Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berkah Si Tukang Intip

Gagal menjadi pemain sepak bola malah sukses di pinggir lapangan. Villas-Boas menjadi pelatih yang paling bersinar tahun ini.

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM ini waktu berjalan lebih cepat di Liga Portugal. Awal April lalu, di sana sudah tak ada lagi persaingan. FC Porto menyelesaikan kompetisi dengan catatan fantastis. Porto menjadi juara yang tak pernah kalah. Rapor jelek didapat ketika dua kali bermain draw. Selebihnya, semua lawan disikat habis. Magnifico!

Pesta perayaan ditutup akhir pekan lalu, saat Porto bertanding melawan Maritimo. Luís André de Pina Cabral e Villas-Boas, sang manajer, mewanti-wanti agar para pemainnya tidak berleha-leha dengan gelar juara karena pertandingan penting lain sudah di depan mata.

Pertandingan final Rabu pekan ini di Dublin, Irlandia, amatlah penting. Bagi Dragons, julukan Porto, gelar juara Liga Europa itu akan menggenapkan prestasi gemilangnya. Villas-Boas, sang manajer, jauh lebih ambisius. Bila Porto berhasil menjadi juara, namanya dicatat sebagai pematah rekor Pep Guardiola sebagai pelatih termuda yang memenangi kompetisi antarklub Eropa.

Villas-Boas memang istimewa. Di usia terhitung belia, 34 tahun, ia telah menempatkan namanya sebagai pelatih paling bersinar tahun ini. Figurnya tiba-tiba menjadi perbincangan di mana-mana dan dikaitkan dengan klub-klub besar Eropa.

Sebenarnya pelatih muda belia bukanlah Villas-Boas seorang. Saat menangani Fulham, pada 2003, Chris Coleman baru saja berusia 33 tahun. Pengalamannya sebagai pemain belakang merupakan modal menjadi pelatih. Meski cukup bagus di awal, belakangan dia terdepak dari manajemen tim.

Di Jerman saat ini ada Thomas Tuchel, yang menangani klub Mainz. Tuchel, yang baru berusia 37 tahun, langsung mencuri perhatian. Mainz, yang baru masuk liga utama dua musim lalu, kini punya kesempatan bermain di Liga Europa. Ini sesuatu yang istimewa mengingat klub itu hanya punya bujet pas-pasan.

Orang pun melihat figur Tuchel. Setelah karier sebagai pemain hancur pada usia 24 tahun, dia kembali ke kampus sambil melatih klub amatir di sana. Lama-lama, tidak hanya kemampuan melatihnya terasah, dia pun bisa membaca talenta dengan lihai.

Nama lain, tentu saja: Pep Guardiola. Bekas pemain Barcelona ini langsung bersinar pada usianya yang baru 37 tahun saat memegang ”almamater” nya. Berbagai gelar menghampiri klubnya.

Mereka yang tak pernah bermain bola pun ternyata tak kalah. Ada si fenomenal Jose Mourinho—yang belajar banyak pada Bobby Robson, pelatih legendaris Inggris yang kini sudah almarhum. Saat Robson melatih Sporting Lisbon, Mou menjadi penerjemahnya.

Saat menangani Benfica, praktis Mourinho tidak memiliki pengalaman mengelola klub sebagai pelatih kepala. Namun, siapa nyana, kariernya malah moncer. Dia kemudian berlabuh ke Porto, membawa klub ini menjadi juara Liga Champions, lalu berturut-turut menangani klub besar: Chelsea, Inter Milan, dan Real Madrid.

Sepak bola modern memberikan segalanya. Metode dan pola pelatihan di masa-masa awal menghasilkan pemain sepak bola yang matang. Tidak saja soal teknik, tapi juga sikap dalam bermain. Hal ini kemudian dimatangkan dengan berubahnya kompetisi sepak bola di Eropa, yang sejak 1990-an lebih riuh dan bergelimang hadiah besar.

Nah, ketika semua telah matang, orang-orang cerdik yang memilih langkah lain, yakni menjadi manajer atau pemandu bakat, mendapatkan jalan yang lapang.

Sepak bola di Eropa layaknya sebuah permainan catur. Dengan materi luar biasa lengkap, semuanya tinggal bergantung pada taktik dan strategi orang di belakang layar. Dan di situlah letak kemahiran Villas-Boas. Dia dinilai sebagai orang yang pandai merancang taktik dan strategi untuk memenangi pertandingan.

Tapi menjadi pelatih sebenarnya bukanlah pilihan pertamanya. ”Saya ingin bermain di tingkat yang paling tinggi, tapi saya sadar saya tidak cukup bagus menjadi pemain gelandang.” Mimpi itu ditanggalkan dan dia memilih menjadi pelatih. ”Mimpi saya adalah segera memegang sebuah klub sendiri,” katanya.

Berlebihan, tentu saja. Belum bisa apa-apa, sudah berharap muluk. Beruntung, dia bertemu dengan Bobby Robson, yang tinggal satu blok dengannya. Saat Robson melatih Porto, Villas-Boas menemuinya untuk berguru banyak. Dia tak segan menemui Robson di apartemennya. Robson begitu terkesan oleh gairah anak muda itu.

Robson pula yang membukakan jalan Villas-Boas. Bagaimanapun, untuk menjadi pelatih, dia harus menempuh jalan yang benar. Artinya, dia harus mengumpulkan berbagai sertifikat agar bisa melatih sebuah klub. Saat itu Robson menyuruhnya mulai menggarap Lilleshall, klub di Inggris.

Namun usianya masih teramat belia: sweet seventeen. Robson pula yang membujuk Charles Hughes, bos di sana, agar memuluskan langkah Villas-Boas. Berhasil, Villas-Boas muda dapat mengikuti kursus di sana. Sertifikat kepelatihan awal dia dapatkan di sana.

Berbekal lisensi kepelatihan itu pula dia ketiban rezeki menangani British Virgin Islands, negara di kawasan Karibia, pada 2000. Tugasnya lumayan berat. Dia dipercaya membawa negeri itu ke Piala Dunia 2002. Tentu saja gagal. ”Bermuda menghujani kami dengan banyak gol,” katanya.

Itu kekalahan yang memukul dia. ”Maklum, saya baru berusia 21 tahun. Teramat berat,” kata Villas-Boas lagi. Sebenarnya dia merahasiakan usianya yang masih muda. Maksudnya agar pemain tetap menaruh respek padanya. ”Tapi akhirnya saya ceritakan soal usia saya yang sebenarnya saat saya mundur dari posisi itu. Tentu saja mereka kaget,” ujarnya sambil tersenyum.

Pengalaman selama 18 bulan itulah yang dibawanya saat kembali ke Porto untuk mengurus Porto U-19. Setahun kemudian, dia ditunjuk Mourinho menjadi asistennya. ”Mou tahu tentang saya atas rekomendasi Bobby Robson,” katanya.

Saat Mou pergi ke Chelsea, Villas-Boas pun dibawa serta. Tugasnya unik: mengawasi musuh-musuh Chelsea. Di sana Mou menyuruhnya membuat divisi khusus, yakni opponent observation department. Tugas lainnya adalah pemandu bakat.

Dia mengintip seluruh pertandingan lawan-lawan Chelsea. Dia merekam semua pemain lawan saat bertanding. Seluruh data yang dia dapat dikumpulkan, dianalisis, lalu dipresentasikan kepada Mou, si bos. Begitu lengkapnya, sampai-sampai mengejutkan pemain Chelsea.

Pengalaman nyantrik pada Mourinho, bagaimanapun, telah memberikan pelajaran yang teramat besar: selain berkah dari mengintip pemain dan strategi yang ditularkan, juga soal sikap bekas bosnya. ”Karakter dan kepribadian kami berbeda. Kami bekerja dan berkomunikasi dengan pemain dengan cara masing-masing,” katanya.

Tentu bukan asal beda. Villas-Boas tak ingin mengulangi Mou, yang sering termakan dengan mulut besarnya sendiri. Dia ingin menjadi pria rendah hati.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus