Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Akhirnya, Nowitzki

Pemain kulit putih pertama dalam 25 tahun yang menjadi pemain terbaik NBA. Berlatih anggar, bermusik, dan tahan rasa sakit menjadi kunci suksesnya.

27 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M…V… P...!” Teriakan membahana itu mengiringi lelaki berambut pirang-kriwil dengan cambang tipis di dagu tampil ke podium. Hari itu, Kamis dua pekan lalu, pria superjangkung, 213 sentimeter, tersebut menjadi bintang dari segala bintang bagi sekitar 20 ribu orang yang berkumpul di Stadion American Airlines Center, Dallas, Texas, Amerika Serikat.

”Setelah 13 tahun, dan sekarang menjadi tim terbaik dunia. Sungguh luar biasa,” katanya di atas panggung. Dialah si MVP, the most valuable player, alias pemain terbaik seri final kompetisi bola basket National Basketball Association (NBA): Dirk Nowitzki. Dari layar jumbo stadion, massa bisa melihat forward asal Jerman milik klub Dallas Mavericks itu menyeka matanya yang basah.

Empat hari sebelumnya, Mavericks menundukkan Miami Heat 105-95 di kandang lawan. Melewati dua pekan yang menegangkan, kemenangan itu memastikan gelar juara bagi Mavericks dengan keunggulan 4-2 tanpa perlu menjalani laga ketujuh. Cincin juara pun menghiasi jari para pemain The Mavs—julukan Mavericks—untuk pertama kali sejak klub itu berdiri 31 tahun lalu. 

Pemain Mavericks bak om-om lapar yang berada di tengah kepungan pesaing mereka yang berusia segar. Pemain-pemain pilar Mavericks, seperti Shawn Marion, Tyson Chandler, Brendan Hay­wood, Peja Stojakovic, dan DeShawn Stevenson, berada di NBA minimal sepuluh tahun dan tanpa pernah meraih gelar juara. Nowitzki bahkan 13 tahun, sedangkan Jason Terry 17 tahun. ”Ini sekumpulan veteran yang tidak egois,” ujar pelatih The Mavs, Rick Carlisle. 

Dari tim yang tak diunggulkan, klub milik miliarder muda Mark Cuban itu mencuri perhatian publik pada babak playoff 16 besar. The Mavs menundukkan klub kejutan Portland Trail Blazers 4-2. Sang juara bertahan, Los Angeles Lakers, mereka hantam tanpa ampun 4-0 pada perempat final. Skuad muda penuh harapan, Oklahoma City Thunder, mereka empaskan 4-1 pada semifinal. 

Ketimbang berwarna permainan Amerika, yang atraktif dan mengandalkan kemampuan individu, pelatih Carlisle memilih gaya Eropa: sederhana dan mengutamakan kolektivitas.

Meski begitu, pengaruh Nowitzki bagi tim tetap menonjol. Melawan Heat di final, Mavericks kalah 84-92 pada partai pertama meski Nowitzki menjadi top scorer, 27 poin. Kuarter keempat partai kedua disebut-sebut sebagai kuarter final NBA terbaik dalam 19 tahun terakhir: Nowitzki mencetak dua poin terakhir dalam sisa waktu tiga detik. Mavericks menang 95-93.

Game ketiga kembali dimenangi Heat, 88-86. Yang luar biasa, Nowitzki tetap menjadi top scorer, 34 poin, meski jari tengah tangan kirinya diperban karena cedera. Mavericks menyamakan kedudukan 2-2 setelah memenangi game keempat, 86-83. Kali ini Irk—panggilan lain Nowitzki—mencetak 21 poin, meski tubuhnya demam. 

Infeksi sinus menyerang Nowitzki. Game keempat dan kelima berjarak dua hari. Suhu tubuhnya mencapai 38 derajat Celsius. ”Saya kesulitan tidur tadi malam,” katanya menjelang game kelima. LeBron James dan Dwyane Wade, dua bintang Heat, batuk-batuk sambil mengusap hidung di depan kamera televisi. Mereka mengejek andalan Mavericks itu. Tapi James dan Wade keluar dari lapangan dengan wajah masam begitu pertandingan usai karena tim mereka kalah 103-112. Gelar top scorer, 29 poin, tetap di tangan Nowitzki. 

Pada game keempat, takdir trofi itu ditentukan. Adem ayem pada tiga kuarter awal, Nowitzki menggila pada kuarter terakhir dengan mencetak 10 poin dari total 21 poin yang ia koleksi. Padahal Heat adalah klub penuh bintang dengan tiga trio maut: James, Wade, Chris Bosh. Ditilik dari jumlah uang yang mereka keluarkan untuk menggaji pemain, Heat tak ubahnya Los Galacticos di lapangan bola basket. Pada final 2006, Mavericks dikalahkan Heat. Alumnus Mavericks 2006 tinggal tersisa Nowitzki dan Terry.

Heroisme dan permainan Nowitzki membuatnya berhak atas gelar MVP partai final. Banyak yang menyamakannya dengan sang legendaris Michael Jordan, yang mencetak 38 poin pada final NBA 1997 dalam kondisi demam tinggi. Pelatih Carlisle lebih menyukai perbandingan dengan Larry Bird. ”Saya pernah bermain tiga tahun bersama Bird. Orang-orang seperti mereka (Bird dan Nowitzki) tak mengenal rasa sakit.”

Harian Jerman, Die Welt, pun lebih suka menyamakan sang bintang dengan Bird, yang kulit putih. ”Nowitzki Mengalahkan Bola Basket Ghetto”. Begitu judulnya. Maksudnya, Nowitzki menjadi yang terbaik di antara bintang kulit hitam.

Faktanya, setelah Bird menjadi MVP final 1986, tak ada lagi pemain kulit putih yang beroleh gelar hingga Nowitzki. Si jangkung ini juga pemain asal Eropa pertama yang meraih gelar itu. 

Inilah salah satu puncak penantian Nowitzki sejak pertama kali bermain di NBA bersama Mavericks pada 1998. Orang mungkin lupa betapa beratnya musim-musim awal yang harus ia lalui. ”Saat itu berulang kali dia bilang tak kerasan, tapi saya mencegahnya pergi,” tutur Holger Geschwindner, pelatih pribadinya. 

Geschwindner, 65 tahun, adalah kapten tim bola basket Jerman pada Olimpiade 1972. Di luar olahraga, dia pria nyentrik yang sangat tergila-gila pada ilmu pengetahuan. ”Bila ingin menganalisis pertumbuhan stroberi di Antartika, datanglah kepada saya,” katanya soal perusahaan analis yang dia miliki. 

”Holger seperti ayah kedua bagi saya,” ujar Nowitzki. Mereka bertemu pertama kali saat usia Nowitzki baru 14 tahun. Kala itu Nowitzki beroleh banyak sukses di lapangan tenis junior. Tommy Haas, petenis Amerika kelahiran Jerman, pernah ia kalahkan. Lelaki kelahiran Wurzburg itu meninggalkan raketnya karena berulang kali dicurigai mencuri umur karena dia lebih jangkung di antara yang sebaya. 

Geschwindner langsung terkesan begitu pertama kali melihat si remaja bermain. Meski tak punya pengalaman sebagai pelatih, Geschwindner meminta kepada keluarga si bocah agar diizinkan melatihnya, plus bonus. Nowitzki diajari bermain gitar dan drum. Dia juga dihadiahi saksofon dan novel klasik Typhoon.

Untuk berlatih kelincahan kaki, Geschwindner mengajak Nowitzki berlatih anggar, balet, juga melatih keseimbangan di arung jeram. Sang mentor juga menganalisis kelebihan dan kelemahan muridnya itu dengan komputer. ”Tembakan Nowitzki yang paling bagus bila sudut lengkungnya 60 derajat,” katanya.

Nowitzki terlahir dari keluarga atlet. Ayahnya, Jorg, mantan pemain nasional bola tangan Jerman. Ibunya, Helga, mantan atlet nasional bola basket. Kakak perempuannya, Silke, juga memperkuat tim bola basket. Mereka hidup dari usaha pengecatan rumah yang didirikan kakek Nowitzki.

Empat tahun Nowitzki memperkuat klub divisi bawah Jerman, DZK Wurzburg, 1994-1998. Para pemandu bakat NBA tertarik dan lantas memasukkannya dalam daftar pemain baru. Di situlah takdir menemukannya dengan Mavericks.

Geschwindner tinggal di Jerman, tapi tetap menggembleng Nowitzki selama sebulan pada libur musim panas. Sang mentor datang ke Amerika bila tim Nowitzki menembus playoff. Sejak awal, dia melatih Nowitzki, gratis. Kini Mavericks yang menggajinya.

Suatu hari reporter ESPN, Bob Salmi, berteriak terkejut di depan mikrofonnya saat melihat sang mentor menangani Nowitzki pada latihan menjelang salah satu game final. ”Gila, saya belum pernah melihat kegilaan semacam ini sebelumnya!” Selama hampir satu jam Geschwindner memberi bermacam latihan aneh, salah satunya berputar-putar kencang—orang normal pasti pusing—sebelum melakukan tembakan ke jaring.

Perjuangan itu membuahkan hasil cemerlang. Di Jerman, sang ayah merayakan ulang tahun ke-68 sehari sebelum game keenam anaknya. Di Amerika, Nowitzki merayakan ulang tahun ke-33 sepekan setelah trofi di tangan. Geschwindner hadir, begitu pula sang pacar, Jessica Olsson, seorang kurator di galeri seni milik penyanyi George Michael. Tamu undangannya 41 orang, sesuai dengan nomor kostum Mavericks-nya, 41.

Andy Marhaendra (Reuters, ESPN, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus