HANYA sekitar dua jam "mesin gol" tim Persib Bandung, Adjat Sudradjat, hanyut dalam kesedihan sesudah regunya dikalahkan PSMS Medan pada final Kejuaraan 12 Besar PSSI di Stadion Utama Senayan, Jakarta, Sabtu malam lalu. Setelah itu dia larut di antara penggemarnya, yang datang ke Hotel Asri, tempat pemain Persib menginap, untuk mengucapkan simpati. "Kami sudah berusaha maksimal," kata Adjat "Tapi nasib menentukan lain." Pada detik-detik Kiper Sobur terkecoh oleh tembakan pemain PSMS, Mameh Soediono, yang kemudian memastikan Medan juara lagi, Adjat memang sempat luluh. Bersama teman-temannya, Adjat, 23, yang tampil sebagai pencetak gol terbanyak (16 gol) selama kejuaraan, tampak masih terisak isak ketika meninggalkan lapangan pertandingan. Dalam adu penalti, setelah perpanjangan waktu 2 x 15 menit tak mengubah angka 2-2, Persib kalah 4-3. Satu-satunya gol tambahan bagi Persib diciptakan oleh Adjat, penembak penalti ketiga malam itu. Berambut ikal, berhidung mancung, dengan sebaris kumis tipis di bawahnya, Adjat, yang gerakannya di lapangan hijau kerap memukau lawan, memang bukan tipe pemain yang suka berlarut-larut dalam kesedihan, karena kekalahan. Malam itu, anak Kampung Bojonegoro, Sukajadi, Bandung, ini bermalam Minggu bersama Penyanyi Hetty Koes Endang dan adiknya Ike yang datang menjemputnya. "Kami menonton pertunjukan midnite di Gajah Mada Plaza," kata Adjat, yang menggemari film kungfu itu. Hetty adalah satu dari banyak artis yang selama Kejuaraan 12 Besar PSSI menjadi pendukung fanatik Persib (lihat: Pokok Tokoh). Lahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, Adjat mulai tergila-gila main bola sejak usia tujuh tahun. Karena kegilaannya pada bola, Adjat, yang kini jadi karyawan PLN Bandung, baru sempat ikut ujian SMA bulan lalu - bersamaan dengan kompetisi PSSI. Tapi di lapangan hijau, kebolehannya tak meragukan. Meniti karier sebagai pemain Klub Propelat, Bandung pada 1977, selang tiga tahun putra keluarga Sukani ini terpilih sebagai pemain terbaik dalam turnamen sepak bola KNPI Jawa Barat. Sejak itu, nama Adjat dikenal di mana-mana - lebih-lebih setelah terpilih sebagai pemain utama Persib. Tahun 1983, ia terpilih sebagai pemain terbaik pada Kejuaraan 12 Besar Kejuaraan PSSI, tapi baru dua kali memperkuat tim ke luar negeri. Di antaranya, memperkuat kesebelasan PSMS pada turnamen Piala Merliondi Singapura. Tak semua pemain Persib bisa seperti Adjat, memang. Terutama dalam melupakan kekalahan. Bagi kebanyakan mereka, sulit untuk segera bisa melupakan tragedi Sabtu malam itu, yang merupakan kekalahan kedua mereka dari PSMS pada turnamen dan tempat yang sama. Dua tahun lalu Persib kalah 5-4, juga setelah adu penalti. Maka, ambisi mereka merebut lambang kehormatan perserikatan selama 25 tahun terakhir masih harus menunggu dua tahun lagi. Persib adalah pemegang mahkota kejuaraan Perserikatan PSSI tiga kali, sejak kejuaraan dimulai di Solo pada 1931. Bond ini pertama kali merebut gelar kehormatan itu di Solo, 1937, kemudian di Semarang, 1950 dan terakhir juga di Semarang, 1961. Sejak kalah dari Persija Jakarta pada 1964, selama 18 tahun, tim Parahiyangan ini hampir tak diperhitungkan lawan lagi. Persib baru bangkit lagi awal 1983. Tokoh yang berperan kuat dalam memulihkan nama besar itu adalah bekas gubernur Jawa Barat Solihin G.P. yang kini menjadi sesdalopbang. Pada Kejuaraan PSSI ke-29, yang dimulai 15 Januari lalu, sebenarnya Persib, yang kemudian terpilih sebagai kesebelasan terbaik ini, sudah diramalkan akan tampil sebagai pemenang. Antara lain karena mereka memiliki materi pemain paling baik dibandingkan kesebelasan lainnya. Beberapa di antaranya ikut membela Persib ketika bertarung di final, dua tahun lalu. Mereka adalah Adjat, Robby Darwis, Iwan Sunarya, dan Dede Iskandar. Muncul sebagai kesebelasan tak terkalahkan, pada putaran pertama Kejuaraan 12 Besar PSSI di Banda Aceh, Persib makin meyakinkan penggemarnya untuk memboyong piala kejuaraan dari tangan Medan. Dibantu oleh media massa - mulai dari surat kabar Pikiran Rakyat dan sejumlah radio siaran swasta niaga di Bandung kampanye untuk mendukung Persib pun dimulai. Kesulitan keuangan yang selama ini merongrong Perslb, berangsur sirna begitu dana mengahr dari pelbagai pengusaha, yang mendukung Persib, mengalir. Tak hanya itu. Dukungan moril dari penduduk Kota Kembang dan pelbagai pelosok Jawa Barat dibuktikan dengan kehadiran mereka di stadion. Kesibukan pendukung Persib Itu memuncak Sabtu lalu. Ratusan mobil penuh suporter dari Bandung tampak menyesak di Ibu Kota. Mobil-mobil itu hampir semua ditempeli poster bertuliskan dukungan terhadap tim Parahiyangan ini: "Persib Juara". Sampai tengah hari, sudah puluhan mobil bergerak memasuki kompleks Senayan atau Hotel Asri, tempat menginap kesebelasan tim Bandung. Sementara itu, di Bandung kesibukan di jalan-jalan raya pada hari yang sama juga meningkat deras. Beberapa jalan, terutama jurusan ke luar kota, macet. Karena jalan-jalan raya itu dipenuhi anak-anak sekolah yang melepas suporter dari pinggir jalan. Tapi malamnya, suasana di ibu kota Jawa Barat jadi sepi, karena penduduk berkerumun di depan teve, menyaksikan siaran langsung dari stadion utama Senayan. Semangat mendukung daerah memang bergema kuat pada hari berlangsungnya final di Senayan. Buat Persib, dukungan besar itu belum pernah terjadi sebelumnya. "Warga Jawa Barat sudah betul-betul rindu untuk bisa merebut piala kehormatan PSSI. Karena itu Persib akan berjuang sekuat tenaga," kata Solihin G.P. sebelum pertandingan. Di Senayan, pendukung Persib berkumpul dengan pendukung PSMS. Tak mau kalah, pendukung PSMS, kendati jumlah mereka lebih sedikit, toh menunjukkan agresivitas yang tinggi. Beberapa pendukung kubu Sumatera Utara ini bahkan nekat memanjat atap stadion agar poster mereka terlihat pengunjung. Isinya, seperti juga poster Persib, berisi pujian terhadap tim favorit mereka. Pendukung-pendukung PSMS bahkan tampak seperti menebus dosa pada kesebelasan mereka, yang berangkat ke kejuaraan kali dengan dana yang pas-pasan. Tapi setelah PSMS pasti tampil di final, sumbangan pun mengalir buat para pemain itu. Antara lain dari bekas pemain PSMS yang diwakili bekas kapten kesebelasan, Sarman Panggabean, dan yang lebih mengharukan sumbangan dari tukang-tukang becak. Mereka ini mengucapkan janji akan mengadakan parade keliling kota untuk tim PSMS, jika tim itu berhasil mempertahankan gelarnya. Mengapa dukungan demikian hebat? Tim pemegang gelar juara ini berangkat ke gelanggang pertempuran dalam suasana konflik yang menajam di tubuh pengurusnya. Yakni, antara ketua umum PSMS Sjarief Siregar dan beberapa stafnya, di antaranya Bawono, manajer tim PSMS ke pertandingan perserikatan. Karena itu, di babak awal anak-anak Medan ini bemain dalam keadaan kacau. Mereka kalah dua kali: melawan Persiraja (O-2) dan PSP (1-2). Baru menjelang semifinal, tim juara bertahan ini, mulai tampil bagus. Kendati dengan start buruk, dikalahkan Ujungpandang 1-2, mereka pada akhirnya bisa merebut tiket final setelah mengalahkan Bandung 2-1. Dengan selisih gol yang lebih baik, Persib, yang nllai kemenangannya sama dengan Ujungpandang, tampil Juga sebagai finalis. Sukses PSMS tampak tak terlepas dari keterampilan Kiper Ponirin, yang menepis tiga dari lima gol penalti. "Karena bisa membaca gerak tiga dari lima algojo Persib, maka tiga tendangan mereka bisa saya tepis," kata Ponirin, yang kembali jadi pahlawan regunya itu. Dua tahun lalu, Ponirin, orang Jawa Tengah kelahiran Tanjungmorawa, Sumatera Utara, juga jadi pujaan warga Medan ketika menutup peluang Persib memperoleh kemenangan dengan kedua tangannya. Apakah itu lantaran Persib tidak mempersiapkan algojo penalti? Manajer Persib Yayat Ruchiyat membantahnya. "Mereka adalah algojo pilihan dari 20 algojo yang sudah lama kami latih," katanya. "Mereka itu, jika ada ijazahnya, lulus cumlaude." Ruchiyat menambahkan, bukan soal penalti yang menjadi soal kekalahan Persib. Tapi wasit. Rapat pengurus Persib, yang dipimpin langsung oleh Solihin, Senin pekan ini, membahas ketidakjelian wasit itu. "Kami yakin, wasit merugikan kami," kata Solihin. Karena itu, ia langsung mengirim surat kepada PSSI melaporkan hasil evaluasi mereka terhadap cara kerja wasit pada pertandingan final. "Ini bukan sebagai protes, tapi koreksi atas Wasit Jafar Umar yang memimpin pertandingan final itu." Menurut Solihin, ada tiga kekeliruan Jafar. Sebuah turnamen berat dan besar - setiap tim melakukan 15 kali main, dan pertandingan final disaksikan 150.000 penonton selesai sudah. Satu hal yang tampak masih menggantung di sela meriahnya suasana turnamen 12 Besar PSSI itu: Bagaimana mutu pemain dan kesebelasan Indonesia saat ini? "Jika kita ambil patokan 15 tahun terakhir ini, saya sepakat, sebenarnya memang telah terjadi kemerosotan," kata ketua II PSSI, Wahab Abdi. Bicara gamblang kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO, Wahab mengatakan, penyebab kemunduran, antara lain, kurang lancarnya kompetisi perserikatan. Di seluruh Indonesia terdapat 314 perserikatan tapi dari jumlah itu, hanya bond-bond di kota besar yang kompetisinya berjalan. Tak heran kalau tim nasional Indonesia makin kekurangan pemain. Padahal, pada masa Sutjipto Suntoro, akhir 1960-an, tim Indonesia termasuk kesebelasan yang disegani di Asia. Waktu itu, tim Indonesia berhasil merebut gelar juara pertama turnamen Merdeka Games di Kuala Lumpur, serta sejumlah predikat juara lain. Setelah hasil ini, prestasi baik hanya dicapai kesebelasan pelajar yang tahun lalu merebut gelar juara Asia. Kemerosotan lebih tampak mencolok ketika Galatama, yang diharapkan menghasilkan pemain "kelas satu", juga belum menghasilkan apa-apa. Galatama, misalnya, sudah beberapa bulan terakhir ini jatuh pamornya di mata penggemar sepak bola. Padahal, wadah ini dulu sering disebut-sebut sebagai universitas bagi pemain nasional. Salah satu korban kemunduran adalah Persija Jakarta. Tim Ibu Kota ini, yang pernah menjadi juara sembilan kali sejak 1931, secara tragis terlempar dari tempat terhormat di Divisi Utama ke Divisi I. Degradasi ini yang terburuk sepanjang sejarah Persija yang berdiri dengan nama VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacarta).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini