Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senja hampir habis ketika bombo dan surdo ditabuh di depan Theatro Municipal, Sao Paulo, Brasil. Ratusan orang meliukkan tubuh mengikuti entakan dua perkusi tradisional Brasil yang bentuknya mirip tambur itu.
Mereka berjoget, menyanyi, dan sesekali meniupkan trompet. Tak ada yang peduli terhadap guyuran hujan yang semakin deras dan hari yang kian gelap pada akhir Oktober tahun lalu. Bahkan tiga lusin polisi yang berbaris rapat mengepung tak mereka acuhkan.
Keriuhan mendadak berhenti ketika satu orang dari kerumunan itu, Marcelo Hotimsky, tampil ke depan untuk berorasi. Ia mengutuk kebijakan pemerintah menaikkan tarif transportasi. "Kenaikan tarif memberatkan masyarakat," ujarnya.
Ia bersama ratusan orang lain yang hadir petang itu kemudian mengambil sumpah: unjuk rasa akan terus digulirkan hingga Piala Dunia digelar jika pemerintah tak segera menurunkan—belakangan diubah menjadi menghapus—tarif transportasi.
Kenaikan tarif transportasi yang diterapkan pemerintah Brasil mulai Mei tahun lalu sebenarnya tak besar, hanya 0,3 real atau sekitar Rp 1.500. Persoalannya, pada saat bersamaan, pemerintah menggelontorkan dana hingga US$ 11 miliar atau setara dengan Rp 129 triliun untuk membiayai hajatan Piala Dunia. Tidak bisa tidak, muncul pertanyaan: kenapa dana sebesar itu tak digunakan saja buat mensubsidi transportasi dan memperbaiki sarana publik, rumah sakit, serta gedung sekolah, ketimbang untuk hura-hura Piala Dunia.
"Persetan dengan Piala Dunia," kata seorang pelajar bernama Raul, 17 tahun, kepada Tempo, yang turut hadir di depan Theatro Municipal. Dalam unjuk rasa itu, ia membawa bendera berlambang palu-arit. "Piala Dunia hanya untuk orang kaya."
Entakan bombo dan surdo yang diselingi raungan trompet di tempat itu memang bukan atraksi seni, melainkan demonstrasi menentang kenaikan tarif transportasi, yang kemudian menjadi bibit penolakan terhadap perhelatan Piala Dunia.
Dari depan Theatro Municipal, Marcelo Hotimsky lalu memimpin "pasukan"-nya bergerak menuju pusat kota untuk menguasai Avenida Paulista, kawasan bisnis di Sao Paulo. Dua jam kemudian, bombo dan surdo yang mengiringi barisan itu tak lagi terdengar: kerusuhan pecah dan para demonstran bubar dihantam gas air mata.
Sumpah mereka tetap bergaung hingga setahun kemudian. Dua pekan sebelum kickoff Piala Dunia, penolakan tetap muncul di mana-mana. Akhir Mei lalu, misalnya, ribuan orang turun ke jalan di Brasilia dan ratusan orang menutup akses menuju Avenida Paulista.
Massa juga memblokade jalan masuk ke Granja Comary, pusat latihan para pemain tim nasional Brasil, di Rio de Janeiro. Mereka membentangkan spanduk dan menempeli bus tim nasional dengan stiker bertulisan "Tidak Akan Ada Piala Dunia" dan "Go Home FIFA".
BBC mencatat, selama setahun, tak kurang dari satu juta orang Brasil turun ke jalan, menentang Piala Dunia. Hasil jajak pendapat yang dilakukan media lokal juga menunjukkan dukungan masyarakat terhadap Piala Dunia anjlok dari 78 persen pada 2008 menjadi hanya 48 persen.
"Saya sama sekali tidak terkejut oleh aksi protes yang begitu sporadis. Sebab, pemerintah mengucurkan dana yang teramat besar untuk Piala Dunia justru ketika sekolah, rumah sakit, dan transportasi publik kami kekurangan dana," kata mantan bintang tim nasional Brasil, Romario de Souza Faria.
Dana yang digerojokkan pemerintah Brasil untuk hajatan Piala Dunia kali ini memang sangat besar: US$ 11 miliar. Jumlah ini hampir empat kali lipat biaya yang dikeluarkan Afrika Selatan saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010.
Dana jumbo yang dikucurkan pemerintah itu menjadi ironi karena 15,9 persen populasi di Brasil masih hidup miskin. Kendati pendapatan per kapita mereka pada 2013—menurut The World Factbook yang dirilis badan intelijen Amerika Serikat (CIA)—US$ 12.100, indeks koefisien gini atau tingkat kesenjangan kesejahteraan di sana juga tinggi. Data Bank Dunia pada 2009 mencatat indeks gini Negeri Samba mencapai 54,7 persen. Maka bisa jadi apa yang diucapkan Raul kepada Tempo benar adanya: Piala Dunia hanya untuk orang kaya.
"Saya sungguh tidak mengerti kenapa pemerintah mengeluarkan begitu banyak uang, padahal warganya hidup melarat," ujar Julia Lopez, warga Fortaleza yang tinggal di favela—sebutan untuk kampung kumuh di Brasil—kepada Guardian. "Ini membuat kami bertanya-tanya: untuk siapa sebenarnya Piala Dunia ini?"
Sekitar 170 ribu orang di Brasil yang tinggal di favela-favela di dekat stadion menanyakan hal yang sama ketika ribuan aparat memaksa mereka pindah ke pinggiran kota. Alasannya, pemerintah tak ingin ada permukiman kumuh di dekat stadion. "Mereka dipindahkan sejauh 40 kilometer dari stadion," kata anggota senat dari partai sosialis (PSOL), Renato Cinco.
Relokasi warga ini membuat ribuan orang itu tak bisa mengais rezeki dari berjualan pernak-pernik Piala Dunia, seperti kaus, bendera, dan syal, di dekat stadion. Mereka hanya gigit jari di tengah hiruk-pikuk pesta olahraga terbesar sejagat ini.
Menonton langsung pertandingan dari dalam stadion juga akan menjadi hal yang mewah. Sebab, harga tiket yang dipatok FIFA cukup tinggi. Federasi sepak bola internasional itu membanderol tiket termurah seharga US$ 26 untuk pertandingan di babak penyisihan, US$ 49 untuk pertandingan di babak 16 besar, US$ 75 untuk perempat final, hingga US$ 147 untuk final.
Melihat banyaknya warga Brasil yang tak bisa menikmati Piala Dunia, lahir pertanyaan besar: siapa yang paling diuntungkan pesta sepak bola ini? Pertanyaan itu dilontarkan profesor dari Universitas Federal Fluminense di Rio de Janeiro, Christopher Gaffney, kepada Globalpost. Gaffney mengajarkan arsitektur dan perencanaan kota untuk program pascasarjana di universitas tersebut.
Romario punya jawaban atas pertanyaan tersebut. Menurut pemain yang membawa tim nasional Brasil menjuarai Piala Dunia 1994 itu, pereguk untung dari hajatan Piala Dunia ini adalah FIFA, media massa, sponsor, dan kontraktor.
"Apakah FIFA peduli terhadap kesiapan infrastruktur jalan? Sama sekali tidak. Mereka hanya mencemaskan apakah stadion sudah jadi atau belum," katanya. "Tidak ada keuntungan apa pun yang bisa dipetik orang-orang Brasil dari pesta ini."
Romario tak asal njeplak. Auditor Kota Manaus beberapa waktu lalu mengendus adanya dugaan penggelembungan dana dalam pembangunan Amazon Arena. Auditor menilai pembangunan stadion yang akan menjadi host untuk empat pertandingan Piala Dunia ini menyedot dana hingga US$ 285 juta—US$ 66 juta lebih banyak dari yang seharusnya.
Pembengkakan anggaran juga diduga terjadi dalam pembangunan National Stadium di Brasilia, yang mencapai US$ 900 juta. Investigasi yang dilakukan CBS Sports menemukan angka itu tiga kali lebih besar dari anggaran semula yang dipatok pemerintah.
Tak mengherankan jika Romario menganggap penggunaan dana yang begitu besar ini seperti "perampokan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Brasil". Sebab, semua dana itu diambil dari dana publik yang berasal dari pungutan pajak.
Ironisnya lagi, beberapa stadion yang dibangun dengan biaya tinggi itu juga tak jelas nasibnya setelah Piala Dunia berÂakhir. National Stadium dan Amazon Arena, misalnya, bakal "menganggur" karena tidak ada klub sepak bola profesional yang berbasis di Brasilia dan Manaus.
Menteri Pariwisata Brasil Vinicius Lages menepis semua isu negatif tersebut. Menurut dia, Piala Dunia justru akan membawa angin segar dalam perekonomian Brasil. Ia menghitung setidaknya akan ada 3,7 juta turis asing datang selama perhelatan Piala Dunia.
Setiap turis akan menghabiskan minimal US$ 2.488 selama mereka tinggal. Artinya, ada US$ 3,3 miliar yang akan mengalir ke kas Brasil. Ini baru dari sektor pariwisata. "Apa yang kami dapat nanti mungkin bisa dua kali lipat dari apa yang telah kami keluarkan," ujar Vinicius Lages.
Namun Christopher Gaffney meminta Vinicius Lages berkaca pada Afrika Selatan ketika menggelar Piala Dunia pada 2010. Saat itu, Afrika Selatan menggelontorkan dana US$ 3 miliar, tapi duit yang masuk kembali ke kas mereka hanya US$ 400 juta.
Sejumlah ironi inilah yang kemudian menyulut lahirnya gerakan anti-Piala Dunia. Namun asisten pelatih tim nasional Brasil, Carlos Alberto Parreira, tetap optimistis pesta sepak bola empat tahunan ini akan berlangsung meriah.
"(Protes) ini hanya masalah kecil," kata Parreira kepada Associated Press. "Saat kickÂoff nanti, saya yakin semua orang akan mendukung kami karena semua orang di sini mencintai sepak bola."
Optimisme serupa disampaikan Marcelo, 46 tahun, penduduk Rio de Janeiro, kepada Tempo. Setiap tim nasional bertanding, kata Marcelo, semua orang Brasil akan meninggalkan pekerjaannya. "Mereka akan duduk di depan televisi," ujarnya.
Antusiasme masyarakat Brasil terhadap sepak bola memang tak perlu diragukan. Tapi, ketika Marcelo dan ribuan orang Brasil lain hanya bisa menonton pesta berdana triliunan rupiah ini dari layar televisi masing-masing, bukan dari dalam stadion, itu menjadi ironi.
Dwi Riyanto Agustiar, Stefanus Teguh Edi Pramono (Brasil)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo