Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Ikrar versus taktik menggaet kaki

Tim Perseman yang terkenal kasar kalah telak oleh Persib Bandung. Ternyata sebelumnya ada ikrar bersama untuk tidak berbuat curang. Komentar tentang Perseman yang keras dan banyak mendapat kartu merah.(or)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN penonton di Stadion Senayan, Rabu pekan lalu, terkesiap menyaksikan penampilan tim Perseman. Menghadapi Persib Bandung, malam itu, anak-anak Manokwari ini terlihat serba ragu dan, yang paling penting, permainan keras yang membuat nama mereka mencuat selama turnamen panjang itu - hilang sama sekali. Bila seorang pemain Perseman jatuh, misalnya ditubruk lawan, dia buru-buru berdiri, mengulurkan tangan minta maaf. Hal yang jarang terjadi pada pertandingan-pertandingan sebelumnya. "Kami bermain seperti banci, dan akibatnya jadi lucu," kata Adolf Kabo, bintang Perseman. Dalam pertandingan tak seimbang itu, Persib, yang didukung oleh seluruh penonton, akhirnya menutup peluang Perseman ke final dengan angka telak 4-1. Kenapa anak-anak dari kepala burung Irian Jaya Itu kehllangan bisa dalam pertandingan yang amat menentukan itu ? Tanda tanya itu segera terjawab ketika sebelum babak kedua dimulai, panitia pertandingan mengumumkan ikrar bersama pimpinan Persib dan Perseman. Ikrar itu ditandatangani ketua umum Persib, Solihin G.P, dan asisten tim manajer Perseman, M.E. Talahatu, dengan diketahui ketua PSSI, A. Wahab Abdi. Ikrar itu antara lain berisi: kedua tim akan bertanding dengan mengendalikan emosi, dan tidak akan melakukan cara-cara yang kurang serasi dengan peraturan permainan. Para suporter kedua kesebelasan dan penonton diimbau untuk menjaga ketertiban dan keamanan demi menjaga persatuan dan kesatuan. Ikrar itu rupanya telah membuat Perseman terikat janji dan tak bisa lagi mengembangkan permainannya. (Lihat: Upaya Mengenlalikan Teror Penonton). Sejak muncul di Jakarta, mengikuti putaran kedua Wilayah Barat, Perseman memang tak mendapat tempat di hati penonton. Mereka sering dicemooh, dilempari batu, atau berbagai teror lainnya. Puncaknya terjadi di semifinal, ketika Perseman berhadapan dengan PSMS. Dalam suatu perebutan bola di babak kedua, pemain sayap Leo Kapisa dianggap wasit mengasarl seorang pemain belakang lawan, dan tanpa ampun Leo diusir dari lapangan dengan sebuah kartu merah. Teman-teman Leo tak puas dengan keputusan itu, lalu mengerubuti wasit. Ketika itulah pemain gelandang Mondus Waney meninju Sutoyo, wasit FIFA yang berasal dari Semarang itu. Sutoyo lari ke tepi lapangan, sampai petugas keamanan berhasil menenangkan anak-anak Manokwari. Pertandingan dilanjutkan, tapi Mondus juga diberi kartu merah, sehingga Perseman bermain cuma dengan sembilan orang. Meskipun Medan memenangkan pertandmgan, para penonton tak puas dengan kejadian itu, dan melempari pemain Manokwari dengan botol-botol plastik bekas minuman. Sebagian mencoba mendekati pemain Perseman, tapi dapat dihalau petugas dengan letusan senjata ke atas. Kenapa publik Senayan membenci Perseman? "Anak asuhan Paul Cumming itu bukan bermain bola," kata Solihin menuduh, sambil mengungkapkan berbagai pengalaman anak buahnya dua kali menghadapi Manokwari di babak penyisihan, di Banda Aceh dan Jakarta - keduanya dengan hasil sama kuat. Adjat Sudradjat pernah kena pukul sampai rubuh di lapangan, dan pemain lainnya, Djafar Sidik, diinjak-injak pemain Perseman setelah terjatuh oleh sebuah tubrukan. Contoh lain kekerasan pemain Perseman cukup banyak. Pemain gelandangnya, Nico Woof, tak sekadar diberi wasit kartu merah, tapi juga diskors PSSI, tak boleh main bola selama dua tahun. Itu karena Woof memukuli Wolter Sulu, pemain andalan Bengkulu dan bekas pemain Persib, ketika kedua kesebelasan itu berhadapan di babak penyisihan. Bukti kekasaran Perseman memang sulit ditampik. Sejak kompetisi yang diikuti 12 bond utama itu dimulai 15 Januari lalu, ada 89 kartu kuning dan 7 kartu merah yang dikeluarkan wasit. Dari jumlah itu, pemain Perseman memperoleh kartu terbanyak, dengan 24 kartu kuning dan 4 kartu merah, disusul PSP, 10 kartu kuning dan 1 kartu merah. Kesebelasan paling sopan ternyata PSIS Semarang, dengan cuma sebuah kartu kuning selama pertandingan. Wahab Abdi menilai, masuknya Perseman ke dalam kompetisi Divisi Utama ini menyebabkan ciri kekerasan di dalam pertandingan meningkat. Pimpinan Perseman, Tanati, juga sulit membantah permainan kasar anak buahnya. "Kami terjerumus bermain kasar karena belum berpengalaman," katanya. Perseman terbentuk 1968, di kota kabupaten, Manokwari, yang cuma punya dua lapangan bola berlubang-lubang. Bila hujan lebat turun, lapangan itu berubah jadi kubangan kerbau. Namun, sejak zaman Belanda, bola memang sudah jadi permainan populer di sana. Barangkali karena pengaruh alam Irian yang masih berhutan lebat itu, permainan bola di sana menemukan bentuknya sebagai permainan keras. Tabrakan adalah hal yang lumrah, dan - tanpa ditolong teman - pemain yang jatuh harus segera berdiri untuk mengejar bola. "Kalau tak mampu berdiri, bisa-bisa dia ditendang temannya sendiri," kata Tanati. Dan pemain itu akan ditertawakan penonton. "Kaml memang menganggap sepak bola bukan permainan cengeng," tuturnya lebih lanjut. Baru setelah wakil gubernur IrJa, Sugiyono no, mengirimkan Pelatih Paul Cumming ke sana, mereka diajar peraturan bermain bola yang betul. Misalnya, tak boleh mencelakakan lawan, tak boleh men-tackle tanpa bola. "Tapi kalau benturan tubuh, itu 'kan main keras, bukan kasar," kata Adolf Kabo, 24, yang sudah bermain bola sejak berusia delapan tahun. Selain bermain bola, Kabo yang bertubuh kekar itu adalah petinju yang pernah menjadi juara kelas welter ringan di kotanya. Cumming langsung saja memanfaatkan permainan keras dengan operan-operan panjang pada pemain yang rata-rata memiliki tubuh kekar dan mampu berlari kencang. Dalam waktu singkat, hasilnya memang mengagumkan. Bersama Persipura, tim dari ibu kota provinsi pulau itu, yang pernah jadi juara PSSI tahun 1979, Perseman begitu muncul terus meloncat ke dalam enam besar Divisi Utama. Malah, mereka menapak menjadi salah satu calon finalis, sampai terjerembab di tangan Persib lewat pertandingan "ikrar" tadi. Menurut pelatih Persipura, Henky Heipon, 38, penampilan Perseman tak jauh berbeda dengan Persipura ketika pertama tampll dl kompetlsl nasional, 1964. Belakangan setelah menimba pengalaman dari tim-tim lain, Persipura bisa bermain menurut peraturan, meski tak meninggalkan ciri khasnya: bermain keras. Sebenarnya permainan keras itu bukan cuma dianut kedua tim dari Irian Jaya ini, tapi juga oleh tim yang lain, seperti Ujungpandang dan Medan. "Permainan itu memang sudah jadi gaya sepak bola masa kini," kata Ronny Pattinasarani. Malah, dalam situasi tertentu, kalau pemain lawan melaju dengan bola mendekati daerah penalti, menurut Iswadi Idris, permainan keras wajib dilakukan, misalnya melakukan sliding tackle. Tentu saja, harus diperhatikan peraturan-peraturan yang ada. Sliding tackle, mencocor bola sambil menjatuhkan tubuh itu, diperbolehkan selama kaki pemain yang melakukan gerakan sejajar dengan rumput dan tidak lebih tinggi dari diameter bola, dan tentu saja yang dituju harus bola, bukan kaki lawan. "Kalau melanggar itu, ya namanya kasar," ujar Ronny. Perehutan bola boleh dilakukan dengan gerakan sepenuh tenaga, asal gerakan itu tertuju kepada bola. Yang lain ialah adu tubuh (body cbarge), asal tak mendorong, apalagi menyikut lawan. Permainan keras, menurut Ronny, diperkenalkan Eropa sejak tahun 1960-an, untuk mematahkan dominasi tim Amerika Latin yang selalu unggul dalam berbagai permainan individu. Bukti nyata permainan keras itu ialah ketika Italia mempecundangi sekaligus dua tim raksasa di Piala Dunia 1982, Brazil dan Argentina. Kemenangan itu, menurut Ronny, tak terlepas dari andil pemain belakang Italia - terutama Gentile dan Bruno Conti - yang mampu menjinakkan mesin gol kedua tim, Zico (Brazil) dan Maradona (Argentina), dengan permainan keras. Akhirnya, Italia keluar sebagai juara. Untuk menghindari permainan keras berkembang jadi kasar, memang dibutuhkan wasil yang punya stamina prima, yang selalu mampu berada 10 m sampai 15 m dari bola. Dan itu, menurut Syamsudin Hadade, ketua Komisi Wasi- PSSI, sudah dipenuhi di dalam kejuaraan kali ini. "Seperti yang Anda lihat, yang memimpin pertandingan, semua wasit yang bisa berlari sepanjang pertandingan," katanya. Tapi menurut Iswadi, masih ada wasit yang meniup peluitnya, padahal dia berjarak 30 m dari bola. Bagi pemain yang sudah berpengalaman, posisi wasit sering dimanfaatkan untuk mencari keuntungan. Sunardi B. kapten kesebelasan PSMS, mengakui taktik timnya yang terkadang memancing anak-anak Manokwari yang cepat naik darah itu. Misalnya, dengan mengait kaki lawan dari belakang. "Kalau mereka sudah marah, yang dicari bukan bola tapi kaki, kita tinggal berhati-hati saja," ujar Sunardi. Yang jelas, permainan Perseman jadi kacau. Yonas Sawor, yang meninju Adjat Sudradjat itu, kepada TEMPO mengaku lebih dulu disikut Adjat di dalam suatu perebutan bola yang jauh dari mata wasit. Yonas marah, dan langsung menggebrak Adjat, sekalipun di depan mata wasit. Sedangkan Mondus Waney memukul Wasit Sutoyo, karena melihat wasit itu berbisik-bisik dengan Sunardi B. ketika terjadi keributan, setelah Leo Kapisa mendapat kartu merah. "Saya curiga, mereka bisik-bisik," kata Mondus, yang sudah siap menerima skorsing dari PSSI itu. Paul Cumming kesal juga pada temperamen anak asuhnya itu, yang sering lupa akan apa yang diajarkannya bila sudah di tengah lapangan. Tapi Cumming lebih kesal pada kelicikan banyak pemain lawan yang memanfaatkan temperamen pemainnya, misalnya menyikut atau mengait kaki ketika posisi wasit agak jauh. "Kenapa tak ada orang yang keberatan dengan permainan munafik sekotor itu?" katanya berang. Padahal, Solihin G.P., misalnya, mengakui bahwa beberapa pemain Manokwari masih muda-muda dan penuh bakat. "Apa kita biarkan mereka cuma berkelahi di lapangan ?" ujar Solihin. Maksudnya, barangkah, bagalmana kita blsa menyalurkan bakat terpendam yang dimiliki anak-anak dari belahan timur itu. Acub Zainal pun berpendapat, pemain Perseman yang mampu bermain keras itu dibutuhkan untuk pembentukan tim nasional. "Tinggal bagaimana memolesnya saja," kata Acub. Sekarang saja, Perseman sudah mulai mencoba memberi sumbangan untuk sepak bola nasional. Pemain sayapnya yang paling produktif itu, Adolf Kabo, seusai kompetisi, akan terus tinggal di Jakarta, karena terpilih untuk memperkuat PSSI Garuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus