Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Anak manis dan sang bos

Petinju kelas menengah pino bahari meraih medali emas di asian games xi. ayahnya, daniel bahari, tidak puas atas latihan yang diberikan pelatnas. setelah olimpiade barcelona akan terjun ke profesional.

13 Oktober 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAJAHNYA jauh da~ri gambaran seorang petinju. Bersih, putih, bak bayi tanpa dosa. Dari bibirnya tak henti-henti keluar senyum. Buat petinju ini, Helmut Kruger, pelatih tinju Indonesia asal Jerman Timur, punya julukan yang lebih tepat "~Dia anak manis yan~g harus lebih besar kepala." Si anak manis itu, Pino Bahari, petinju kelas menengah yang baru saja menyumbangkan medali emas di Asian Games XI Beijing, memang tak suka bertingkah. Ketika ditemui wartawan TEMPO di perkampungan atlet Beijing, anak sulung mantan pelatih tinju nasional Daniel Bahari ini sedang ~menunggu wawancara dengan TV ~Cina. ~Pino, yang 15 Oktober ini genap 18 tahun, tampak gagah berbatik cokelat dengan lambang Garuda di dada. Namun, ketika acara itu batal, Pino tak sedi~kit pun terlihat kesal. Pelajar kelas II SMAK Swastyastu Denpasar ini tenang saja, tanpa ekspresi. Sama seperti ketika ia baru saja merebut medali emas pertama Indon~esia, setelah men~galahk~an petinju Mongolia Al~ tangerel ~Bandin. Setelah meraih medali emas, Pino sangat santai. Sudah menelepon "bos" di Bali? "Paling mereka juga sudah tahu," ujar Pino singkat. "Bos" untuk Pino adalah ayahnya, pemilik Sasana Cakti (Candradimuka Tinju Indonesia). Di sasana itulah, sang Bos menggembleng Pino sejak usia dini. Jatah si~-up dan push-up Pino sehari, misalnya, masing-masin~g seribu kali. "Saya tak bisa bermalas-malasan sedikit pun. Karena Ayah akan bilang, kalau tak mau latihan, jangan jadi petinju, daripada dihancurkan orang di ring," ujar Pino polos. Menjelang AG Beijing, Pino masuk pelatnas -- dengan rasa waswas dari ayahnya. Di sini, Kruger memberi variasi latihan berupa permainan sepak bola, baskett dan permainan untuk melenturkan otot tubuh lainnya. Tim pelatnas tinju ini sempat melawat ke Kanada, Seoul, dan Leipzig (Jerman Timur), kampung halaman Kruger. Jika penampilan Pino di final AG Beijing terasa lamban~ itu karena kedua jari telunjuknya tak bisa ditekuk. Itulah "cacat" Pino satu-satunya, cedera akibat main basket di SMP dulu. Kambuhnya cedera itu membuat Daniel Bahari, ayah Pino, berang. Daniel menganggap pelatnas kurang serius menangani Pino. Dan kini, Daniel keberatan jika anaknya masuk pelatnas lagi. Ditemui TEMPO di Sasana ~Cakti, di Desa Peguyangan -- sekitar enam kilometer dari Denpasar -- Daniel m~nyebutkan banyak alasan untuk tidak mengizinkan anaknya masuk pelatnas. Sembari mengajak TEMPO menyaksikan rekaman partai Pino melawan Bandin, Daniel Bahari, 43 tahun, berkata, "Anda lihat itu, anak saya jadi gampang dipukul." Menurut Daniel, Pino sebenarnya tahan pukul. Anak ini sudah dibiasakan menerima pukulan di tubuhnya baik dari ayahnya sendiri maupun dari petinju lain.~ Jadi, Pino tak perlu kelabakan melindungi badannya seperti itu. Dia hanya perlu melindungi kepalanya. "Ini yang diubah selama di pelatnas," ujar Daniel. Pino berlatih tinju sejak usia sembilan tahun, langsung ditangani ayahnya. "Saya lebih tahu tentang dia. Saya punya program khusus untuk tiap-tiap petinju di sini. Penanganan oleh pelatih lain mengacaukan program yang selama ini saya terapkan," kata Daniel lagi. Pemilik Restoran "Pino" di kawasan wisata Sanur ini se~mpat menengok anaknya di pelatnas, seminggu sebelum berangkat ke Beijing. Saat itu Daniel sudah menerima keluhan anaknya, tentang tangannya yanp sulit dikepalkan lagi. Bagi Daniel, ini masalah serius dan harus ditangani secara serius pula. Tapi pimpinan pelatnas hanya menyarankan agar Pino ke PKO (Pusat Kesehatan Olahraga) saja. "Ba~gaimana saya bisa percaya pada pelatnas. Malah, waktu try-out di luar negeri, anak saya sampai kalah RS~C, ini kan memalukan. Seperti Pino tak bisa memberi perlawanan," kata Daniel. "Saya melatih dia dengan keras untuk menumbuhkan kepercayaan diri, sehingga di atas ring tak ada kebimbangan selain tekad harus menang tanpa menghiraukan rasa sakit." Satu contoh lagi disebut Daniel. Februari lalu, Pino dikatakan menderita hernia dan harus dioperasi. Padahal, Daniel tahu persis itu akibat ke~maluan Pino dipukul petinju Filipina, Raymundo, di Karachi Open. Pelatih yang sekarang ini, kata Daniel lagi, seperti guru taman kanak-kanak yang hanya mengajar dasar-dasar bertinju. Padahal, Pino tak memerlukan lagi latihan dasar. Ia seharusnya diajak diskusi bagaimana taktik memenangkan perta~dingan. Itu sebabnya, bagi Daniel, pelatnas hanya jadi dewa penolong untuk sasana yang tak punya sarana baik. Bukan sasana seperti Cakti. Dalam kaitan inilah Daniel ingin diberi kesempatan, sehingga tak semuanya harus masuk pelatnas. Apa harapan Daniel untuk Pino? "~Setelah Olimpiade Barcelona, Pino akan berumur 20 tahun, saatnya dia terjun ke profesional. Setelah itu, Pino akan jadi juara dunia kelas berat," jawab Daniel mantap. Tinggal kini, siapa yang menangani Pino untuk Olimpiade Barcelona, pelatnas atau ayahnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus