Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohman Budijanto*
Di saat kosmologi maju pesat, umat beriman masih belum juga menyesuaikan konsep di mana keberadaan Tuhan. Dalam kelaziman ungkapan sehari-hari, kuat terkesan Tuhan masih ditempatkan di atas, sehingga kata ganti Tuhan adalah ”Yang di Atas”. Padahal, dalam konsep dan observasi kosmologi, tak ada atas dan bawah. Semua posisi relatif, tergantung pandangan pengamat.
Konsep ini tak jauh beringsut dari pengalaman zaman animisme. Dalam mempersepsikan permintaan kepada Tuhan, orang menggunakan kata ”memohon”. Jelas ini sangat dekat dengan akar kata ”pohon” (meskipun dari sana kemudian muncul pengembangan kata dasar ”mohon”). Dalam kepercayaan animis, pohon menempati peran sentral, sebagai pusat keyakinan.
Selain sebagai tempat roh dan/atau yang diyakini punya kuasa, pohon menjadi tempat yang paling dekat ke langit. Puncak gunung pun kalah dekat dengan langit bila di puncak gunung itu ada pohon. Pohon dianggap menjadi tangga ke tempat transenden.
Tak aneh kalau meminta sesuatu, kaum animis akan memohon, mendatangi pohon. Dari sinilah diperkirakan munculnya istilah ”memanjatkan” doa. Kata ”memanjat” jelas sangat dekat dengan pohon, karena berarti naik pohon. Dengan memanjatkan doa, diharapkan doa bisa naik ke pohon menuju penguasa langit.
Konsep itu berasal dari zaman ketika atas, langit, menjadi sesuatu yang belum terpahami, misterius. Dalam khazanah banyak kebudayaan, langit menjadi tempat bersemayam dewa-dewa. Di sana para dewa berperilaku seperti manusia, termasuk kawin-mawin, dan dari sana berebut menguasai nasib manusia. Maka doa pun dipanjatkan atau dimohonkan kepada mereka, agar mereka mau berkompromi.
Kini, ketika orang sudah bisa saling mendoakan lewat short message service, istilah ”memanjatkan”, ”memohon”, dan ”Yang di Atas” tetap tak disesuaikan. Padahal orang sadar bahwa memanjat itu tak secepat, misalnya, terbang atau meluncur. Kalaupun Tuhan tetap diyakini berada di atas, kenapa sekarang tak dipakai istilah menerbangkan atau meluncurkan doa?
Ketika agama-agama besar mulai berpengaruh, konsep dari zaman animisme ini tetap terpakai. Islam memang menyebut 99 nama Tuhan (asmaul husna), varian ”resmi” sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan juga disebut bersemayam di arsy, tempat transenden yang makna persisnya hanya Tuhan yang tahu. Tapi juga disebutkan Tuhan berada sangat dekat, sedekat urat leher kita.
Warga muslim tak pernah memakai ungkapan pengganti Tuhan dengan kata ”Yang di Arsy” atau ”Yang Paling Dekat”. Tak ada ungkapan, misalnya, ”Kita serahkan nasib kepada Yang di Arsy” atau ”Sukses atau tidaknya bergantung pada Yang Paling Dekat”. Pengungkapan seperti itu sangat asing. Tapi, kalau ”Yang di Arsy” atau ”Yang Paling Dekat” itu diganti dengan ”Yang di Atas”, akan jadi lazim.
Orang Jawa kaya varian dalam menyebut kata ganti Tuhan. Selain istilah umum seperti ”Ingkang Maha Kuwaos” (Yang Maha Kuasa), ada istilah ”Sing Gawe Urip” (Yang Menciptakan Kehidupan), ”Ingkang Murbeng Dumadi” (Yang Menyebabkan Segala yang Ada), ”Ingkang Akarya Jagad” (Yang Menciptakan Semesta), juga ”Ingkang Mboten Dhahar lan Sare” (Yang Tidak Makan dan Tidur).
Yang unik, Tuhan juga disebut ”Pangeran”. Agak sulit mencari penyebab, kenapa Tuhan disebut ”Pangeran”, sebuah gelar kebangsawanan. Kebetulan (atau tidak kebetulan) istilah ini mirip dengan salah satu sebutan Tuhan dalam bahasa Inggris, yakni ”Lord”, yang juga menjadi gelar kebangsawanan.
Kesenangan membuat varian nama Tuhan ini tak membeku. Yang mutakhir, bahasa Jawa kontemporer mempopulerkan varian menarik untuk menyebut Tuhan, yakni ”Sing Ngecet Lombok” (Yang Memberi Warna Lombok). Tuhan di sini jelas digambarkan ”lebih dekat”, yakni dikaitkan dengan lombok, yang jadi makanan sehari-hari.
Aneka varian ini menunjukkan sikap lebih terbuka dan kreatif dalam memberikan warna-warni ekspresi keyakinan kepada Tuhan. Indah nian.
*) Wartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo