MASIH memakai topi kumalnya, Lleyton Hewitt mengangkat tinggi-tinggi gelas kristal yang mengkilap. Kontan ribuan penonton yang memadati lapangan tenis di Shanghai, Cina, berdiri sambil bertepuk tangan. Wajah Hewitt semakin cerah berhiaskan senyuman, secerah trofi Piala Master 2002 yang baru diterimanya.
Petenis Australia ini bagaikan terbebas dari tekanan berat. Sebelumnya, pada Minggu pekan lalu itu, dia mesti menguras tenaga selama 4 jam untuk mengalahkan Juan Carlos Ferrero dari Spanyol dalam pertandingan final. Dia sempat kewalahan. Tapi, dengan keuletan dan kecerdasannya dalam mengatur irama, akhirnya Hewitt mampu meruntuhkan ambisi Ferrero.
Yang membuatnya lebih bangga, kali ini untuk kedua kalinya Hewitt bisa menjuarai Piala Master. Hadiah duit yang diterimanya pun melimpah ruah, sebanyak US$ 3,7 juta atau sekitar Rp 33 miliar. Dia juga mendapat bonus mobil Mercedes model terbaru, yang akan langsung dikirimkan ke rumahnya di Adelaide, Australia.
Gengsi kejuaraan itu pun tak diragukan lagi. Turnamen tahunan itu hanya diikuti delapan pendekar tenis berperingkat tertinggi dunia. Dan pemuda Australia berusia 21 tahun ini membuktikan dia masih yang terbaik. Saat menjadi juara Piala Master tahun lalu, Hewitt tercatat sebagai petenis termuda sepanjang sejarah yang mampu meraihnya. Dia mematahkan rekor Jimmy Connors pada 1974, yang meraihnya pada usia 22 tahun.
Sederet prestasi lain dicatatnya. Hewitt menjadi petenis kedua yang merebut gelar juara Master dua kali berturut-turut, setelah Pete Sampras mencapainya lima tahun lalu. Dia juga mempertahankan posisinya sebagai pemain nomor wahid sepanjang tahun. Sebanyak lima gelar dikoleksinya tahun ini. Satu di antaranya dalam ajang grand slam Wimbledon. Itu sebabnya petenis urakan ini bisa disejajarkan dengan tiga pemain elite, Jimmy Connors, Ivan Lendl, dan Pete Sampras, yang pernah bertahan di posisi pertama sepanjang satu tahun.
Baru empat tahun masuk ke tenis profesional, Hewitt terbilang cepat melejit dan kaya. Dia menjadi miliuner setelah 17 gelar tunggal dan 2 gelar ganda diraihnya dengan total hadiah sekitar Rp 100 miliar. Rahasianya? Tersimpan pada topi bisbolnya yang jarang dicuci. Kata dia, topi inilah yang selalu membawa keberuntungan. Tapi peran ayahnya, yang bekas pemain rugbi Australia, juga amat besar bagi kariernya. Pun dorongan ibunya, pemain netball.
Hanya, satu obsesinya belum tercapai: menjadi juara di negerinya sendiri. Tahun ini dia gagal berprestasi di Australia Terbuka karena terserang cacar air. Dia ingin membuktikannya tahun depan sekaligus menaklukkan publik di negaranya.
Kenapa? Soalnya, di Negeri Kanguru, dia bukanlah petenis yang diidolakan. Masyarakat di sana lebih menyukai Patrick Rafter. Padahal, sepanjang kariernya, Rafter hanya tiga pekan menempati peringkat satu dunia. Itu pun terjadi tiga tahun lalu. Seorang kolumnis surat kabar di Australia menyebut Hewitt sebagai aib bagi Australia. Bahkan, tahun lalu, majalah olahraga Australia memberinya cap olahragawan paling dibenci.
Semua itu gara-gara Hewitt sendiri yang banyak tingkah. Tiga tahun lalu, saat bertanding di Australia melawan petenis bukan unggulan, dia berkali-kali memprotes penjaga garis. Padahal dia sudah unggul. Akibatnya, penonton kurang bersimpati kepadanya dan berbalik mendukung lawannya. Saat itulah Hewitt berteriak, "Beginilah kebodohan publik Australia." Teriakan ini langsung disambut cemoohan penonton.
Celakanya, dia juga tidak disukai petenis lain. Saat bertanding di Prancis Terbuka tiga tahun lalu, Hewitt menghina pemain Argentina, Martin Rodriguez, dengan sebutan kotor. Dia juga pernah meledek penonton Wimbledon. Kata si Topi Kumal, penonton Wimbledon seperti berada di kamar mayat. Karena itu, Brad Gilbert, bekas pelatih Andre Agassi, berkomentar sinis, "Saya heran jika ada orang yang tidak menonjoknya saat di ruang ganti."
Petenis Rusia, Yevgeny Kafelnikov, pernah pula dipermainkan olehnya. Dua tahun lalu, saat bertanding di sebuah turnamen di Eropa, Kafelnikov sesumbar hendak menghabisi Hewitt. Ketika bertemu dalam pertandingan, si Topi Kumal membalasnya lebih sadis. Sepanjang pertandingan, dia terus berteriak "Saya tidak bakal kalah!" Teriakan itu membuat permainan Kafelnikov kacau. Hewitt pun akhirnya menang tiga set langsung. Seusai pertandingan, dia mengejek Kafelnikov dengan mengulurkan uang. "Tempelkan (uang) ini untuk menutup mulut," katanya.
Terang-terangan Hewitt mengaku menyukai gaya John McEnroe yang urakan. Dulu petenis ini juga berteriak-teriak saat bertanding, mengumpat semua orang. "Mungkin saya punya banyak kesamaan dengannya," katanya. Tapi, karena sikapnya yang semaunya, tahun lalu pers dunia memboikotnya. Sebab, Hewitt sering menolak diwawancarai atau tak mau memberikan pernyataan pers seusai bertanding.
Di balik perangainya yang buruk, tersimpan kemampuan Hewitt yang luar biasa. Menurut Boris Becker, mantan petenis dari Jerman, dia punya kelebihan dalam mengatur irama pertandingan. "Petenis biasanya lebih banyak bermain dengan insting. Tapi dia banyak menghabiskan waktu di lapangan untuk berpikir dan mengatur permainan," katanya.
Bahkan Becker menyetarakan Hewitt dengan Bjorn Borg, petenis Swedia pada 1970-an. Di masa jayanya, Borg meraih gelar juara Wimbledon dan Amerika Serikat Terbuka masing-masing lima kali. John McEnroe pun mengaguminya. Selama ini, dia yakin tidak ada petenis yang punya gerakan secepat Bjorn Borg. "Tapi, setelah melihat Hewitt, saya mulai ragu," katanya.
Karena masih amat muda, bukan tidak mungkin Hewitt bisa melampaui prestasi Bjorn Borg. Dan siapa tahu pula, makin lama, dia makin matang, tidak terlalu urakan lagi.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini