DOR. Polisi terpaksa melepas tembakan peringatan untuk menghentikan perjudian di sebuah vila di Cipayung, Jawa Barat, Rabu pekan lalu. Para penjudi yang sedang asyik main rolet, atau membanting kartu, kontan kocar-kacir. Ada yang berlari ke sawah, atau ngumpet di kamar mandi. Meski petugas hanya berjumlah belasan orang, tak satu pun dari hampir 100 penjudi - 26 di antaranya wanita - lolos. Selain peralatan judi, celurit, dan alat komunikasi HT, disita uang tunai, cek, dan koin yang total senilai Rp 17 juta. Tak terlalu banyak, memang. Tapi jumlah itu tidak dengan sendirinya menggambarkan besarnya omset perjudian. Maklum, besar taruhan bisa dicatat dengan kode-kode tertentu, yang nilainya sulit ditebak oleh orang luar. Yang jelas, sewa vilanya saja sudah Rp 300 ribu sehari. "Mereka itu penjudi kelas kakap dari Jakarta. Tengok saja mobilnya," ujar sebuah sumber di Polwil Bogor. Ia menunjuk ke deretan mobil yang ikut disita, 35 buah jumlahnya, terdiri antara lain Mercy, Honda Accord, dan Toyota Hard Top. April lalu genap lima tahun judi dinyatakan terlarang di seluruh Indonesia. Tapi adu untung ini sepertinya tak pernah mati, hidup secara gelap di sana-sini. Dan pihak polisi akhir-akhir ini rasanya gencar mengoperasi judi. Penggerebekan yang dipimpin Kapolwil Bogor, Kolonel Poerwanto Lenggono, dibantu Kapten Uka Sasmita, pekan lalu itu tergolong sukses. Inilah perjudian besar yang pernah dipergoki lima tahun terakhir di Jawa Barat. Lima tahun lalu, tepatnya 1 April 1981, pemerintah memang menyatakan judi sebagai kegiatan haram. Ketika itu, rumah-rumah judi besar di Jakarta, seperti Petak IX, Copacabana, dan Jakarta Theater, dinyatakan ditutup. Dan setelah itu, tempat judi berpindah, dan menyebar, ke tempat lain. Perjudian gelap paling besar yang pernah dipergoki barangkali yang terjadi di Cawang, Jakarta Timur, Juni tahun lalu. Dari sebuah rumah besar berpagar tinggi ketika itu terjaring 131 penjudi, 27 di antaranya wanita. Selain alat judi, disita juga uang tunai Rp 47 juta dan US$ 8.100, cek senilai Rp 124 juta, dan 2.500 koin yang nilainya hanya diketahui oleh para penjudi. Pekan lalu sebagian mereka, 70 penjudi Cawang itu, divonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Mereka masing-masing hanya dijatuhi hukuman setahun dalam masa percobaan dua tahun. Persis sama dengan tuntutan jaksa. Entah kapan tersangka yang selebihnya, selain sang bandar yang sudah divonis beberapa bulan lalu, akan diadili. Selain Jakarta, yang juga keras menindak judi adalah polisi Medan. Bahkan tahun lalu, Kapoltabes Medan, Letkol Muharsipin, menyatakan perang dengan membentuk Tim Anti Judi (TAJ). Lewat beberapa kali gebrakan, 116 penjudi bisa ditangkap. Hingga April lalu peara yang telah dibongkar berjumlah 22 kasus dengan 63 tersangka. Salah satunya Lim Hong, 37, yang digelari raja judi, yang sekarang sedang diadili di Pengadilan Negeri Medan. Ia dituduh, antara lain, menyelenggarakan judi poker dan judi buntut Toto Singapura, di sebuah rumah yang disewa Rp 40 ribu sehari. Omsetnya, menurut sumber TEMPO, mencapai Rp 500 juta seminggu. Di Semarang pun, pernah ada penggerebekan besar. Terjadi Maret 1984. Sebanyak 24 tersangka yang berasal dari Jakarta, Kudus, dan Salatiga, ditangkap, berikut uang tunai, cek, dan koin senilai Rp 91 juta. Dan di Malang, bangunan yang sehari-hari dikenal sebagai kantor PT Podojoyo dan CV Atinah Perkasa, ternyata, juga biasa digunakan berjudi. Kedua tempat itu digerebek pada Juli 1982 - setelah beberapa kali penyergapan sebelumnya selalu mental karena disebut-sebut ada orang kuat di belakangnya. Orang kuat", juga petugas keamanan yang biasa disebut herder, tampaknya memang selalu ada di setiap kegiatan perjudian. Kalau tak ada sindikatnya, seperti dikatakan Letkol Slamet Wahjoedi dari Polda Jawa Timur, tentu judi tak akan begitu sulit diberantas. Hal lain yang menyulitkan pemberantasan, para penjudi punya banyak cara menyembunyikan kegiatannya. Tempat yang digunakan umumnya berpindah-pindah, dan untuk mengetahui gerak polisi, mereka punya sistem komunikasi lewat HT. Sistem pengamanannya juga berlapis-lapis. Dan bila tertangkap, umumnya mereka sudah siap dengan sejumlah uang sogok. Bagi petugas yang tak kuat iman, iming-iming itu tentunya cukup menggiurkan. Faktor itulah agaknya yang sedikit banyak seperti dikatakan seorang perwira polisi di Jawa Tengah - menyebabkan sang bandar selalu lebih sulit kena jaring. Cara lain lagi sehingga sulit dideteksi adalah judi yang dilakukan lewat telepon - seperti terjadi di Medan. Para bandar menampung nomor dan besarnya taruhan lewat telepon - tentu dengan sandi khusus hingga sulit diketahui pihak lain. Percakapan tadi lalu direkam dalam pita kaset. Rekaman ini berfungsi sebagai bukti adanya perjanjian antara bandar dan penjudi. Lalu rekaman tersebut digunakan saat tarikan keluar. Judi, agaknya, memang tak akan bisa diberantas habis. Selain yang memang mencari penghidupan dari situ, tak sedikit yang menganggapnya sebagai hobi. "Sejak zaman Gajah Mada dulu, judi memang sulit diberantas," kata Letkol Wahjoedi dari Polda Jawa Timur itu. Yang bisa diusahakan hanyalah secara terus-menerus membabat, agar judi tak lalu berkembang secara mencolok dan terang-terangan. Dan itulah yang dilakukan polisi akhir-akhir ini. Surasono Laporan Biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini