Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi Pele, pemain terbaik sejagat hanya ada satu, yakni dirinya sendiri. Kualitas Diego Maradona pun, kata dia, masih di bawahnya. Namun kepada Zico, juniornya di tim nasional Brasil, dia tak pelit pujian. "Bersama saya, Zico adalah salah satu pemain terbaik Brasil," ujarnya suatu ketika. Dan dia tak keberatan julukan "Pele Putih" disematkan kepada Arthur Antunes Coimbra—nama lengkap Zico.
Jauh sebelum Neymar Jr, yang diramalkan akan menjadi bintang di Piala Dunia 2014, Zico, kini 61 tahun, sudah menjadi kesayangan masyarakat Brasil. Pada Piala Dunia 1982, bersama pemain legendaris lain, di antaranya Socrates (wafat tiga tahun lalu), Zico adalah aktor permainan sepak bola cantik ala jogo bonito yang termasyhur. Saat itu, Selecao—julukan timnas Brasil—adalah salah satu tim terbaik yang pernah ada di muka bumi. Sebelum gantung sepatu, Zico kembali membela Brasil di Piala Dunia 1986.
Setelah pensiun, ia meneruskan kariernya sebagai pelatih. Prestasinya bisa dibilang bagus. Zico berhasil mengantarkan Jepang ke Piala Dunia 2006 di Jerman. Terakhir dia menangani klub Al Gharafa, Qatar, sebelum pulang kampung dan mengisi kesibukannya di Centro do Futebal Zico—atau Pusat Sepak Bola Zico—di Rio de Janeiro. Dia sebenarnya sempat diminta menjadi pelatih timnas Brasil, tapi hal itu tak bisa diterimanya karena ia tengah menangani tim Irak. "Ketika diminta lagi, saya menolak," katanya.
Menyambut Piala Dunia kali ini, Zico sibuk mengisi acara sepak bola di Radio Globo. Saat turnamen nanti bergulir, dia akan menulis kolom tetap di harian yang terbit di Inggris.
Setelah mengajukan permohonan wawancara beberapa bulan sebelumnya melalui teman dekat Zico yang sudah dikenal selama 20 tahun, Selasa malam pekan lalu, Irfan Budiman dari Tempo akhirnya diterima Zico di rumahnya yang luas di kawasan elite Rio de Janeiro, Barra da Tijuca. "Wah, kamu satu-satunya wartawan Indonesia yang pernah masuk ke rumah saya," katanya ramah.
Mengenakan kemeja merah muda dan celana panjang krem, Zico—yang baru saja tiba di rumahnya malam itu—mengajak Tempo melihat koleksi memorabilianya di sebuah ruangan luas.
Ini Kota Rio de Janeiro, kok, sepertinya adem-adem saja menyambut Piala Dunia?
Mungkin masyarakat banyak yang kecewa terhadap situasi politik menjelang turnamen ini. Menurut mereka, seperti kita tahu bersama, semestinya banyak uang yang lebih baik dipergunakan untuk pembangunan sekolah dan rumah sakit ketimbang stadion. Saya kira saya juga setuju dengan mereka.
Dengan keadaan masyarakat seperti itu, Anda yakin penyelenggaraan Piala Dunia akan sukses?
Sukses bisa dicapai jika masyarakat Brasil mendukung sepenuhnya. Saya tidak tahu dengan keadaan seperti sekarang ini (apakah akan ada dukungan atau tidak). Tapi, untuk kemenangan Selecao, saya yakin masyarakat Brasil akan habis-habisan mendukung. Mereka akan datang memenuhi stadion. Apalagi kalau tim kami menang terus. Dukungan itu akan terjadi di dalam stadion. Di luar stadion? Saya tidak tahu.
Bagaimana Anda melihat pemilihan pemain yang dilakukan pelatih Felipe Scolari?
Tidak ada kejutan. Sebab, 23 pemain yang dia bawa ke Piala Dunia ini sudah sering dipanggil. Ini adalah tim yang bagus.
Sebelumnya, Anda sempat menyebutkan tim Selecao yang diisi pemain-pemain muda ini terlihat kurang matang....
Di dalam tim ini ada tujuh pemain Brasil yang sebelumnya tidak pernah ikut kualifikasi Piala Dunia. Neymar, Oscar, dan David Luiz adalah beberapa di antaranya. Hanya ada dua pemain yang pernah membela Brasil di babak kualifikasi Piala Dunia sebelumnya, yakni Julio Cesar dan Fred. Padahal bermain di pergelaran sebesar Piala Dunia membutuhkan kematangan. Itu yang menjadi kekhawatiran saya, bukan karena mereka muda.
Anda juga sempat berbicara tentang "Trauma Maracana 1950" sehingga lebih suka jika Brasil bertemu dengan Argentina ketimbang Uruguay....
Kalau head-to-head dengan Argentina, Brasil selalu unggul. Masalahnya, kalau nanti di final Brasil bertemu dengan Uruguay, akan ada banyak sekali yang mengaitkan dengan peristiwa di Maracana itu. (Dalam pertandingan final Piala Dunia 1950, Brasil—yang hanya butuh hasil seri—kalah oleh Uruguay. Kekalahan ini membuat masyarakat Brasil menangis.) Orang-orang pasti akan mulai membicarakannya, termasuk soal trauma yang pernah dialami masyarakat Brasil. Apalagi pasti nanti jurnalis akan mengangkat ihwal tersebut. Ini akan menyulitkan para pemain. Apalagi kebanyakan dari mereka relatif masih muda. Sebenarnya itu yang saya khawatirkan, bukan trauma tentu saja. Toh, mereka yang kini bermain belum lahir sehingga tidak mengalami peristiwa itu.
Soal peluang Selecao menjadi juara?
Menurut saya, tim ini memiliki peluang juara 85 persen. Salah satu keuntungannya adalah mereka menjadi tuan rumah.
Menurut Anda, Neymar Jr bisa menjadi bintang di turnamen kali ini?
Ya. Saya kira dia akan menjadi bintang. Saya mendukungnya untuk menjadi bintang di kejuaraan kali ini.
Bisa bercerita sedikit tentang Piala Dunia 1982? Saat itu, Brasil datang dengan tim terbaik, tapi Anda tak berdaya saat melawan Italia di perempat final. Claudio Gentile mengawal Anda dengan ketat sekali….
Pemain lawan memang hebat. Dia selalu menempel saya ke mana pun pergi. Saya kesulitan bergerak. Sekalinya lolos, ternyata tangannya menarik baju saya sampai robek. Saya sempat memprotes kepada wasit. Saya kecewa karena wasit tidak memberikan kartu kepadanya. Jika peraturannya seketat seperti sekarang, dia semestinya mendapat kartu.
Tapi akhirnya Brasil tersingkir….
Ya. Pada waktu itu Tuhan tidak memberi kami gelar juara. Memang sepak bola seperti itu. Tim yang berisi pemain terbaik tidak selalu menjadi juara.
Anda menyesal sepanjang karier di Selecao tak bisa mempersembahkan gelar juara untuk Brasil?
Tidak. Saya tidak kecewa. Saya malah bersyukur. Andai saya berhasil membawa Brasil menjadi juara dunia, mungkin saya merasa pencapaian sudah cukup. Tapi, karena gagal, saya terus mencari gelar juara.
Anda tahu sepak bola Indonesia?
Tentu saja. Ketika bermain di Jepang dan kemudian menangani timnas Jepang, saya tahu sepak bola di negara-negara Asia, seperti Indonesia, Malaysia, dan negara lain. Namun, ketika melatih Irak di kualifikasi Piala Dunia 2014, saya terkejut karena Indonesia kalah 0-10 oleh Bahrain. Saat itu, Iran—negara tetangga Irak—tengah memperebutkan tiket ke putaran berikutnya dengan Bahrain dan Qatar. Bahrain menang besar atas Indonesia. Saya sempat berpikir Indonesia sengaja memberi kemenangan besar. Saya ingin tahu apa yang terjadi dengan sepak bola di negeri Anda.
Anda punya saran agar sepak bola Indonesia bisa maju?
Mungkin perlu dilakukan perombakan total dan harus dikelola secara profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo