SEORANG bergelar ~ profesor atau guru C~ besar di perguruan tinggi, ternyata, belum menjamin dapat duduk di kursi rektor. Buktinya, dari 47 rektor perguruan tinggi negeri, 16 rektor atau 34 persen di antaranya, belum menyandang titel profesor di depan namanya. Padahal, sebutan guru besar itu merupakan jenjang karier tertinggi di bidang akademis, yang hanya bisa diraih melalui seleksi yang ketat. Karena itu, jabatan rektor -- ini dipersoalkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, Rabu pekan lalu -- sebaiknya di tangan seorang profesor. "Jabatan rektor idealnya adalah guru besar," kata Fuad Hassan. Alasannya, seorang rektor, selain sebagai administrator per~guruan tin~ggi harus mampu memimpin setiap rapat senat guru besar yang beranggotakan profesor-profesor. Menurut Fuad, tugas seorang rektor bukan hanya berkutat dengan masalah administratif. Soal manajemen itu, katanya, bisa dibantu jajaran pembantu rektor. Kemampuan akademis, katanya, sebenarnya amat diperlukan sebagai bahan pertimbangan utama mendudukkan seseorang menjadi rektor. Sebab, kemampuan itu, katanya, menjaga wibawa civitas academica. "Memang saya akui guru besar belum tentu lebih baik dibandingkan dengan yang non-~guru besar," kata guru besar psikologi Universitas Indonesia itu. Namun, katanya, secara berangsur-angsur masalah itu harus ditertibkan. Dan yang memilih harus punya keyakinan bahwa yang dipilih mampu melaksanakan tugas. Sebab, pemilihan rektor memang tak main-main. Setiap calon harus lewat saringan ketat rapat senat perguruan tinggi, sebelum calon itu diusulkan Menteri P dan K ke Presiden untuk diangkat. Rektor Universitas Indonesia (UI), Prof. Sujudi, setuju dengan gagasan Fuad Hassan itu. "Kalau jabatan rektor itu profesor, memang bisa sempurna," kata Sujudi yakin. Sebab, kalau rektor bukan profesor, kata Rektor UI itu, dia otomatis tak akan bisa bergabung dengan "grup" senat guru besar jika kelompok ini mengadakan rapat misalnya. Padahal, dalam setiap rapat yang beranggotakan para profesor itu antara lain dibahas pengangkatan calon profesor dan pemberian gelar doktor kehormatan. Hambatannya lagi, kata Sujudi, yaitu saat menguji calon doktor. Seorang promotor umumnya harus guru besar. Dan seorang yang duduk sebagai rektor, biasanya, otomatis duduk sebagai ketua panitia ujian doktor itu. "Maka, kalau dia bukan profesor, ya, paling-paling diwakilkan pada Dekan Fakultas Pascasarjana," katanya. Menurut Dr. Retmono, Rektor IKIP Semarang, gagasan Menteri P dan K itu memang bagus. Ini disertai catatan, jika perguruan tinggi itu memiliki tenaga dosen profesor cukup banyak. "Sebab, seorang guru besar memang secara formal adalah ilmuwan yang mumpuni," katanya. Nah, masalahnya, katanya, tak ada orang yang berani menjamin jika rektor guru besar hasilnya pasti lebih baik dibanding rektor bukan guru besar. "Di lingkungan perguruan tinggi kan belum ada lembaga yang mendidik calon-calon rektor, atau pimpinan perguruan tinggi," katanya. Meskipun Retmono belum menyandang profesor, ia mengaku tak pernah menemui kesulitan memimpin anak buahnya yang bertitel profesor. Memang, menurut Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Mochammad Adnan, tak ada peraturan tertulis rektor harus bergelar profesor. Namun, di UGM katanya, ada kesepakatan tak tertulis di antara anggota Senat Guru Besar bahwa siapa saja yang duduk sebagai Rektor UGM haruslah bergelar profesor. Alasannya,~~~ supaya rektor mempunyai wibawa akademis di antara anggota Senat Guru Besar yang dipimpinnya. UGM, katanya, pernah punya pengalaman, ketika kampus Bulaksumur itu tahun 1968-1973 dipimpin almarhum Dr. Soeroso, MA. Gelar akademis yang disandangnya waktu itu masih Drs. dan M.A. "Saat itu kami rasakan, hubungan antara Rektor dan Senat~~~~ Guru Besar tidak begitu serasi," kata Prof. Adnan. Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, Dr. Yuyun Wirasasmita, M.Sc., juga setuju jika jabatan rektor dipegang seorang yang bergelar profesor. "Saya, sejak enam bulan lalu, sudah mengusulkan pada senat perguruan tinggi, supaya rektor pengganti saya nanti seorang bergelar profesor," kata Rektor Unpad, yang November nanti jabatannya berakhir. Alasannya, sebuah perguruan tinggi memang lebih baik dipimpin orang yang punya pangkat dan gelar akademis tertinggi walaupun, menurut Rektor Unpad yang belum bergelar profesor itu, selama mempimpin Unpad, ia tak menemui hambatan dengan bawahannya yang bergelar profesor. "Mungkin, karena saya sudah 10 tahun jadi Dekan Fakultas Ekonomi Unpad, dan dua tahun jadi Pembantu Rektor di Unpad," katanya. Kombinasi kemampuan akademis dan kemampuan manajerial yang baik, menurut Rekt~or ~~~~Universitas Brawijaya Malang, Drs. Achmady, memang sulit ditemukan. Seorang rektor yang belum guru besar, misalnya, akan menemui kesulitan untuk memburu gelar profesornya karena syarat meraih profesor memang tak gampang. Selain pangkat harus masuk golongan IV-D atau lektor kepala, dia harus mampu mengumpulkan sejumlah credit point, yang didapatkan dari karya ilmiah. Sementara itu, waktunya, menurut Achmady, akan banyak tersita dalam kegiatan administratif. Untuk mewujudkan gagasan Fuad Hassan, bagi perguruan tinggi yang mempunyai stok guru besar sebanyak 63 orang, di UGM misalnya, memang tak ada masalah. Tapi bagi perguruan tinggi yang tak banyak mempunyai profesor memang bisa jadi problem. Universitas Mataram (Unram), misalnya, sekarang ini baru mempunyai seorang guru besar. Akibatnya, tentu saja Unram tak punya lembaga yang disebut senat guru besar. ~~~~~~~Gatot Triyanto, Hasan Syukur, dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini