GAGAL merebut tiket ke Olimpiade Los Angeles, A. Wenas, manajer
tim kesebelasan nasional ke babak penyisihan kejuaraan itu, pada
hari-hari belakangan ini semakin murung. Bukan saja karena
sebagian besar pemain tim PSSI yang menduduki posisi juru kunci
itu berasal dari klubnya, Niac Mitra. Juga karena ternyata,
setelah peristiwa pahit itu, beberapa anak asuhannya pindah ke
klub lain, hanya sepekan menjelang kompetisi Liga Sepak Bola
Utama (Galatama) dimulai lagi, Rabu pekan ini.
Beberapa klub Galatama memang pesimistis menghadapi kompetisl
yang akan berlangsung untuk keempat kalinya itu. Niac Mitra,
juara dua kali berturut-turut, termasuk di antara yang
menurunkan targetnya dalam kejuaraan yang akan diikuti 18
klub itu. "Dalam kompetisi sekarang, Niac tidak akan membebani
pemainnya untuk jadi juara Liga," kata Ibnu Rasyid, humas klub
dari Surabaya itu. "Ya, paling tidak masih masuk 4 besarlah."
Ditinggal David Lee dan Fandi Ahmad, dua pemain asing dari
Singapura, selesai menjadi juara Liga, Mei lalu, dan kini
disusul Joko Malis dan Rudy Kelces, Niac kini memang bukan Niac
yang dulu lagi. Pasti akan tidak mudah bagi klub pimpinan Wenas
itu buat unjuk gigi pada kompetisi yang putaran pertamanya akan
berlangsung serentak pekan ini di delapan kota besar.
Perpindahan pemain Galatama dari satu klub ke klub lain memang
bukan barang baru. Bagi Niac sendiri, perpindahan pemainnya kali
ini bukan yang pertama. Sebelumnya, Riono Asnan pindah ke Tunas
Inti dan Ketip Suripno ke Tempo Utama.
Apakah yang mereka cari di klubnya yang baru itu ? Banyak di
antaranya yang memberi alasan untuk mencari suasana baru karena
bosan di klubnya yang lama. Tapi, akhirnya, toh faktor duit di
kalangan pemain klub semiprofesional itu tetap menjadi tujuan
pokok.
"Selain untuk pengalaman dan kebanggaan, bayarannya yang tinggi
sangat menarik," kata®MDUL¯ ®MDNM¯Joko Malis tentang klub barunya,
Yanita Utama dari Bogor. Joko, seperti kebanyakan pemain Niac
yang lain, memperoleh Rp 250 ribu sebulan, selain bonus dan
beberapa fasilltas, misalnya perumahan. Tapi, di Yanita, klub
yang dilatih bekas pemain nasional, Abdul Kadir, memperoleh gaji
Rp 500 ribu sebulan, di luar bonus dan fasilitas lain. Rudy
Kelces -yang pindah ke klub yang sama, dengan tugas membantu
Sofyan Hadi sebagai salah seorang pelatih- honornya bahkan Rp
600 ribu. "Honornya selangit," kata Rudy, yang tahun lalu masih
menerima honor®MDUL¯ ®MDNM¯Rp 150 ribu.
Klub yang juga ditinggalkan pemainnya menjelang kompetisi
Galatama mendatang adalah Pardedetex dari Medan. Hery Kiswanto,
pemain andalan klub yang diasuh®MDUL¯ ®MDNM¯Pengusaha TD Pardede
itu, diincar beberapa klub, seperti Yanita dan UMS '80. Tapi
Hery sendirl memberi alasan karena istri dan anaknya tidak betah
tinggal di Medan. Hanya®MDUL¯ ®MDNM¯dalam setahun dari empat tahun
kontraknya dengan Pardedetex dia tinggal bersama keluarganya.
Setelah itu istrinya mudik ke Ciamis. "Pernah anak saya panggil
Om karena®MDUL¯ ®MDNM¯saya sering lama tak ketemu," kata Hery.
Namun, bagi TD Pardede, kasus Hery Kiswanto tetap dianggap ada
hubungan dengan bisnis bola yang tidak sehat. "Mereka mau
mencomot pemain saya begitu saja," katanya sambil menuduh UMS
'80 dan Yanita Utama sebagai "perampok".
Pardede memang kesal. "Klub yang mau mengambil Hery Kiswanto
harus membayar kepada kami. Pemain itu tak pernah dikenal
sebelumnya, kami bina tiga tahun. Perusahaan saya sudah punya
investasi terhadap dirinya. Lalu begitu saja mau diambil? Huh,
enak betul. Harus dibayar," katanya. Dan Pardede pun pekan lalu
mengancam akan membubarkan klubnya. "Saya tidak
main®MDUL¯-®MDNM¯main," katanya lagi.
Kekesalan Pardede tampaknya bukan semata-mata karena akan
ditinggal pemain tangguhnya. Kedongkolan lebih banyak ditujukan
kepada PSSI sendiri, yang dianggapnya belum punya peraturan
yang lengkap. "Betul, kini Galatama sudah masuk jadi anggota
PSSI. Tapi peraturan transfer belum ada," katanya.
BOS Pardedetex itu juga menuduh sebaian klub Galatama sok kaya,
dan sok duit. Pardedetex tak kuat duitnya, lalu pemainnya
dirayu dengan duit besar. "Ini soal bisnis. Tapi yang terjadi
sekarang adalah bisnis tidak berbudaya," katanya. Ini pula yang
menurut Pardede membuat pemain Galatama menjadi mata duitan,
sehingga mencelakakan tim nasional karena sudah tidak ada lagi
idealisme dan fanatisme. "Mereka main ogah-ogahan. Pokoknya,
yang menjadi sasaran adalah duit," kata Pardede. "Galatama ini
tanggung-tanggung. Profesional tidak, amatir pun tidak."
Tentu tidak semua tuduhan Pardede itu benar. Paling tidak, dalam
hal perpindahan pemain Niac Mitra itu, misalnya, selain
sepengetahuan Wenas, Yanita Utama juga membayar uang transfer Rp
10 juta untuk Joko Malis dan Rudy Kelces "Saya datang dengan
salam, dan saya pergi dengan salam juga," kata Rudy.
Bagi Niac sendiri, lepas dari akibatnya yang pahit, pindahnya
kedua pemain itu tak menimbulkan soal. "Siapa yang mau dengan
besarnya bayaran kami isa tetap tinggai di Niac. Tapi, kalau
itu dianggap kurang, boleh keluar," kata Ibnu Rasyid. "Bahkan
bila kontrak belum selesai, tapi sudah mau pindah, silakan, asal
cara yang ditempuh baik."
Dan bagi PSSI, tampaknya kasus yang menyangkut kedua klub itu
bisa dijadikan bahan masukan untuk perbaikan di masa datang.
Lebih-lebih, setelah dalam kongres PSSI bulan lalu, Galatama
resmi diakui sebagai anggotanya. Siapa tahu apa yang dibilang
Pardede, tokoh bola yang turut merintis Galatama, itu ada
betulnya. Sebab, soal uang dan fasilitas yang berlebihan di
klub-klub Galatama disebut-sebut juga oleh Basri, pelatih Niac
Mitra dan juga pelatih tim pra®MDUL¯-®MDNM¯Olimpiade, sebagai salah
satu penyebab kegagalan PSSI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini