Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Bangkitnya Para Srikandi

Tim uber indonesia kalah di final oleh rrc. dua ganda rrc berhasil dikalahkan. tim indonesia belum siap, terutama dalam stamina. harus digembleng secara serius untuk menghadapi kejuaraan yang akan datang. (or)

10 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VERAWATY melancarkan pukulan chop. Bola melesat cepat ke arah dada Lin Ying. Lin Ying mencoba mengembalikan bola. Tapi terlambat. Bola lolos dari pukulannya. Angka bertambah buat pasangan ganda Verawaty Fajrin/Yanti Kusmiati. Dan itulah angka terakhir yang memperkecil kekalahan tim Piala Uber Indonesia melawan juara bertahan RRC. Penonton yang memadati Istora Senayan, yang berkapasitas 10.000 pengunjung, bersorak-sorai, dengan ditingkahi keplokan tangan, entakan kaki, dan suara trompet, menyambut angka terakhir yang dibuat Vera itu. Sementara itu, lawan mereka, Wu Dixi/Lin Ying, juara All England 1982, 1983, dan 1985, termangu sesaat - seperti tak percaya mereka dikalahkan Vera/Yanti, yang baru sekitar tiga bulan dipersiapkan tim Piala Uber Indonesia. Kehebatan regu Indonesia di final Kejuaraan Piala Uber ke-11, Sabtu malam lalu, cuma pada dua partai ganda. Dan angka itu tak menggoyahkan lagi kedudukan tim putri RRC mempertahankan gelar. Sebab, tiga pemain tunggal mereka telah memastikan kemenangan regu RRC. Mereka adalah Li Lingwei (mengalahkan Ivanna Lie 12-11 dan 11-3), Han Aiping (menundukkan Elizabeth Latief 11-1 dan 11-3), dan Wu Jianqiu (mempecundangi Verawity Fajrin 12-9 dan 11-7) Tapi memang itulah hasil maksimal yang mungkin diharapkan dari pemain putri kita. Maka, penonton tak begitu terlihat kesal kendati tim gagal merebut mahkota juara. Apalagi mereka cukup terhibur oleh dua kemenangan di partai ganda. Perebut angka pertama, sebelum Vera/ Yanti, adalah pasangan Imelda Kurniawan/Rosiana Tendean. Mereka menumbangkan ganda terkuat RRC, juara dunia 1985, Li Lingwei/Han Aiping, dengan dua set langsung. "Li Lingwei dan Aiping memang agak cedera kaki ketika bertanding. Tapi mereka tak pernah diminta untuk mengalah," kata Wan Wenjiao, wakil pimpinan tim RRC. Tak hanya itu kehebatan Imelda/Rosi. Mereka tercatat sebagai pasangan tak terkalahkan selama kejuaraan - lima kali bertanding, termasuk melawan regu Korea Selatan dan Jepang. Prestasi yang dinilai Chen Fushou, manajer tim putri Cina, cukup bagus. Chen, asal Solo, punya kritik sendiri. "Pemain-pemain putri Indonesia biasanya hanya bagus jika main di kandang sendiri," katanya. Tapi, sebagai pelatih, ia lebih menaruh harapan pada pendatang baru Sarwendah - yang dipasang waktu melawan Kanada dan Inggris. Chen menyebut Sarwendah sebagai tanah lempung, yang gampang dibentuk. Partai ganda memang punya andil cukup besar dalam menaikkan pamor tim putri Indonesia kali ini. Rahasianya? Para pemain menyebutnya, "kekompakan tim". Psikolog Jo Rumeser, yang mendampingi para pemain putri tersebut, mengatakan, itu semua terjadi karena mereka merasa tertantang. "Sama-sama senasib: tidak dianggap berprestasi," kata Jo, staf penelitian dan pengembangan PBSI. Bisa begitu karena prestasi tim Piala Uber Indonesia, sesudah menjadi juara pada 1975, merosot terus. Dua tahun lalu pada Kejuaraan Piala Uber ke-10 di Kuala Lumpur, misalnya, dengan materi yang hampir sama - kecuali Verawaty, Yanti Kusmiati, dan Sarwendah - Indonesia malah sudah tersingkir di babak penyisihan. Dengan prestasi seperti itu, dan juga melihat kemampuan beberapa pemain yang jarang menang di pelbagai kejuaraan internasional selama dua tahun terakhir ini, banyak orang meragukan kemampuan putri Indonesia bisa mencapai final seperti pekan lalu. Kontras dengan perhatian pada upaya mempertahankan Piala Thomas (tim putra). Menurut Jo, itu semua ternyata punya efek positif: para pemain (putri) jadi terbakar untuk menunjukkan prestasi mereka. Dilatih intensif, antara lain oleh Pelatih Liong Ciu Shia, juara putri RRC dekade lalu, dan kemudian lari ke Hong Kong, Ivanna dan kawan-kawan terus digembleng untuk bisa membuktikan bahwa mereka bukan underdog. Secara berkala, setiap minggu, selain latihan fisik dan teknis, mereka juga digarap untuk menyatu secara psikologis. Yakni dengan mengadakan ajang tukar pikiran bebas yang, menurut Jo, sengaja diprogram, agar bisa mendapatkan masukan dari pemain. Selain itu, gunanya untuk memberi kesempatan kepada mereka menyampaikan persoalan pribadi. Baru kemudian Jo mengadakan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi pelbagai problem pemain itu. Hasilnya? Kepercayaan pemain pada diri sendiri mulai bangkit, tambah akrab dengan rekan, pelan-pelan bisa bertarung dengan ngotot - sesuatu yang sekitar tiga tahun lalu dikeluhkan Ferry Sonneville, Ketua Umum PBSI waktu itu, sebagai salah satu kelemahan pemain putri Indonesia. Adalah Ivanna, misalnya, yang sampai beberapa kali terpontang-panting di lapangan ketika bertanding melawan Li Lingwei. "Ini salah satu bukti keberhasilan pengurus sekarang. Saya sendiri, dulu, tak mampu menaikkan semangat bertanding pemain putri sampai seperti sekarang," ujar Ferry Sonneville terus terang. Ia menambahkan, secara teknis, sebenarnya pemain Indonesia tak kalah dari pemain RRC. Tapi karena kalah dalam semangat bertanding dan kekuatan fisik, maka tim putri Indonesia kerap kali dipecundangi RRC. Ini terjadi sejak Asian Games VII di Teheran, Iran, 1974, hingga kejuaraan Piala Uber, di Kuala Lumpur, dua tahun lalu. Kini, sekalipun banyak kemajuan, tim putri Indonesia bukan tanpa kekurangan. Lihat saja, pertandingan Ivanna lawan Li Lingwei, misalnya. Terlihat pelbagai kekurangan Ivanna dibandingkan andalan RRC itu. Li Lingwei, 23, juara dunia 1983, tampil dengan kondisi fisik yang prima. Ia bergerak cepat mengejar bola ke segenap pojok dengan langkah yang enteng, dan pukulan-pukulannya juga keras dan tampak bertenaga. Dengan modal itu, Li Lingwei, kendati harus menghadapi tekanan riuh ribuan penonton yang memihak Ivanna, tetap bisa bermain dengan gaya menyerang. Ivanna semula memang tak kalah garang, terutama pada set pertama. Ia tampak mampu mengimbangi Li Lingwei. Bahkan sempat unggul mula-mula 10-6. Tapi set ini tetap tak bisa diakhiri pemain peringkat pertama Indonesia itu. "Karena stamina sudah turun," tambah Ketua Bidang Pembinaan PBSI, Tahir Djide. Li Lingwei mengakhiri set ini 12-11. Lemah stamina, itulah, menurut Liong Ciu Shia, salah satu kelemahan dasar pemain Indonesia. "Karena dasarnya tak begitu kuat, maka, hasilnya yang terbaiknya, ya cuma begitu," komentarnya tentang kekalahan Ivanna dari Li Lingwei. Ia menambahkan, rata-rata pemain Indonesia seperti Ivanna, tak punya fondasi yang kukuh. Liong Ciu Shia, 35, lahir di Cirebon, dan bermukim sekitar 13 tahun di RRC. Setelah itu, ia pindah ke Hong Kong. Tahun 1984, ia diminta Menpora Abdul Gafur kembali ke Indonesia untuk melatih pemain putri kita. Kini tinggal bersama adiknya, Tjun Tjun, Liong Ciu Shia membantu Sukartono (pelatih kepala) di Pelatnas Piala Uber. "Baru sedikit kemajuan yang diperoleh para pemain," kata Liong Ciu Shia. Maka, Liong Ciu Shia, bekas pemain andal RRC ini, hanya tertawa ketika diberi tahu pujian bekas teman-temannya dulu, tentang kemajuan pemain ganda kita. "Sulit memastikan mereka sudah maju. Kadang-kadang ada keadaan yang memang membuat pemain bisa main bagus dan menang. Tapi, untuk melihat dia sudah maju atau belum harus bisa menang beberapa kali," katanya. Menang lawan ganda putri RRC, pekan lalu, menurut Liong Ciu Shia, belum jadi satu ukuran putri Indonesia sudah mulai kuat di ganda. "Memang saya senang, kita bisa menang. Tapi, mungkin lawan lagi buruk atau tak konsentrasi mau menang, 'kan bisa saja," ujarnya. Liong Ciu Shia berpendapat, pemain yang baik dan kuat, setidak-tidaknya seperti Li Lingwei dan Han Aiping, memang harus dilatih dan dicetak. Karena itu, ia menganggap penting pembibitan pemain terus dilakukan. "Melatih dari dasar itulah yang terbaik, kalau mau mendapatkan pemain tangguh," katanya. Hasil lumayan di kejuaraan Piala Uber kali ini memang diharapkan jadi perangsang, seperti dikemukakan Ketua Litbang PBSI, Syamsul Alam, untuk mulai mencetak pemain tangguh yang baru. "Sekaranglah momentum yang tepat untuk segera membina pemain putri secara lebih serius," kata Syamsul Alam bersemangat. Harus begitu, memang. Sebab, dua tahun lagi, belum pasti apakah Imelda, 34, pasangan Rosiana Tendean, Ivanna, dan Vera, 29, masih bisa main atau tidak. Jika pemain seperti Elizabeth Latief, 23, dan Sarwendah, 18, tak segera bisa dimatangkan, maka mudah ditebak, jangankan gelar juara, posisi sebagai finalis pun agaknya tak bakal terjangkau. MS Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus