NAMA dan sketsa kondang itu akhirnya bersosok jua. Abdul Aziz alias Imam Samudra alias Kudama—dan entah berapa alias lainnya—tak lagi cuma deretan huruf dan guratan wajah yang menghias media massa. Lelaki berusia 32 tahun yang dituduh sebagai pemimpin pengebom Bali dan terlibat dalam serangkaian pengeboman lainnya itu ditampilkan polisi ke hadapan para wartawan, Jumat pekan lalu. Kendati ia cuma dipertontonkan dua menit dan tanpa acara tanya-jawab, para kuli tinta terkesan dapat diyakinkan bahwa polisi memang telah berhasil menangkap buruan yang sudah dicari sejak Agustus tahun lalu itu. Apalagi setelah Lulu Jamaludin, yang telah dikenal sebagai adik tersangka, memastikan bahwa yang berada di hadapannya adalah benar abangnya.
Setelah itu, pengakuan Abdul Aziz kepada polisi semakin meyakinkan khalayak bahwa tangan-tangan hukum telah menjerat para pelaku pengeboman Bali. Mereka ternyata teroris lokal, bukan warga asing seperti yang diperkirakan banyak pihak selama ini. Namun, kendati produksi dalam negeri, buah kerja mereka sudah berskala global. Barangkali ini mencerminkan pengalaman hidup para teroris itu, yang dikabarkan berpengalaman tempur di medan laga internasional, terutama dalam melawan pasukan Uni Soviet di Afganistan.
Pengalaman tempur tersebut telah membuat kecanggihan mereka dalam meracik bom dan merencanakan penyerangan terkesan profesional. Namun kebiasaan bergerilya di kawasan pedalaman rupanya tak mengajari mereka bersembunyi di antara masyarakat kota. Ini suatu berkah bagi pihak kepolisian, yang menyusuri jejak kecerobohan para teroris itu dengan merekonstruksi reruntuhan mobil pembawa bom, mengais ingatan para saksi mata yang sempat melihat kawanan jahat itu beroperasi, dan melacak serta menyadap komunikasi telepon seluler yang digunakan.
Kerja keras para penyelidik yang sangat melelahkan itu akhirnya membuahkan hasil. Mulanya dari nomor rangka mobil yang tak begitu jelas, lalu nomor kir yang memudahkan pengecekan silang, dan akhirnya bermuara pada nama pemilik mobil yang sempat berganti enam kali. Setelah itu, Amrozi tertangkap, mengaku, dan tiba-tiba polisi kebanjiran informasi.yang sebelumnya begitu sulit dicari.
Pengakuan Abdul Aziz memang tak sederas Amrozi, tapi ada kemiripan yang mengerikan di antara keduanya—bahkan juga dengan pelaku lain yang ditangkap. Mereka sama sekali tak menyesal telah melakukan pengeboman yang menewaskan hampir 200 orang dan melukai ratusan lainnya itu. Bahkan kesediaan Iqbal untuk meledakkan bom bunuh diri di Paddy's Café—jika penuturan Abdul Aziz dan Amrozi mengenai hal ini bisa dipercaya—menunjukkan sebuah gejala baru di negeri ini. Sebab, kecuali tebersit dalam legenda Mohammad Toha di Bandung—yang kebenarannya sulit diverifikasi itu—Indonesia tak mengenal tradisi berjibaku. Agama yang dianut mayoritas penduduknya mengharamkan tindakan bunuh diri.
Yang lebih menyedihkan adalah tujuan dari pengeboman bunuh diri tersebut. Sebab, yang diledakkan bukanlah benteng musuh yang bersenjata—seperti dalam cerita Mohammad Toha—melainkan kafe tempat wisatawan asing bersukacita dan para karyawan lokal mencari nafkah. Lantas, dengan dingin, mereka mengatakan semua itu demi "jihad". Ini jelas merupakan tamparan bagi panglima jihad kebanggaan umat Islam, Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Pahlawan yang menang dalam Perang Salib ini dihormati tak hanya oleh pihak kawan, tapi juga oleh lawan, karena peradabannya yang tinggi. Ia dikenal menerapkan disiplin tinggi pada pasukannya. Jangankan kaum wanita dan anak-anak, ternak milik musuh pun tak boleh diganggu gugat. Bahkan tentara pihak lawan yang telah meletakkan senjata dibiarkan bebas dari tawanan.
Keharuman peradaban Islam seperti inilah yang kini dicabik-cabik oleh para pengebom Bali dan kelompok teroris lain yang mengatasnamakan Islam. Karena itu, menjadi kewajiban—bahkan jihad—pemeluk Islam yang mayoritas, yang memahami agamanya sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh sekalian alam), untuk melawan para teroris ini. Tentu saja bukan dengan cara teror yang sama, melainkan dengan meniru apa yang dilakukan Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Prioritas utama adalah menyadarkan musuh agar kembali ke jalan yang benar, tapi yang memilih jalan kekerasan jelas harus dihadapi dengan hukum peradaban yang berlaku.
Bila ini dilakukan, ramalan almarhum Doktor Fazzlur Rahman akan menjadi kenyataan. Guru besar Universitas Chicago ini menyatakan bahwa Indonesia adalah lahan yang subur bagi cikal-bakal lahirnya pencerahan Islam modern.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini