Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Seribu Televisi Lahir di Daerah

Masyarakat di luar Jakarta bersiap-siap kehilangan tayangan dari stasiun televisi swasta. Tapi televisi lokal bakal menjamur.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemilik televisi swasta di Jakarta, bersiap-siaplah menebang menara transmisi di daerah-daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran, yang disahkan Senin ini, hanya memberi waktu lima tahun bagi televisi swasta nasional untuk tetap kukuh terpancang di kota-kota di luar Jakarta. Kecuali jika mereka berjodoh sebagai mitra dengan televisi lokal. Revolusi besar dalam tatanan pertelevisian Indonesia ini jelas tertuang di Pasal 60 Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, yang Kamis 21 November lalu diteken Menteri Negara Informasi dan Komunikasi, Syamsul Mua'rif, dan Ketua Panitia Khusus RUU Penyiaran DPR, Paulus Widiyanto. Terdiri atas 64 pasal, undang-undang ini kelak hanya mengenal adanya televisi swasta lokal. Sedangkan televisi yang melakukan siaran nasional hanya TVRI, yang nantinya menjadi lembaga penyiaran publik. Di luar itu, ada lembaga penyiaran komunitas dan berlangganan. Sepuluh stasiun televisi swasta yang ada sekarang di Jakarta diberi batas waktu tiga tahun untuk bermitra dengan televisi lokal. Jika belum terwujud, toleransi diberikan selama dua tahun. "Jika belum bisa juga, ya, stasiun transmisinya harus dirobohkan," kata Djoko Soesilo, anggota Panitia Khusus RUU Penyiaran DPR. Begitu palu diketok selepas magrib Kamis lalu itu, Dwi Roosdyanto, juru bicara TPI, melangkah gontai keluar ruang sidang Pansus di gedung utama DPR Senayan. Ia sungguh tidak yakin kuku TPI akan tetap menancap lewat 20 stasiun transmisinya di kota-kota luar Jakarta. Begitu juga sembilan televisi swasta lainnya. Untuk tetap menjangkau Kota Surabaya, misalnya, sepuluh stasiun televisi swasta ini harus bekerja sama dengan televisi lokal. "Apa iya di Surabaya akan ada sepuluh TV lokal?" kata Dwi, sangsi. Ia meramalkan, lima tahun mendatang masyarakat Surabaya harus rela kehilangan tayangan favorit di televisi yang salurannya terpangkas karena tak punya mitra lokal. Apalagi, menurut Paulus Widiyanto, Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR, rentang frekuensi untuk televisi hanya ada delapan: tujuh untuk didistribusikan, dan satu frekuensi dipersiapkan untuk program digitalisasi di masa depan. "Di Amerika saja hanya ada empat televisi nasional di antara 1.200 televisi lokal," kata Paulus. Sementara televisi swasta di Jakarta berkabung, pengelola stasiun televisi lokal justru bersorak. "Selama ini semua ditarik dan dieksploitasi Jakarta. Semua digerojok oleh tayangan-tayangan televisi di Jakarta," kata Imawan Mashuri, Direktur JTV Surabaya. Ini membuat masyarakat Aceh, yang menerapkan syariat Islam, misalnya, tidak bisa menolak tayangan Baywatch, film tentang penjaga pantai yang berbusana minim, di sebuah stasiun televisi. Atau, acara Ketoprak Humor, sandiwara yang sarat bahasa Jawa, tidak bisa lagi "menjajah" pemirsanya di Papua, Kalimantan, atau Sumatera. Dan kini JTV, yang bernaung di bawah grup Jawa Pos, telah maju selangkah dengan menggandeng Metro TV, televisi berita Jakarta milik Surya Paloh. Sebuah menara pemancar di kawasan Sambisari, Surabaya, dibangun kedua stasiun ini. Di luar JTV juga telah berdiri sederet stasiun televisi lokal. Mereka bergabung dalam Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATLI). Sebagai pionir adalah JTV Surabaya, Bali TV, Riau TV di Pekanbaru, Lombok TV, EMU TV di Maluku Utara, dan Papua TV. Setelah itu, menyusul Borobudur TV di Semarang, Sri Gemilang TV di Indragiri Hilir, Bengkalis TV, Deli TV, Siantar TV, Makassar TV, Cahaya TV di Tangerang, Kawanua TV, dan Manado TV. "Televisi-televisi lokal ini adalah simbol pemberontakan orang daerah terhadap dominasi televisi di Jakarta," kata Hinca Panjaitan, Direktur Eksekutif ATLI. Hinca meramalkan, pada tahun 2010 akan ada sekitar seribu televisi lokal di Indonesia. Dengan begitu, kata Djoko Soesilo, "Kalau mau jadi penari latar dangdut, ya, orang Surabaya atau Palembang tidak harus ke Jakarta. Tampil saja di televisi lokal yang punya jaringan ke televisi swasta di Jakarta." Tentu saja, jika menara pemancar televisi Jakarta mau dikawinkan dengan menara TV lokal. Tomi Lebang, Fajar W.H. (Jakarta), dan Adi Sutarwijono (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum