KAHLIL Gibran pernah menulis: "Ada orang yang meng~atakan padaku, jika engkau melihat ada budak tertidur, ~jangan dibangunkan, barangkali ia sedang bermimpi akan kebebasan. Kujawab, jika engkau melihat ada budak tertidur, bangunkanlah dan ajaklah berbicara tentang kebebasan." Gibran menunjuk pada pentingnya aksi dari sekadar mimpi. Pentingnya bicara, mengucapkan "kata" dari sekadar mimpi. Karena lewat kata, digumpalkanlah secara lebih padat keinginan yang terbenam di pikiran atau hati. Sebelum kata meluncur keluar, kita tidak tahu apa kemauan rekan kita. Baru setelah kata keluar, jelaslah ungkapan pikiran dan hatinya, yang menempatkan kejelasan posisinya pula. Baru sesudah itu, kita pun mampu menempatkan posisi kita, pendapat kita. Otomatiskah hal itu? Ternyata, tidak. Ada kondisi yang membatasi orang untuk mengucapkan kata. Paulo Freire membuktikannya dalam kebudayaan bisu, sebuah kebudayaan yang melarang orang menggunakan kesadaran kritis dan kreatifnya untuk memperbarui keadaan lewat alternatif pandangan dan pemakaian kata baru. Budaya bisu adalah pemberangusan kesadaran orang untuk membentuk kata-kata baru yang transformatif, yang mendobrak penindasan, yang oleh pemilik kata-kata formal dipidatokan sebagai keadaan yang baik, stabil, dan aman. Mereka dengan sengaja, secara intensif, mencegah suara kritis yang mempermasalahkan keadaan. Inilah situasi di mana kebebasan berkata menjadi amat mahal, seperti pernah dialami oleh Vaclav Havel semasa ia di bawah tiran Presiden Jusak, Cekoslovakia, sebelum terjadi revolusi yang menyebabkan dia menjadi presiden zaman baru kata bebas di Cekoslovakia sekarang. Kita juga ingat sejarah polusi kata yang pernah terjadi di negara kita ini, hingga Rendra menampilkan protes lewat teater mini katanya. Mengapa kata, yang tempat hidupnya bernama "dialog" dan "pembicaraan bersama", mempunyai urgensi dan makna peradaban? Kata menjadi wakil sebuah kesadaran yang diucapkan dalam simbol-simbol bermakna. Jika bertemu dengan ucapan kesadaran orang lain, ia mampu secara dialektik membuahkan ungkapan kesadaran bersama. Inilah gunanya dialog. Ini pulalah pentingnya diskusi Dengan mendengarkan kata-kata orang lain, muncullah penghormatan kita pada cara tampil orang lain lewat kata-katanya. Namun, bila kredibilitas kata tidak mewakili harga jati dirinya, dengan sendirinya terjadi pemalsuan kata alias pembohongan. Dalam iklim budaya di mana tiap orang dihormati sebagai pelaku, di sana proses memberi makna pada peristiwa hidup bersama semakin dipertajam, hingga akhirnya menjadi acuan langkah, nilai, atau etos hidup bersama. Maka, bermimpi mengenai kebebasan saja tidak cukup. Berbicara bersama mengenai kebebasan itulah langkah awal bagi tumbuhnya kemerdekaan untuk menyatakan sikap pada realitas, lewat kemerdekaan berkata. Ketika peradaban manusia masih dikungkung oleh kekuatan magis jagat raya, kata-kata yang diucapkan untuk "menguasai" ketakutan akan daya magis itu juga bersimbol magis. Ketika peradaban manusia sudah ditentukan oleh akal budi dan kesadaran diri, kata "ego" dan "aku" menjadi ucapan sehari-hari. Dan ketika otak manusia serta logika akal sudah bisa dibahasakan dalam simbol-simbol pancar etektronika dan sibernetika, saat itu pula bahasa komputer dan kata-kata revolusi informasi bergaung. Jadi, ada dua titik ekstrem negatif yang menghalangi berkembangnya dialog kata. Pertama, pemberangusan kemerdekaan berkata dengan alasan meresahkan kesejahteraan bersama. Padahal, bila dikaji, revolusi komunikasi yang berlangsung dahsyat saat ini tidak bisa dibendung kecuali dengan menyiapkan kematangan warga negara hingga mampu bersikap kritis. Halangan kedua adalah anarki kata, dalam arti terlalu naif memperumum perbedaan tingkat kesadaran, budaya, dan kemajemukan watak berbagai golongan dan agama di negara ini. Ke~seimbangan antara dua titik ekstrem itulah yang kita cari. Sebab, peradaban lahir tatkala manusia mengayunkan cangkul dan menabur benih. Ini berarti, hanya lewat jatuh bangunlah kita bisa menghayati kemerdekaan untuk berkata. Itulah tempat kita menemukan makna kata-kata sejati yang kita pilih sebagai acuan bersama, konsensus bersama. Dengan kata lain, mari kita belajar menghayati kemerdekaan berkata, dengan lebih dahulu memberi udara kemerdekaan pengucapan kata itu sendiri. ~Staf pengaja~r ST~F ~~Driyarkara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini