BEKAS kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, Ir. Yusri Zakaria, yang diduga ikut korupsi proyek reboasasi di wilayah itu, pekan-pekan ini bisa juga diseret ke pengadilan. Selama dua tahun, petugas kejaksaan tinggi di sana terpaksa bolak-balik ke Jakarta dan Yogyakarta, berusaha membawa pesakitan itu kembali ke Ujungpandang. Akhir 1982, kejaksaan membongkar korupsi proyek reboasasi hutan, yang diperkirakan meliputi uang negara Rp 7 milyar. Kegiatan di sana, belakangan, dipakai sebagai model kejaksaan-kejaksaan di seluruh Indonesia untuk membongkar kasus yang sama. Beberapa pejabat kehutanan di berbagai daerah diadili. Di Sulawesi Selatan sendiri satu di antaranya adalah kepala dinasnya, Ir. Hadi Martono. Di persidangan itu terungkap bahwa korupsi sudah terjadi sejak kepala dinas sebelumnya, Ir. Yusri, yang sudah dimutasikan menjadi kepala Dinas Kehutanan DI Yogyakarta. Tapi, ternyata, tidak mudah bagi kejaksaan untuk menyeret Yusri ke muka hakim. Maret 1983, Jaksa Sarman Damanik memang berhasil memeriksa Yusri di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta. Tapi, seminggu kemudian, Yusri, yang memang tidak ditahan itu, menghilang dari Jakarta. Diam-diam ternyata ia dibawa pengacaranya, Azhar Achmad, kembali ke Yogyakarta, dan dimasukkan ke rumah sakit Puri Nirmala, Sleman, dengan alasan mengalami gangguan jiwa. Petugas kejaksaan, yang semula sempat panik karena kehilangan tersangka, tidak dapat melanJutkan pengusutan. Ketua tim dokter yang merawat Yusri, dr. Soejono Prawirohardjo, melarang- petugas kelaksaan menguslk pasiennya. "Karena pasien itu bukan tahanan, saya melarang mereka menemui. Apalagi mereka datang tanpa surat tugas," ujar Soejono. Katanya, sesuai dengan KUHAP, seharusnya kejaksaan menangguhkan pemeriksaan - karena ada ketentuan bahwa tersangka yang menderita gangguan fisik dan mental tidak bisa diperiksa. "Yusri itu masuk rumah sakit karena sakit, bukan untuk bersembunyi," begitu Soejono membantah dugaan bahwa ia menghalangi kejaksaan mengusut Yusri. Sakit apa? Anggota tim dokter menyebut Yusri menderita anxiety depression - semacam kecemasan yang dikhawatirkan bisa menyebabkan penderita bunuh diri. "Ia mengalami trauma, takut kepada orang yang berseragam cokelat," ujar seorang anggota tim dokter, dr. Soemardi. Setelah sebulan di rumah sakit, barulah Yusri diizinkan pulang. Tapi kejaksaan Yogya, yang dimintai bantuan, masih belum bisa melanjutkan pemeriksaan, karena tersangka itu dalam status "berobat jalan". apalagi, kabarnya, kejaksaan Yogyakarta selalu menemukan rumah Yusri dalam keadaan tertutup (TEMPO, 21 Mei 1983). Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Baharuddin Lopa, menjadi tidak sabar menunggu. Tapi, berkali-kali ia mengutus anak buahnya ke Yogya, selalu tanpa hasil. Sebab, setiap petugasnya sampai di Yogya, selalu menemukan Yusri terbaring di rumah sakit. Begitu pula ketika Jaksa Hamzah mendapat tugas Desember lalu, ia mendapati Yusri di rumah sakit dalam keadaan diinfus. Tapi Hamzah rupanya tidak kehabisan akal. Ia memang pamit kembali ke Ujungpandang. Tapi, tanpa setahu siapa pun, ia tetap berada di Yogya. -Hasilnya: beberapa hari kemudian ia memergoki Yusri, yang tiba-tiba saja sudah sehat dan berada di luar rumah sakit. Jaksa itu segera menangkap dan memboyong Yusri ke Ujungpandang. Berkat "tipuan" Hamzah itu, sejak pertengahan bulan ini, Yusri duduk di kursi terdakwa. Jaksa Bachrum menuduh Yusri, 50, merugikan negara Rp 1 milyar. Selama masa jabatannya, menurut Jaksa, Yusri memanipulasikan proyek reboasasi dengan cara, "Mengesahkan berita acara pemeriksaan pekerjaan seolah-olah proyek sudah selesai seluruhnya, padahal kenyataannya tidak benar." Contoh-contoh yang dikemukakan Bachrum adalah pelaksanaan proyek di Toraja, Enrekang, Bone, dan Gowa. Pada keempat kabupaten itu dianggarkan proyek reboasasi pada masa Yusri sebanyak Rp 675 juta. Untuk itu, Yusri menandatangani berita acara bahwa seluruh anggaran itu telah terpakai. Padahal, kata Bachrum, yang direalisasikan sebenarnya hanya Rp 91 juta. Yang Rp 583 juta, menurut hitungan Jaksa, dikorupsi Yusri bersama pemborong-pemborong proyek itu. Selain itu, tuduh Bachrum, Yusri juga mempermainkan uang proyek untuk keuntungan pribadinya. Sebuah proyek reboasasi sebesar Rp 1,14 milyar untuk hutan seluas 24.600 ha, katanya, oleh Yusri diserahkan kepada kontraktor PT Rindang Utama. Pelaksanaan borongan itu kemudian diserahkan kembali kepada Yayasan Bina Rahardja yang diketuai Yusri sendiri dengan harga lebih murah. Yayasan itu kemudian menyerahkan lagi pekerjaan itu kepada kepala kehutanan tingkat kabupaten dengan harga yang lebih murah lagi. Tanpa bekerja apa-apa, menurut Bachrum, Rindang Utama mendapat keuntungan Rp 214 juta dan yayasan yang diketuai Yusri Rp 169 juta. Belum lagi pelaksana-pelaksana berikutnya. Terhadap semua tuduhan itu, Yusri, yang pernah kuliah di Fakultas Pertanian UGM dan menamatkan pendidikannya di Kanada, 1961, menolak memberikan komentar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini