Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Balada Jairo, Jacksen, dan Fabiano

9 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua puluh tahun lalu, Jacksen Ferreira Tiago tak pernah melirik Indonesia untuk menjalani karier sepak bolanya. Ia memang ingin sekali bermain di luar negeri, tapi tidak di sini. Pemuda 26 tahun itu membayangkan Malaysialah tempat ia ingin mengadu nasib.

Pucuk dicita, ulam tiba. Ada seorang agen mengajaknya. Maka, bersama enam orang lain, Jacksen segera terbang menuju tanah harapan. Tapi harapan tak sesuai dengan kenyataan. Sang agen rupanya menyimpan tipu daya dalam benaknya. Ketika pesawat transit di Singapura, agen lancung itu berterus terang bahwa tujuan mereka sebenarnya Jakarta. Rombongan kecil itu gempar. Para pemain merasa ditipu. Dan sebagian memilih pulang.

Tapi Jacksen dan Carlos de Mello tidak. Kadung sudah meninggalkan kampung halaman, keruan saja mereka bersedia menuju Indonesia. "Legowo saja," ujar Jacksen, kini 46 tahun, Kamis pekan lalu, mengenang keputusannya waktu itu. "Yang penting mendapat pengalaman itu (bermain di luar negeri)."

Dan sikap legawa itu berbuah manis. Jacksen, yang bergabung dengan klub Petrokimia Gresik (kini Gresik United), segera mempesona siapa saja. Permainannya memang yahud. Namanya selalu dielu-elukan setiap Petrokimia bermain di kandang. Itu membuat Jacksen puas. Dia merasa dihargai meski bayarannya lebih kecil ketimbang saat di Brasil. Pada musim pertamanya, Jacksen "hanya" dibayar US$ 1.000 per bulan. Di Brasil, dia bisa mengantongi US$ 9.000 per bulan.

Rupanya, Jacksen betah main di Nusantara. Kini, 20 tahun berselang, Indonesia telah memberikan banyak hal kepada dirinya. Ia menjadi tulang punggung keluarga. Sebuah apartemen di sudut Rio de Janeiro, mobil, dan rumah yang nyaman untuk ditinggali sudah ia nikmati. "Kebohongan (agen) itu kini membawa berkah."

Jacksen bukan orang pertama Brasil yang bermain bola di liga Indonesia. Jauh sebelumnya, pada 1980, saat digulirkannya Liga Sepak Bola Utama (Galatama), ada nama Jairo Matos. Saat itu ia berumur 27 tahun ketika hijrah dari negerinya. Dia bergabung dengan klub Pardedetex (Medan) atas ajak­an Frans van Balkom—pelatih kepala tim Garuda pada 1978-1979.

Kualitas Jairo, kata anak sekarang, juga keren abis. Dia segera menjadi bintang Pardedetex. "Semua mengenal saya dan ingin bersalaman," ujarnya mengenang masa kejayaannya itu.

Itu semua membuat Jairo merasa dihargai. "Saya merasa seperti di rumah sendiri," ucapnya. Perasaan diterima itu mengatasi kecilnya gaji dibanding saat bermain di Jepang.

Namun, pada 1982, Jairo terpaksa angkat kaki dari Indonesia. Penyebabnya: ada regulasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia soal larangan klub Galatama menggunakan pemain asing. Jairo gigit jari dan kembali ke Brasil. Tapi cintanya tak padam. Ia kembali ke Indonesia pada 1987—sebagai pelatih—setelah larangan tersebut dicabut. Jairo lalu menikahi gadis Medan dan menjadi warga negara Indonesia. Kini ia bertekad menghabiskan sisa hidupnya di Medan. "Ini rumah saya."

Gemerlap perhelatan akbar Piala Dunia yang digelar di kampung halamannya, Belo Horizonte, sedikit pun tak membuat Jairo tergoda pulang ke Brasil. "Saya menonton dari Medan saja," katanya sambil tertawa.

Lain Jairo, berbeda pula kisah Fabiano Beltrame. Pemain 31 tahun ini semula mengabaikan Indonesia seperti Jacksen dulu. "Yang saya tahu soal Indonesia (saat itu) hanya tsunami," ujarnya. Namun ada agen yang tak putus membujuknya untuk bermain di sini. "Ternyata Indonesia luas, tak sebatas Aceh yang terkena tsunami."

Pada 2005, Fabiano menginjakkan kaki di Indonesia dan bermain di Persela Lamongan. Selanjutnya ia berpindah-pindah klub sebelum berlabuh di Persija pada 2011 sampai kini.

Di Ibu Kota, pesona pemain bertinggi 1,84 meter itu kian berkilau. Fabiano ditunjuk menjadi kapten kesebelasan. Jakmania—julukan penggemar Persija—juga mengelu-elukannya. Itu semua membuat Fabiano tersanjung dan merasa dihargai.

Soal masa depan setelah pensiun, ia belum tahu. "Yang pasti, Indonesia sudah mengukir kenangan manis," ucap Fabiano.

Arie Firdaus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus