Salim Group membeli klub Assyabaab Surabaya. Targetnya, juara kompetisi Galatama lima tahun lagi. ORANG Surabaya pasti tahu Assyabaab. Dan tak berlebihan menghubungkan nama itu dengan orang-orang keturunan Arab di Surabaya. Memang, nama klub sepak bola tertua di Surabaya yang berdiri pada 1948 itu berasal dari syabab -- panggilan untuk pemuda kampung Arab di kawasan Ampel. Kini hubungan Assyabaab dengan para syabab Ampel mungkin tinggal kenangan. Rabu pekan lalu, klub yang melahirkan Abdul Kadir, Waskito, Jacob Sihasale, dan Mustakim itu resmi berada di bawah asuhan Salim Group, milik konglomerat Liem Sioe Liong. Maka, namanya pun ditambah menjadi "Assyabaab Salim Group". Masuknya Salim Group tentu banyak artinya bagi Assyabaab. Bukan hanya sekadar pindah kantor dari sebuah rumah kontrakan Rp 3,5 juta setahun ke lantai IV Plaza Surabaya yang sejuk, milik Salim Group. Para pemain juga tak perlu lagi mencarter bemo setiap kali pergi ke tempat latihan. Sebuah bus khusus sudah tersedia. Manajemen baru kini juga sudah mengincar tanah 10 ha untuk stadion sepak bola. Embel-embel lain, kostum pemain ditempeli logo Indomilk, Indocafe, Indomie, Indomobil, atau Plaza Surabaya. Perubahan itu bermula pada 23 Maret lalu, ketika kepengurusan Assyabaab diserahkan sepenuhnya pada Ketua Umum Mohammad Barmen, setelah manajer lama, pelatih, dan pemain andalan Mustakim mengundurkan diri. Barmen pun lalu menawarkan klub itu pada dua pengusaha Surabaya dengan imbalan tertentu. Tapi tak ada kesepakatan. Barmen kemudian ingat Amang Yamani, tangan kanan Anthony Salim. "Dia sajalah, sudah kawan sendiri," ujar Barmen. Yamanilah yang kemudian menghubungi Anthony Salim. Lewat lima kali pertemuan di lantai 20 Wisma Indocement Jakarta, Anthony Salim setuju menyalurkan dana ke Assyabaab. "Salim Group mengikuti trend dunia bisnis yang menjadikan sepak bola sebagai upaya menciptakan brand image," kata Yamani di kantor baru Assyabaab. Untuk menciptakan citra itu, Assyabaab dianggap Yamani memenuhi persyaratan. "Karena Salim Group berhasil membeli Delta Plaza yang sekarang menjadi Plaza Surabaya, apa salahnya kalau Salim Group itu juga menyumbangkan sesuatu bagi masyarakat Surabaya," kata Yamani, yang menjadi Ketua Umum Assyabaab Salim Group. Lagi pula, kata Yamani, Assyabaab punya potensi karena pada tahun 1970-an menjadi pemasok pemain nasional terbanyak. Itu sebabnya, Assyabaab Salim Group bertekad menjuarai kompetisi Galatama lima tahun mendatang. Untuk target itu, Yamani sedang mempersiapkan kedatangan pelatih Belanda lewat KNVB, organisasi sepak bola Belanda. "Kami mengarah pada tim Belanda 1974 karena Assyabaab ingin menerapkan sistem sepak bola menyerang," tutur Yamani mengenai pilihan pelatih Belanda itu. Mendatangkan pelatih asing pasti tak pernah terlintas di benak pengurus Assyabaab yang lama. Dana klub yang pernah menjadi runner-up kompetisi antarklub I Indonesia tahun 1975 itu saja dikumpulkan dari para simpatisannya. Bahkan, Barmen yang sekarang menjabat Ketua I pernah menjual mobilnya untuk biaya musim kompetisi 1977. Kini pengorbanan Barmen itu tak diperlukan, setelah klub itu dibeli kelompok Om Liem. "Biaya tak menjadi masalah bagi Salim Group," kata Yamani. Gaji, tunjangan kesehatan, dan pendidikan 360 angggotanya dijanjikan akan dijamin. Mereka tinggal berlatih dan bertanding untuk menjadi juara. Paling tidak, bisa mengatrol peringkatnya dari dasar -- 17 di antara 20 klub -- ke permukaan. Liston P. Siregar (Jakarta) dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini