Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Setelah Pamudji Pergi

Pengacara senior, pamuji, yang mendapat skorsing dari pengadilan negeri surabaya meninggal dunia karena serangan jantung. adnan buyung nasution dan rekan-rekannya menyesalkan tindakan skrosing itu. (hk)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMUDJI, pengacara kawakan dari Surabaya, kini telah tiada. Ia terkena serangan jantung dan darah tinggi, ketika membela sebuah perkara di Pengadilan Negeri Madiun, Jumat dua pekan lalu. Tapi, menurut salah satu ketua Peradin, Adnan Buyung Nasution, yang mengantarkan jenazah ke pemakaman, ada sebab lain: skorsing yang dijatuhkan ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soejoedi. Tindakan Soejoedi, menurut Buyung, menyebabkan jatuhnya semangat hidup Almarhum. Sebab, katanya di hadapan dua ribu pelayat, "Setelah 20 tahun Almarhum menjadi advokat, hanya karena kesewenangan Soejoedi ia kemudian dipecat." Tindakan Soejoedi itu bahkan dinilai Buyung suatu penghinaan terhadap advokat. "Kasus Pamudji ini adalah yang pertama dan terakhir - setelah ini jangan terulang. Di atas dunia tidak ada advokat yang dipecat seorang hakim," ujar Buyung, yang mengaku emosional aklbat kematian rekannya itu. Masih senada dengan Buyung, ketua umum DPP Peradin, Harjono Tjitrosoebono, menyampaikan janjinya di depan jenazah, "Kami berikrar untuk melanjutkan perjuangan Pamudji." Perjuangan itu, menurut Harjono, tidak lain daripada menentang skorsing pengadilan terhadap para pengacara. Bagi Pamudji sendiri, menurut Harjono, organisasi advokatnya telah berjuang maksimal untuk membatalkan skorsing Soejoedi tertanggal 23 Desember itu. "Tapi, sampai saat Pamudji meninggal, tidak ada usaha Soejoedi atau pengadilan untuk membuktikan bahwa Almarhum melanggar kode etik. Dan tidak pula ada jawaban Mahkamah Agung atas surat kami," tambah Harjono. Berdasarkan itu, Buyung menilai bahwa tindakan Soejoedi tidak berdiri sendiri. Apalagi, setelah menindak Pamudji, ketua Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Syafar Luthan, mengeluarkan ketentuan yang mengharuskan semua pengacara mendapat izin praktek dari -instansinya, yang hanya berlaku dua tahun. "Soejoedi dan Syafar Luthan itu melakukan semua itu untuk menggolkan misinya: menyembelih profesi advokat," cetus Buyung, yang khawatir cara-cara di Jawa Timur itu akan melebar ke daerah lain. Kecurigaan Buyung Nasution cukup beralasan. Sebab, Syafar Luthan sendiri mengaku, keputusan itu dikeluarkan selain untuk mendapatkan data yang akurat juga untuk mengawasi tindak-tanduk para pengacara di daerahnya. Dengan keputusan itu, katanya, mstansinya akan mempunyal wewenang untuk mencabut hak praktek pengacara. "Terutama untuk pengacara yang termasuk golongan merah dan hitam," ujar Syafar, tanpa menjelaskan "warna advokat" yang dimaksudkannya (TEMPO, 16 Februari). Hampir semua pengacara Surabaya memprotes tindakan Soejoedi dan Syafar Luthan itu. Sebab, menurut mereka, keputusan kedua hakim itu tidak mempunyai dasar hukum sama sekali. Sebab itu, dalam rapat istimewa Peradin Jawa Timur, sehari setelah Pamudji dimakamkan, Buyung mengajak rekan-rekannya untuk melakukan "aksi advokat" dan membawa persoalan itu ke DPR. "Saya juga akan mengajak rekan-rekan profesi lain, seperti dokter dan wartawan, untuk ikut menentang penyembelihan advokat ini. Dan kalau perlu saya akan berjuang sampa ke tingkat internasional,'' ujar Buyung. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soejoedi, yang dituding sebagai penyebab kematian Pamudji, sangat terharu mendengar peristiwa kematian Almarhum, yang merupakan kakak kelasnya di FH Universitas Gadjah Mada. "Lahir batin masalah Almarhum bagi saya sudah selesai," katanya. Tentang skorsing yang pernah dijatuhkannya terhadap Pamudji, menurut Soejoedi, semata-mata karena jabatan yang melekat pada dirinya. Namun, Soejoedi membenarkan bahwa tindakannya memang tidak dilandasi suatu peraturan hukum. "Tapi, apa tidak boleh mengatur sesuatu yang belum ada peraturannya?" katanya. Ia, katanya, hanya melakukan sesuatu yang kreatif, berdasarkan hasil rapat kerja ketua-ketua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi seluruh Indonesia, 1982. "Salah satu hasil rapat itu menyebutkan pengawasan terhadap advokat," tutur SoeJoedl. Hanya saja, kata Soejoedi, hasil rapat itu belum dinyatakan dalam bentuk peraturan tertulis. "Untuk itu, kami harus mencari cara bagaimana melaksanakannya," katanya. Sebab itu, ia menganggap keputusan skorsingnya terhadap Almarhum sah adanya. "Sebab, dikeluarkan lembaga pengadilan. Soal itu sudah diteruskan ke Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman," ujar SoeJoedi. Terhadap Pamudji pribadi, Soejoedi mengaku tidak menaruh dendam. Ia mendengar kabar meninggalnya Pamudji, Jumat pagi, ketika acara senam pagi bersama karyawan pengadilan. Seketika ia memimpin upacara mengheningkan cipta bagi arwah Pamudji. "Upacara semacam itu tidak pernah ada untuk arwah seorang hakim pun," celetuk seorang hakim yang ikut mengheningkan cipta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus