KEBYAR kembang ~api yang menandai ~usainya Asian Games XI di Beijing benar-benar pesta besar untuk tuan rumah. Selama 16 hari berlangsungnya pesta olahraga Asia itu, Cina merenggut 183 medali emas, lebih dari separuh dari jumlah medali emas yang diperebutkan. Itu artinya, pemerintah Beijing juga harus menyediakan duit lebih banyak, mengingat setiap peraih medali emas akan diberi bonus US$ 2 ribu. Penduduk Kota Beijing pun larut dalam sukacita. Sebelumnya mereka hanya duduk-duduk di luar stadion, tapi pada pesta penutupan Ahad malam lalu itu pintu Stadion Buruh Beijin~ dibuka lebar. Dan gratis. Sementara itu, di jalan-jalan, lalu lalang manusia bersepeda sampai larut malam. Mereka seolah dipayungi terang-benderangnya cahaya kembang api warna-warni. Tapi inilah Asian Games yang timpang dari sudut prestasi. Cina begitu dominan, sementara Korea Selatan dan Jepang, yang di AG Seoul bersaing ketat, tertinggal dengan selisih lebih dari 100 medali emas. Pemecahan rekor dunia juga miskin, hanya tujuh rekor dunia pecah di cabang balap sepeda dan panahan. Atlet Cina sendiri menumbangkan satu rekor dunia, 30 rekor Asia, dan 96 rekor Asian Games. Akan halnya kontingen Indonesia, seperti yang dikatakan pimpinannya, mereka bisa pulang dengan senyum. Tiga emas, enam perak, dan 21 perunggu, menempatkan Indonesia pada urutan ketujuh melonjak dua tingkat dari peringkat di AG Seoul. Tiga emas itu disumbangkan petinju Pino Bahari, Yayuk Basuki/Suzanna Wibowo di tenis putri perorangan, dan Yayuk Basuki/Suharyadi di tenis ganda campuran. Sedang enam perak diperoleh dari Patmawati (angkat berat) Sylvia K. (anggar perorangan putri), Anisi dan Abdul Razak (kano), regu bulu tangkis putri, dan Eddy Hartono/Verawaty Fadjrin (bulu tangkis). Perunggu diperoleh dari bulu tangkis (6), tenis (4), renang (3), tinju (2), dayung (2), anggar, angkat berat, judo, dan balap sepeda masing-masing sebuah. Tiga cabang yang tak memperoleh medali adalah panahan, atletik, dan menembak. Sejak Mohamad Saren~gat meraih emas nomor lari 100 meter di AG Jakarta 1962, tak sebuah medali emas pun bisa direbut lagi oleh atlet atletik. Panahan juga sial. Hendra Setijawan memecahkan rekor Asia di nomor invidual grand FI TA dengan angka 326, tapi itu hanya urutan kedelapan. Peringkat Indonesia sebenarnya "dikatrol" oleh menurunnya prestasi India, Muangthai, dan Filipina, yang di AG Seoul melampaui prestasi Indonesia. India di Seoul menyabet lima emas, tapi sekarang hanya mampu menyambar satu emas. Pelari putri India P.T. Usha, yang di Seoul merebut tiga emas, kini harus pulang tanpa emas. Begitu pula Filipina, yang di Seoul mampu merebut empat medali emas, kini hanya satu. Muangthai empat tahun lalu merenggut tiga emas, di Beijing cuma kebagian dua. Tradisi medali emas di cabang tenis Indonesia ternyata sudah dimulai sejak AG Bangkok, 1966. Ketika itu, Lanny Kaligis , merebut emas nomor tunggal putri, dan Lanny yang berpasangan dengan Lita Sugiarto juga merebut emas ganda. Di AG Bangkok, 1970, tradisi emas ini patah. Tak s~ebuah medali emas pun diraih tim tenis Indonesia. Dan di AG Teheran, 1974, ~giliran Lita Sugiarto menjuarai nomor tunggal putri. Empat tahun kemudian di AG, Bangkok, Atet Wiyono keluar sebagai juara tunggal putra dan pasangan Yustedjo Tarik/Hadiman juga menjuarai ganda putra. Kemudian di AG New Delhi, 1982, regu putra Indonesia meraih emas, begitu pula "si urakan" Yustedjo Tarik di tunggal putra. Di Seoul empat tahun lalu, pasangan Yayuk Basuki/Suzanna meraih emas. Dan di Beijing, tradisi itu lestari. Itu yang membuat Ketua Umum Pelti Moerdiono sampai gemetar tak bisa menahan sukacita. "Saya terharu," katanya dengan mata berkaca-kaca. Bahkan, ketika dijamu makan malam oleh Li Peng, Moerdiono secara khusus diberi ucapan selamat oleh Perdana Menteri Cina itu atas keberhasilan tim tenis Indonesia. Tapi, bagaimana dengan target KONI, tujuh medali emas ? Bukankah target merebut dua emas di balap sepeda, satu emas di bulu tangkis, renang, dan atletik meleset ? Ketua ~ Bidang Pembinaan KONI Pusat Wiek Djatmika punya jawaban. "Kita tidak menargetkan secara kaku, tapi mengharapkan," ujar Wiek. Wi~k melihat titik lemah dalam penetapan target tadi. Yakni, ancar-ancar target emas itu didasarkan atas data atlet negara lain yang ternyata sudah out of date alias basi. "Kita memakai dasar prestasi terbaru atlet kita, tapi bukan data terbaru atlet lain," kata Wiek lagi. Di samping itu, "orang dalam" KONI ini juga melihat sudah mendesaknya pendekatan ilmiah dalam pembinaan olahraga di Indonesia. Dia mengambil contoh Mardi Lestari. Anak Binjai itu baru ketahuan mengalami cedera otot betis ketika berada di Amerika Serikat untuk berlatih. "Bagaimanapun cederanya, itu mempengaruhi prestasi Mardi," kata Wiek. Namun, menurut Ketua Komisi Teknik PASI J.E.W. Gozal, kekalahan Mardi Lestari lebih disebabkan karena mental bertandingnya yang lemah. Konon, Mardi ketika berlatih di AS jatuh dari tangga dan engsel kakinya terganggu. "Sakitnya Mardi itu lucu. Dia sakit tapi bisa berlari 10,60 detik. Kalau orang sakit, kan tak bisa lari secepat itu. Dia trauma akan sakit saja," ujar Gozal. Waktu terbaik Mardi adalah 10,20 detik. Repotnya, kekalahan Mardi lantas merambat ke rekan-rekannya. Ibaratnya, ujar Gozal, seperti putri malu, kalau disentuh satu, rebah semua. Rekor nasional yang ditargetkan dipecahkan tiap atlet cuma pecah di nomor lari 10 ribu meter, dan maraton putra putri. Prestasi yang lain di bawah rekor nasional. Di mata M.F. Siregar, "orang renang" yang kini Ketua Bidang Pembinaan PBSI Indonesia belum punya sistem pembinaan olahraga jangka panjang. "Sudah saatnya pembinaan diarahkan untuk prestasi dunia," kata mantan sekjen KONI Pusat yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di samping kolam renang ini. Dibandingkan dengan AG 1962 di Jakarta -- saat itu Indonesia menempati urutan kedua dengan 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu -- sepintas prestasi Indonesia di Beijing memang merosot. Cuma, Siregar melihat faktor sebagai tuan rumah sangat melecut prestasi Indonesia. "Ketika itu Indonesia mempunyai komitmen di semua lini agar Asian Games Jakarta sukses, " kata Siregar. Suasana 1962 memang lain. Ketika itu, kebanggaan sebagai atlet nasional begitu tinggi, mengalahkan iming-iming bonus atau sejenisnya yang boleh dibilang kering. Faktor lain, pembinaan atlet juga prima karena ada 14 pelatih asing untuk 13 cabang olahraga. Bill Miller dari AS, misalnya akhirnya berhasil mengantar Sarengat merebut dua emas di 100 meter dan 110 meter gawang. Tim balap sepeda, yang merebut tiga emas, dilatih oleh Rolf Nitzche dari Jerman Timur. Tim sepak bola dilatih oleh pelatih hebat Tony Pogacnik. Tapi sudahlah. Semua atlet sudah pulang dari Beijing. Target menaikkan peringkat sudah dipenuhi. Urutan ketujuh itu adalah prestasi tertinggi di negara-negara ASEAN, walau agaknya ini bukan prestasi terbaik sebuah negeri dengan 180 juta penduduk. Toriq ~~~~Hadad (Jakarta), L~iston P. Sir~egar, d~an Robin On~~g (Beijing) ~$
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini