ACARANYA singkat, tak sampai sejam. Begitu direktur utama PT
Stanvac Indonesia, Ian G. Hayman, selesai membubuhkan tanda
tangannya di naskah yang disediakan di lantai 20 Gedung Utama
Pertamina Senin pagi 28 November, perusahaan minyak Amerika itu
kehilangan 19.500 barel minyak®MDUL¯ ®MDNM¯mentah per hari dari
lapangan Pendopo (Sumatera Selatan) dan Lirik (di Riau).
"Kami sudah mengajukan permintaan perpanjangan bulan November
1981, tapi pemerintah Indonesia menolaknya," kata lan Hayman
yan bertubuh kecil ini. "Tapi kami sama sekali tidak kecewa
karena mengetahui persis itu hak mereka."
Suara-suara bahwa Stanvac "terlambat" dan "salah langkah" kenapa
tidak memperpanjang kontrak menjadi bagi hasil (production
sharing) -®MDUL¯ ®MDNM¯seperti dilakukan PT Caltex Pacific
Indonesia- memang masih beredar sejak dua bulan lalu. Itu pula
sebabnya John Karamoy, wakil presiden PT Stanvac, mencoba
menjelaskan duduk perkara sebenarnya.
"Tak benar kalau kami dianggap terlambat. Sebab, dalam kontrak
karya yang ditandatangani tahun 1963 itu, jelas disebutkan bahwa
batas waktu pengajuan perpanjangan kontrak baru adalah dua tahun
sebelum kontrak berakhir," kata Karamoy pada Marah®MDUL¯ ®MDNM¯Sakti
dari TEMPO.
Toh perusahaan minyak tua yang mempekerjakan®MDUL¯ ®MDNM¯1.100
karyawan -®MDUL¯ ®MDNM¯500 di antaranya otomatis pindah ke
Pertamina®MDUL¯ ®MDNM¯- kini masih mengeksploitasikan dua kontrak
karya di ladang minyak seluas 12.500 km2 lebih, di wilayah
Sumatera Selatan dan Riau, yang baru akan berakhir November
1993. Sekalipun jumlahnya kecil, cuma 12.000 barel sehari, Ian
Hayman merentangkan tangannya, "Well, itU berarti kami masih ada
di sini."
John Karamoy, yang pagi itu banyak senyum, menatakan bahwa ia
masih akan terus bekerja Ji Stanvac, bersama segenap stafnya
Selain akan memusatkan perhatian di alayah minyak mereka yang
baru, menurut haramoy, Stanvac masih diminta membantu mengelola
beberapa pekerjaan di bekas lalang mereka yang kini jatuh ke
tangan Pertamina. "Kami memang akan dibayar untuk leria sama
itu, tapi jumlahnya masih akan dibicarakan lagi," katanya.
Masih ada lagi. Di samping ladang yang®MDUL¯ ®MDNM¯menghasilkan
12.000 barel sehari, Stanvac, menurut John Karamoy, masih
menunggu izin dari Pertamina untuk bisa menggarap minyak di
ladang Rimau (Provinsi Riau) dan ladang Pamai Teluk (Sumatera
Selatan), keduanya berdasarkan kontrak bagi hasil 85:15.
Apahalnya dengan 500 karyawan lama di Lirik dan Pendopo ? "Semua
diterima menjadi anggota baru Pertamina, dan mulai hari ini eks
karyawan Stanvac itu dituntut mendahulukan kepentingan negara
dan bangsa," kata direktur utama Pertamina, Joedo Sumbono.
Menurut seoran staf Stanvac. ke-500®MDUL¯ ®MDNM¯karyawan itu selama
setahun akan tetap menerima gaji seperti semula. "Mereka juga
bebas untuk pindah ke perusahaan lain," kata seorang di®MDUL¯
®MDNM¯Pertamina. "Ya, itu sesuai dengan hak asasi."
Segalanya kelihatan berjalan lancar dengan Stanvac. Yang
tampaknya belum lancar®MDUL¯ ®MDNM¯adalah perundingan pembagian
hasil antara PT Caltex dan Pertamina. Sampai 28 November, sehari
setelah masa kontrak karya berakhir dengan Caltex, perundingan
antara kedua pihak belum finaL Menteri Pertambangan dan Energi
Subroto, seusai upacara serah terima di Pertamina, mengatakan
"Dalam prinsipnya, sudah ada kesepakatan tentang split
(pembagian) itu, yakni 88:12." Tapi, menurut Subroto, yang
sekarang masih dilanjutkan adalah perundingan tentang
"hal-hal®MDUL¯ ®MDNM¯yang lain".
Jadi, kapan kontrak bagi hasil dengan Caltex ditandatangani?
"Yah, dalam waktu singkat," kata Subroto. Menjawab pertanyaan
apa saja yang termasuk "hal-hal lain" itu, Subroto yang bicara
hati-hati memberi contoh, "Misalnya bonus penandatanganan,®MDUL¯
®MDNM¯yang biasanya dibayar oleh kontraktor asing kalau ada
kontrak bagi hasil yang baru." Hal lain, menurut Subroto, adalah
apa yang disebut "bonus informasi", yang biasanya dibayar oleh
kontraktor bagi hasil yang baru, untuk informasi tentang peta
situasi. dan data yang diberikan Pertamina "®MDUL¯ ®MDNM¯Tapi,
karena Caltex sudah punya sendiri data-data itu, apakah mereka
masih harus menanggung biaya, itulah yang antara lain masih akan
dibicarakan," katanya.
Pihak Caltex, seperti biasa, lebih suka bungkam. Ketua dewan
direksi Caltex, Haroen Al Rasjid, selain tak mudah ditemui,
kabarnya juga tak langsung ikut sebagai perunding sehari-hari.
Menurut sebuah sumber, dalam perundingan yang memakan dua bulan
lebih itu Caltex pada mulanya mengajukan pembagian 86,5:13,5
yang tentu saja ditolak pihak Pertamina.
Dari Caltex yang tampil sebagai perunding adalah deputy managing
directornya, Lumiadji Purbodiningrat, dan presiden Amoseas, W.M.
Massick. Amoseas adalah anak perusahaan minyak Texaco dan Socal
yang khusus membidangi masalah eksplorasi dan eksploitasi
perusahaan minyak mereka di luar negeri, termasuk Caltex.
General manager Texaco di New York Paul Baker, dan wakil
presiden Socal di San Francisco, Tones McQueen, juga terbang ke
Jakarta, tapi keduanya sudah kembali awal pekan lalu. Konon
kedua boss dari Amerika itu meninggalkan pesan agar Caltex tak
mundur dari pembagian hasil 87,5:12,5.
Posisi itulah yang kabarnya bertahan di meja perundingan sampai
Jumat sore pekan lalu. Sabtu lalu tak terjadi perkembangan yang
berarti. "Stand masih tetap begitu," kata sebuah sumber di
Caltex. Tapi paginya duta besar AS John H. Holdridge, didampingi
sekretaris pertama Jeffrey R. Cunningham, ahli minyak mereka,
datang menemui Menteri Subroto di kantornya.
Tidak diketahui pembicaraan Dubes Holdridge dengan Menteri
Subroto. Menurut sebuah sumber, pihak Caltex bisa menyetujui
pembagian yang 88 :12 itu asal pihak Indonesia bertindak
"fleksibel". Apa maksudnya? Baik kita tunggu hari-hari ini,
sebelum Menteri Subroto bertolak ke Jenewa, 3 Desember, untuk
mengikuti sidang OPEC.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini