 menit sudah hampir usai. Tetapi serangan-serangan yang dimotori bintang Eropa KarlHeinz Rummenigge yang menggebu-gegu di babak pertama, tak kuasa menembus pertahanan Italia. Babak pertama dikuasai Jerman Barat. Tetapi justru pada babak ini Italia sudah berada di ambang kemenangan, ketika wasit asal Brazil, Coelho, memberikan hadiah penalti karena seorang pemain belakang Jerman Barat menyerempet pemain Italia. Tapi sial. Mungkin karena tegang, Cabrini yang pernah dipuji Pele sebagai pemain yang kalem itu, gagal menjalakan bola. Tendangan datarnya melenceng ke kanan gawang. Rossi yang mencetak gol pertama melalui tandukan kepalanya, sekali lagi mujur. Tempelan-tempelan Karl Heinz Forster terhadapnya tidak sekejam yang dilakukan pemain berwajah keras Gentile terhadap Maradona atau Zico pada pertandingan sebelumnya. Jerman Barat terlalu percaya diri. Dan kelihatannya mereka agak meremehkan Rossi -- seorang pemain bertubuh kecil, suka cengar-cengir, dengan gaya berjalan a la Charlie Chaplin. Rossi memang baru bebas dari hukuman larangan bermain dua tahun, karena tuduhan terlibat penyuapan. Barangkali karena itu dia agak kurang dipandang. Ternyata . . . Bola memang seperti hoki: sukar ditebak ke mana ia menemplok. Jerman Barat yang diunggulkan berbagai kalangan, ternyata dengan merangkak baru bisa lulus ke final. Di putaran pertama dia dipermalukan Aljazair yang mencukurnya 2-1. Lantas datang lagi cemooh yang tak kalah getirnya: dia dan tetangganya Austria yang sama-sama berbahasa Jerman "bersekongkol" untuk hanya bermain 1-0. Tujuan: agar keduanya masuk ke putaran kedua. Peristiwa itu memang kentara betul. Setelah gol yang tercipta pada menit ke-1, kedua tim tiba-tiba menghentikan serangan-serangan dan hanya kutak-katik di lapangan tengah. Berpura-pura untuk berusaha menggolkan pun mereka tidak mau. Lapangan tenang dan dingin seperti Sungai Rhein. Penonton yang kecewa meneriakkan rasa simpati mereka kepada tim yang jadi korban "Aljazair, Aljazair . . . " Reaksi datang juga memang. Ketua Federasi Sepakbola Aljazair Ben Ali Sekkal menuntut kepada FIFA supaya Jerman Barat dan Austria didiskualifikasikan. Semula Hermann Neuberger, wakil Jerman Barat di FIFA, menyebutkan bahwa semua tim boleh bermain hati-hati. Tetapi Ketua Federasi Sepakbola Dunia, Joao Havelange, kepada Kongres FIFA yang berlangsung di Madrid 9 Juli, menyatakan minta maaf terhadap "affair Jerman-Austria." Dan badan sepakbola dunia itu sendiri akan membuat peraturan yang menghindarkan "persekongkolan" dua tim, dengan melaksanakan pertandingan secara serempak. Di negeri sendiri tim yang dipimpin manajer berambut perak, Jupp Derwall itu, tak ayal kena kritik juga. Perwira polisi Alexander Klumper dari Oldenburg, dekat Bremen, telah mengajukan tuntutan ke pengadilan. Dia menuntut tim Jerman Barat karena dirinya muak mau muntah. Dia juga menggugat tim negaranya menghina dan merusak nama Republik Federal. KEPADA tim Aljazair, Ketua FIFA, Havelange yang berasal dari Brazil dan terpilih kembali sebagai ketua untuk masa jabatan 4 tahun lagi, membujuk dengan berkata: "Brazil datang ke sini dengan tim yang hebat, tapi gagal. Mereka tak berdalih. Mereka pulang sama seperti tim yang tersingkir lainnya." Jadi diharapkan Aljazair tak terus penasaran. Diharapkan tak cuma Aljazair yang tidak penasaran terus. Pemain Jerman Barat pun perlu bersabar. Sebab bila pemain Italia yang berhasil mengalahkan Jerman Barat menurut kabar akan mendapat bonus US$ 65.000, sekitar Rp 42 juta per orang, pemain Jerman Barat sendiri belum tahu akan dapat imbalan apa. Cuma penjaga gawang Herr Schumecher nampaknya akan kehilangan uang. Sebab dia sudah berjanji akan membayar ongkos perawatan perllain Prancis, Battiston, yang dia tabrak hingga setengah jam tak sadarkan diri. Battiston dilarikan ke sebuah rumahsakit di Seville. Giginya rontok 3 biji. Untung juga tak ada lagi yang harus kehilangan uang dan/atau gigi. Tapi toh Italia dan Jerman Barat yang memainkan pertandingan di final oleh banyak kalangan dinilai kurang menampilkan permainan yang bermutu tinggi. Paling sedikit kurang menarik, ketimbang pertandingan yang dimainkan Brazil ketika melawan Italia misalnya. Pada puncak pertandingan itu orang menyaksikan permainan "adu kaki" -- meskipun masih dalam batas di bawah betis. Ini nampaknya tak lebih dari strategi "untuk menang" yang digariskan Bearzot sebelum turun ke lapangan. "Saya yakin kekuatan fisik, dan bukan ketrampilan teknik yang akan menentukan pertandingan malam ini, " katanya. Mengikutsertakan 24 kesebelasan dalam putaran final, seperti pertama kali terjadi di Spanyol ini, memang ada untung-ruginya. Yang tak enak tentulah sempat tampilnya kesebelasan yang belum memadai. Ini terbukti, misalnya, ketika kesebelasan El Salvador harus bertekuk lutut pada Hongaria dengan 110. Tapi untung juga, dari sekian banyak peserta, ternyata muncul kesebelasan yang cukup tangguh yang tak pernah diduga. Misalnya Aljazair dan Kamerun walau kedua-duanya tersisih pada putaran pertama. Perwasitan juga memberi warna buruk di Mundial '82. Antara lain keributan yang timbul dalam pertandingan Kuwait-Prancis, sehingga wasit Stuyar dari Uni Soviet diskors. Begitu pula "permainan damai" Jerman-Austria yang tidak ditegur wasit. Pele, dalam sebuah kolomnya mengusulkan supaya pertandingan dipimpin oleh 2 orang wasit. Masing-masing menguasai separuh lapangan. "Saya menghendaki 2 wasit untuk tiap pertandingan, berapa pun harga yang harus ditanggung promotor. Ini berdasarkan apa yang saya amati selama hampir 30 tahun sebagai pemain dan pengamat," kata macan bola Brazil yang legendaris itu. Pelaksanaan pertandingannya sendiri berjalan sesuai dengan rencana. Lima puluh dua pertandingan di 14 kota yang tersebar di seluruh Spanyol. Tidak ada pembantaian pemain seperti yang terjadi di Olympiade Munchen 1972, sekalipun api untuk kerusuhan cukup potensial untuk pesta olahraga paling akbar ini. Empat buah bom memang meledak secara serempak di empat pusat kementerian pertahanan Spanyol. Hanya beberapa jam setelah 5000 merpati putih dan 10.000 balon diterbangkan ke udara dari Stadion Nou Camp. Tak ada korban yang jatuh. "Cuma menimbulkan suara ribut saja," kata polisi. Organisasi separatis Basque, ETA, yang dikhawatirkan akan menarik "perhatian", ternyata ikut terlena selama pesta itu. Memang, sebelumnya kelompok separatis ini sudah berjanji tidak mengganggu jalannya bola yang ditendang kian ke mari. Mungkin karena tim tuan rumah Spanyol sendiri diperkuat beberapa pemain dari daerah Basque. Jesus Maria Zamora di antaranya. Konflik Inggris-Argentina juga tidak memancing. Sekalipun televisi Inggris sempat mem-blackout tiap pertandingan yang dimainkan Argentina. Perselisihan Inggris-Spanyol soal Gibraltar memang terbawa-bawa. Tetapi hanya sampai perkelahian di luar stadion. Seorang pemuda Inggris kena tikam, masuk rumahsakit. Dan segera sembuh. Beberapa suporter Inggris yang terkenal ugal-ulgalan sempat juga ditahan polisi karena menggosok-gosok tubuhnya yang telanjang bulat dengan bendera Spanyol. Dan pemuda-pemuda fanatik Spanyol sudah cukup puas melihat tim Inggris gagal maju ke semifinal, setelah ditahan draw 0-0 oleh Zamora dkk. Sebanyak 22.000 petugas keamanan dikerahkan menjaga keamanan mulai dari lapangan terbang sampai pintu masuk stadion. Tak ada satu pertandingan olahraga yang begitu besar daya pikatnya seperti Piala Dunia ini. Diperkirakan 1 milyar penduduk dunia menyaksikan pertandingan yang dibuka dan ditutup dengan lagu Le jeu irterdit (Permainan terlarang) -- yang manis mendayu-dayu. Orang-orang di belahan bumi sebelah timur menjadi loyo paginya karena pesona permainan. Di Mesir orang menonton sambil menunggu berbuka puasa. Begitu ramainya orang menyetel televisi sehingga kementerian tenaga listrik mengecam Piala Dunia tersebut sebagai "edan" karena mengakibatkan kurangnya cadangan tenaga untuk musim panas ini. Di Spanyol sendiri kaum wanita menganggap Mundial 82 ini jelas merepotkan. Mereka mengeluh, suami mereka menonton pertandingan di televisi tanpa boleh diganggu. Pengantin baru juga tersiksa. Seorang mempelai wanita yang masih mengenakan pakaian lengkap berwarna putih dengan topinya segala, terlihat mondar-mandir mencan pengantin lelaki di Stadion Barcelona yang begitu besar. Buat tuan rumah Spanyol yang kehilangan kesempatan menempati kedudukan terhormat dalam perebutan piala pesta ini ternyata harus dibayar dengan harga yang tidak sedikit. Pesta yang empat tahun lalu itu diperkirakan menghabiskan sekitar US$ 40 juta, ternyata setelah dilambungkan inflasi, mencapai US$ 400 juta. DALAM perhitungan untung rugi, muncul lagi pertarungan kalah-menang. "Dalam Piala Dunia yang menyedihkan ini, ada 2 pemenang dan satu kalah parah," tulis koran Diario 16. "Pemenang adalah FIFA dan perusahaan periklanan West Nally. Sedangkan yang kalah habis-habisan adalah Spanyol." Kebangkrutan itu terutama diderita Mundiespana, agen resmi yang menjual tiket. Hanya setengah paket tiket yang disatukan dengan biaya penginapan itu laku terjual. Harganya US$ 5.000 per paket yang berlaku selama sebulan. "Mungkin kami memasang harga terlalu tinggi," kata seorang jurubicara Mundiespana. Selain itu dari 1 juta turis yang diharapkan tumpah di Spanyol selama Mundiespana, hanya 400.000 orang yang jadi datang. Yang pulang dengan saku tebal tentu saja West Nally yang sebagian besar sahamnya dipegang perusahaan alat olahraga Adidas. Dia yang dapat kontrak pemasangan iklan dari Coca-Cola, Gillete dan Seiko, mengeruk untung US$ 20 juta. FIFA mengantungi US$ 4 juta dari persentase penjualan karcis dan iklan. Mungkin ancaman rugi inilah yang membuat Kolumbia di Amerika Tengah itu yang hidup dari cokelat dan kopi, ragu-ragu menerima tawaran sebagai penyelenggara kerepotan sepakbola dunia ini tahun 1986. Atau anda kepingin Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus