Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benih pesta lahir di Maracana, Rio de Janeiro. Bendera Brasil dikibarkan di rumah-rumah di tengah kota terbesar kedua di negara tersebut. Warna kuning-hijau-biru—warna panji itu—semakin meriah saat mendekat ke Stadion Maracana, tempat final Piala Dunia, 13 Juli mendatang.
Pemugaran stadion yang berlangsung sampai hitungan hari menjelang pembukaan, 12 Juni nanti, tidak menghalangi keceriaan di Maracana. Pekan lalu, di halaman stadion terbesar di Amerika Latin itu, Tempo mendapati kerumunan orang yang mengelilingi penjaja replika trofi Piala Dunia. Sang penjual replika bersanding dengan seorang pria yang berdandan ala Diego Maradona, lengkap dengan seragam Argentina dan wig kribo. Sekitar satu kilometer di selatan stadion, berdiri layar raksasa untuk nonton bareng di kawasan Alzirao Tijuca.
Gelanggang dengan nama asli Estadio Jornalista Mario Filho—wartawan yang memperjuangkan berdirinya gelanggang sepak bola di pusat kota itu, 64 tahun lalu—tersebut menampung lebih dari 200 ribu penonton pada final Piala Dunia 1950. Saat itu, tuan rumah ditekuk Uruguay 1-2. Namun Maracana pula yang membesarkan pemain legendaris Pele, Zico, Romario, dan Ronaldo. Neymar dan kawan-kawan juga mengalahkan juara dunia Spanyol di Piala Konfederasi di lapangan ini tahun lalu. Wajar jika warga Brasil menyebut Maracana kuil para dewa.
Di Maracana, juga di sekujur Brasil, sepak bola diperlakukan bak sebuah karnaval. Selalu ada sambutan yang gempita di pesta bola empat tahunan itu. "Jangankan jadi tuan rumah, di setiap Piala Dunia, warga mengecat pagar atau dinding kosong rumahnya kuning-hijau," ujar Carlos de Mello, 46 tahun, warga Rio de Janeiro, di rumahnya pekan lalu. Mantan punggawa PSM Makassar dan Persebaya Surabaya itu menyamakan semarak Piala Dunia di Brasil dengan tujuh belasan di Indonesia. "Uang untuk membeli cat dikumpulkan secara patungan sesama warga."
Guratan yang lebih artistik terlukis oleh seniman mural di banyak sudut Rio de Janeiro dan Sao Paulo, dua dari 12 kota tuan rumah. Ada gambar Neymar meledek Uruguay—menyindir kekalahan Brasil di Piala Dunia 1950 yang berlangsung di kota itu. Ada juga Hulk, penyerang andalan mereka, yang jatuh menimpa dua pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Sepak bola memang mendarah daging di negeri berpenduduk 198 juta itu. Di negara yang tidak pernah absen di Piala Dunia—tak pernah keluar dari posisi tiga kandidat terkuat—itu, kado pertama yang diterima hampir semua anak laki-laki adalah si kulit bundar. "Sepak bola bukan sekadar olahraga, melainkan agama," kata Leovegildo Lins da Gama Júnior, bek kiri Brasil di Piala Dunia 1982, kepada Tempo. "Selama Piala Dunia, semua orang berhenti beraktivitas selama sebulan, terutama saat Brasil bertanding."
Hasrat tersebut bersambut di sekolah sepak bola yang terserak hingga sudut-sudut kota. Klub besar, seperti Flamengo, Botafogo, Fluminense, dan Corinthians, membuka akademi untuk menjaring pemain berbakat. Legenda seperti Arthur Antunes Coimbra alias Zico tidak ketinggalan. Bahkan klub raksasa dari Eropa, Barcelona, juga akan membuat sekolah serupa di sana.
Carlos Renato Noval, Manajer Akademi Flamengo, mengatakan menyebar lima pencari bakat ke seantero Brasil untuk mengundang pemilik talenta ke sekolahnya. Cara lain adalah menggelar pertandingan futsal dan tes selama dua pekan. Jika berhasil menembus kelompok di atas 15 tahun, siswa diupah minimal Rp 6 juta per bulan. Bayaran itu pasti berlipat jika mereka berhasil menembus tim senior atau dibeli klub lain. "Tentu saja kami memetik keuntungan dari pembelian pemain," ujar Noval.
Sekolah sepak bola juga merambah favela—sebutan untuk permukiman kumuh di Brasil. Oktober tahun lalu, Tempo menyambangi Rocinha, favela terbesar di Rio, dan mendapati lapangan 60 x 30 meter dengan pagar kawat dan rumput buatan. Meski ukurannya jauh di bawah standar lapangan bal-balan, minimal 100 x 64 meter, akademi itu menampung 1.500 bocah yang datang silih berganti sesuai dengan kelompok umur. Setiap jam, sejumlah ibu yang kebanyakan masih berusia muda bergantian nongol mengantar anak mereka berlatih.
"Saya ingin jadi pemain Flamengo," ucap Gabriel Nunis, 14 tahun. Anak sopir taksi itu hampir saban hari menempuh perjalanan bus selama 20 menit dari rumahnya di favela Gardenia Azul ke Rocinha.
Bukan mimpi di siang bolong. Fransisco Borjes, 38 tahun, penjaga lapangan sekaligus pelatih, mengatakan Flamengo dan Botafogo—dua klub besar yang bermarkas di kota itu—kerap mengirim pemantau bakat ke sana. Rocinha telah melahirkan sejumlah bintang, termasuk Victor Simoes de Oliveira, alumnus Flamengo yang meraih gelar juara bersama Club Brugge di Belgia. Kini penyerang 33 tahun itu membela Umm Salal di Liga Qatar.
Legenda Brasil juga banyak yang berasal dari favela, seperti Zico, Romario, dan Ronaldo. "Kalaupun impiannya tidak kesampaian, setidaknya mereka terlepas dari pengaruh buruk pengedar narkotik yang menguasai favela," ujar Borjes.
Ilmu yang didapat di akademi bisa ditorehkan di mana saja. Liga Brasil boleh saja prei selama Piala Dunia, tapi kompetisi tarkam alias antarkampung jalan terus. Ahad pekan lalu, Tempo menyambangi Niteroi, sekitar 15 kilometer dari Rio de ÂJaneiro, untuk menonton liga amatir.
Kebanyakan tim dibentuk berdasarkan hubungan keluarga. Bangarel FC, yang bermain di game ketiga dari empat pertandingan hari itu, memiliki kiper, penyerang, pelatih, dan pemilik klub yang masih berhubungan darah. "Kami bermain untuk mencari kesenangan, tapi kompetisi ini tetap serius," ucap seorang pemain Bangarel, yang mengaku bermain di dua pertandingan hari itu.
Kegilaan seperti itu menjadikan Brasil seperti pabrik pemain bola. Di era Junior, kini 59 tahun, pemain baru meninggalkan Negeri Samba setelah berusia kepala dua. "Tapi sekarang mereka bisa pergi saat masih 17 tahun, bahkan sampai Asia Timur," kata pemain yang memperkuat Torino dan Pescara di Liga Italia pada 1984-1989 itu.
Data situs Eurorivals menyebutkan sedikitnya 655 pemain Brasil mencari nafkah di 42 negara di semua penjuru dunia, dari negara tetangga, Uruguay, sampai Cina. Tujuan favorit adalah Portugal—yang memiliki kesamaan bahasa—dengan 96 pemain. Hanya Afrika benua yang tidak mereka jamah.
Diaspora tersebut memiliki dampak negatif. Menurut Junior, klub asing mengontrak pemain mereka sejak berumur 16 tahun. "Itu sama saja membunuh klub kami," ujarnya. Dia menuding agen sebagai biang kerok. "Mereka seperti pemilik sauna: mendapat duit dari keringat orang lain."
Sebanyak 21 orang dari pemain di luar Brasil berganti kewarganegaraan demi kesempatan mengenakan seragam tim nasional. Dasar dari lahir sudah jago bola, mereka selalu mendapat tempat, seperti Marcos Senna, yang mengusung panji Spanyol pada usia 30 tahun pada 2006. Dia menembus tim utama dan mempersembahkan trofi Piala Eropa 2008.
Ada juga Képler Laveran Lima Ferreira alias Pepe. Bek 31 tahun kelahiran Maceio, kota di bagian timur Brasil, ini tidak pernah dilirik negaranya. Pada 2007, setelah enam tahun menetap di Portugal, dia mendapatkan paspor baru dan langsung dipanggil Seleccao das Quinas—julukan tim nasional Portugal yang berarti tim lima perisai.
Pengecualian berlaku pada Diego Costa, 25 tahun. Penyerang Atletico Madrid ini jadi pilihan pelatih tim nasional Brasil, Luiz Felipe Scolari, saat menghadapi Italia dan Rusia, Maret tahun lalu. Namun dia membelot ke Spanyol setelah mendapatkan paspor negara itu pada September 2013. "Dia mengkhianati impian jutaan warga kami yang ingin membela tim nasional Brasil," kata Scolari. Meski berlabel pembelot, Diego Costa dan Pepe datang ke Brasil dengan senyum, untuk pulang kampung dan berpesta. Tentu saja ada misi lain: membawa Piala Dunia ke negara induk semang mereka.
Eksodus pemain juga membuat tim nasional Brasil kehilangan tempat di hati penggemar. Dari 23 pemain pilihan Scolari, hanya ada empat pemain liga lokal. Terlebih federasi sepak bola mereka melangsungkan sebagian besar pertandingan persahabatan di luar negeri, dari Afrika Selatan sampai Cina.
Akibatnya, sebagian suporter gamang saat muncul seruan anti-Piala Dunia. "Tidak ada pemain kami di sana," ujar Marco Silva, 33 tahun, pendukung Flamengo, seperti dikutip Toronto Sun. Warga pinggiran Rio de Janeiro yang bekerja sebagai konsultan ini malah menjagokan Belanda. "Kalau Brasil menang, orang bakal melupakan korupsi yang menggerogoti turnamen ini."
Korupsi menjadi hantu yang terus bergentayangan di Brasil. Unjuk rasa jadi pemandangan biasa di kota-kota besar Brasil setahun terakhir. Mereka berpekik bahwa dana Rp 129 triliun yang dialokasikan untuk membangun stadion dan infrastruktur banyak yang dikentit pemerintah. "Lebih baik untuk membangun sekolah, sarana kesehatan, dan transportasi," kata Romario de Souza Faria, penyerang yang membawa Piala Dunia ke Brasil pada 1994.
Kurang dari sepekan sebelum Piala Dunia, belum ada satu pun dari 12 stadion yang 100 persen rampung. Presiden FIFA Sepp Blatter sampai menyatakan memilih Brasil merupakan suatu kesalahan. Sebaliknya Carlos Alberto Torres, yang bersama Pele menjuarai Piala Dunia 1970, membela negaranya. "Memang apa pun di Brasil serba terlambat," ujar Torres, 69 tahun, kepada Tempo. "Tapi mereka akan mengerjakannya sampai menit terakhir."
Semua aral tersebut sedikit-banyak membebani tim nasional Brasil—tim yang paling dijagokan pasar taruhan, diikuti Argentina, Jerman, dan juara bertahan Spanyol. "Kami semua bakal menangis kalau Neymar dan kawan-kawan gagal jadi juara," ucap Baica, 55 tahun, juragan ikan di Rio de Janeiro.
Brasil—juara dunia lima kali—memiliki tujuh pertandingan untuk kembali mengangkat Piala Dunia. Mereka memulai perjuangan menuju kuil para dewa dengan menghadapi Kroasia di Sao Paulo, 12 Juni nanti. "Kami memiliki kewajiban untuk jadi juara," kata Scolari, 65 tahun, seperti dikutip dari situs FIFA. Optimisme pelatih yang mempersembahkan Piala Dunia 2002 itu berasal dari dukungan suporter. "Kami bermain di depan pendukung, jadi memiliki 12 pemain."
Akhir pekan lalu, 700 ribu fan dari seluruh dunia akan membanjiri Brasil. Carlos Alberto Torres yakin, disaksikan dua miliar orang di seluruh dunia, Brasil akan merebut trofi keenam, Hexacampeao. "Kami siap berpesta di Maracana, gereja sepak bola," ujarnya.
Reza Maulana, Irfan Budiman (Rio De Janeiro), Pramono (Rio De Janeiro, Sao Paulo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo