GELANGGANG bulu tangkis, kini, ternyata lahan bisnis yang subur. Tidak heran jika ada 43 perusahaan mau merogoh kocek mensponsori pertandingan Piala Thomas dan Piala Uber di Jakarta, yang berakhir Minggu malam lalu. Apa imbalan yang mereka harapkan? Tentu saja promosi - diperkirakan setiap malam lebih dari 5.000 penonton di Istora Senayan, belum terhitung lewat televisi, menyaksikan spanduk mereka. Ini, menurut Lee Gross. yang mempromosikan rokok Marlboro, penting untuk menanamkan citra produknya. Sementara itu, panitia penyelenggara turnamen Piala Thomas dan Piala Uber juga merasa tertolong. Sebab, menyelenggarakan pertandingan internasional tidak murah. Menurut Ketua Panitia Penyelenggara Pertandingan Drs. Titus Kurniadi, biaya penyelenggaraan pertandingan selama 10 hari itu semula dianggarkan Rp 300 juta. Kabarnya, angka itu membengkak jadi hampir Rp 500 juta. Mengapa? Kesejahteraan para peserta kali ini cukup mendapat perhatian. Untuk mereka disediakan hotel kelas satu serta bermacam kemudahan lainnya. Sedangkan di Kuala Lumpur, dua tahun lalu, panitia hanya menyediakan fasilitas di hotel berbintang tiga. Pemasukan panitia kali ini memang lumayan besar. Dari hasil penjualan karcis saja, misalnya, panitia sudah mengantungi Rp 400 juta penjualan tempat duduk yang tersedia di Istora Senayan (kapasitas 10 ribu penonton) diborongkan kepada klub Bimantara Tangkas dan Garuda Jaya. Dengan cara itu, kata Titus, paling tidak membebaskan panitia dan pekerjaan yang memakan waktu. Selain itu, mereka juga mendapat "pemasukan tak terduga" dalam pembukuan. Sebab, pengeluaran untuk sarana telekomunikasi, yang dipasang selama pertandingan, dan sudah dibayarkan kepada Perumtel ternyata dikembalikan lagi. Pemasukan lain berasal dari para sponsor dan pemasang iklan. Untuk setiap spanduk, selama pertandingan terpampang 23 spanduk, panitia memungut Rp 1 juta. Belum lagi dari kios-kios penjualan cendera mata. Karena itu, sebelum pertandingan usai, Titus sudah menghitung bahwa panitia memungut laba sedikitnya Rp 150 juta. Di antara perusahaan yang mempromosikan diri besar-besaran adalah Philip Morris. Mereka menurunkan dana US$ 625 ribu (sekitar Rp 700 juta) untuk mempromosikan Marlboro. Kata Lee Gross, penasihat pemasaran Philip Morris di Indonesia, biaya itu belum termasuk tambahan US$ 200 ribu untuk membiayai pencetakan stiker dan penyediaan fasilitas wartawan di hotel. Tahun lalu, anggaran promosi mereka berjumlah US$ 1 juta. Apa yang mereka peroleh dari promosi itu? Walaupun belum yakin dampak langsungnya terhadap penjualan rokok Marlboro, Gross menganggap promosi ini adalah cara untuk "menanamkan citra" produk mereka. Karena itu, mereka tidak punya urusan dengan hasil akhir pertandingan itu sendiri. Lain halnya dengan Yonex, yang mengeluarkan US$ 75 ribu untuk menjadi sponsor kejuaraan. Gagalnya regu Indonesia mempertahankan Piala Thomas paling tidak telah menghilangkan harapan kenaikan omset penjualan. "Kalau sudah kalah, masyarakat akan malas main bulu tangkis," kata Rudy Hartono, yang mengageni produk alat-alat olah raga itu. Selama turnamen, menurut Rudy, Yonex juga mengikat kontrak dengan PBSI senilai US$ 25 ribu agar para pemain menggunakan sepatu dan kaus berlambang merk dagang itu selama pertandingan. Sementara itu, bagi pemain sendiri ini juga kesempatan untuk mempertahankan kontrak. Kalau mereka berhasil mempertahankan atau merebut lambang supremasi dunia bulu tangkis ini, kurs kontrak mereka dengan perusahaan-perusahaan tertentu ikut melambung. Sebaliknya, kalau gagal, seperti sekarang. Bahkan, adakalanya, kegagalan atau sakit bisa berarti penghentian kontrak. Verawaty misalnya. Ia dikontrak tiga tahun oleh Yonex dengan bayaran Rp 25 juta. Tapi ketika ia tak berprestasi, perusahaan itu enggan menyelesaikan pembayaran tahap kedua. "Alasannya, karena saya sakit kuning," keluh Verawaty kepada Toriq Hadad. Untung, ada Tirto Utomo, yang menyodorkannya kontrak untuk membawa merk dagang Aqua. Memang, seperti kata Rudy Hartono, penurunan prestasi pemain dapat pula mempengaruhi kontrak. "Tidak mungkin pemain yang sakit atau cedera akan terus dikontrak karena mereka, tanpa bermain, tak ada artinya," kata Rudy. Harus diakui, Yonex memang cukup gigih memasang jaringnya di sini. Maklum, perusahaan milik Mr. Yoneyama ini bersaing ketat dengan Pro Kennex dari Taiwan untuk merebut pasar di Indonesia. Maka, ia berani memasang kurs US$ 100 ribu untuk Liem Swie King, dan nilai hampir setara untuk Icuk Sugiarto. Karena itu, Nyonya Lucia Liem Swie King bisa berkata kepada Bunga Surawidjaja, "Kami masih mengandalkan belanja rumah tangga dari bulu tangkis." Namun, tidak semua pemain punya keberuntungan seperti mereka. "Bulu tangkis tidak bisa dijadikan tumpuan hidup," kata Imelda Kurniawan, adik ipar Rudy Hartono. James R Lapian Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini