Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KELUAR dari kamar nomor 22 poliklinik nefrologi anakcabang medis yang mempelajari fungsi dan penyakit ginjalRumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Nyonya Asti menyunggingkan senyum. Kelegaan tampak benar di wajah pedagang mainan anak itu. Tangannya langsung menggandeng Guntur Fabriana, anak sulungnya, untuk menebus obat di apotek yang jaraknya hanya beberapa langkah dari poliklinik.
”Alhamdulillah, tensi Guntur mulai normal, 120/80 mmHg,” kata Asti, warga Kertamukti, Karawang, Jawa Barat, kepada Tempo setelah mendampingi pemeriksaan anaknya, Selasa pekan lalu. Perempuan 28 tahun itu pantas bersyukur. Sebab, sepekan sebelumnya, tensi anaknya yang baru berusia sembilan tahun itu mencapai 140/90 mmHg. Artinya, Guntur menderita hipertensi berat untuk anak seusianya.
Tekanan darah sistolik (saat jantung memompa darah) normal pada anak berusia 6-9 tahun berada pada 114-121 mmHg, dengan diastoliksaat jantung istirahat pada 74-77 mmHg. ”Dulu, saat Guntur dirawat di sini, tekanan darahnya sempat mencapai 190,” ujar Asti. Penyebabnya adalah kondisi ginjal Guntur yang bermasalah. ”Sejak dia berusia dua tahun, ketahuan kalau ginjalnya bermasalah.”
Hipertensi lantaran kelainan ginjal juga dialami Saina Zakia. Pada pemeriksaan sebelumnya, tensi bocah dua setengah tahun itu sangat tinggi, yakni 160/80 mmHg. Tekanan darah normal untuk anak seusia Zakia adalah 104-111 mmHg/70-73 mmHg. ”Zakia harus kontrol dua kali sepekan ke sini,” kata Yati, ibu Zakia, warga Semplak, Bogor.
Guntur dan Zakia adalah dua di antara puluhan anak dengan ginjal bermasalah dan mengidap hipertensi yang datang ke poliklinik nefrologi RSCM. Hari itu, Guntur mendapat giliran pemeriksaan nomor 17, sedangkan Zakia ke-22. Selain itu, masih banyak anak yang antre menunggu giliran diperiksa. ”Dalam beberapa tahun terakhir, kasus hipertensi pada anak memang cenderung meningkat,” kata Partini P. Trihono, dokter spesialis ginjal anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM.
Hipertensi pada anakdi bawah 18 tahunmemang makin menjadi keprihatinan banyak kalangan. Masalah itu dibahas dalam simposium ”Common Problems in Nephrology” di FKUI-RSCM, awal bulan ini. Pada Hari Hipertensi Dunia, 17 Mei ini, gejala meningkatnya jumlah anak dengan tekanan darah tinggi juga menjadi pokok perhatian.
Menjadi perhatian, karena angka kejadiannya makin tinggi. Pada penelitian di Tanah Air 1971-1994, prevalensi hipertensi anak berkisar pada 2,5-4,6 persen. Lalu, menurut data 2007 hasil Riset Kesehatan Dasar di Indonesia, prevalensinya sudah mencapai 9 persen. Kini angka terbaru secara nasional memang belum dilansir. Namun, menurut penelitian dalam skala kecil, angka kejadian hipertensi pada anak memang terus meroket.
Penelitian tugas akhir Harini Diestiana, mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2009 mengukuhkan hal itu. Ia meneliti 50 anak di Sekolah Dasar Islam Terpadu Assalamah, Ungaran, dan menguji hubungan asupan natrium dengan munculnya hipertensi. Hasilnya, prevalensi hipertensi di kalangan anak-anak itu ditemukan sebesar 18 persen.
Profesor Rully M.A. Roesli, Ketua Indonesian Society of Hypertension, mewanti-wanti bahwa hipertensi adalah pembunuh kedua (12,3 persen) penyakit tidak menular, setelah stroke (26,9 persen). Hipertensi juga dikenal sebagai silent killer karena umumnya tanpa gejala (asimtomatis). Sebagian besar orang tak merasakan apa pun walau tekanan darahnya sudah jauh di atas normal. Hal ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun, sampai akhirnya kondisi penderita parah. ”Terkena penyakit jantung, stroke, atau rusak ginjal,” kata Rully.
Menurut dokter Partini, hipertensi pada anak dibagi menjadi dua kategori. Hipertensi primer terjadi bila penyebabnya tak diketahui, biasanya berhubungan dengan faktor keturunan, asupan garam, stres, dan kegemukan. Sedangkan hipertensi sekunder terjadi akibat adanya penyakit lain yang mendasarinya, seperti dialami Guntur dan Zakia. Penelitian selama ini menunjukkan hipertensi pada anak 80 persen bersifat sekunder.
Banyaknya anak yang mengalami kelainan ginjal dan berbuntut munculnya hipertensi, menurut Profesor Suhardjono dari Divisi Ginjal-Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM, bisa jadi lantaran si ibu waktu hamil mengidap asam urat tinggi. Hubungan antara asam uratsebagai akibat pola makan tidak sehat si ibudan kelainan ginjal menjadi topik hangat dalam pertemuan internasional di Vancouver, Kanada, yang diikuti Suhardjono belum lama ini.
”Pada ibu hamil dengan asam urat tinggi, asam urat tersebut bisa masuk ke bayi dan membuat perkembangan ginjal si bayi terganggu,” katanya. Lantaran fungsi ginjalnya tidak sempurna, muncullah darah tinggi pada si anak. Bila hal ini tak ditangani dengan baik, dampak lanjutannya bisa berupa gagal ginjal, stroke, penyakit jantung koroner, retinopati (kelainan pembuluh darah retina yang berakibat kebutaan), dan penyakit vaskuler perifer pada kaki.
Sedangkan melonjaknya hipertensi primer, menurut Partini, berkaitan erat dengan obesitas pada anak. Itu terjadi karena gizi berlebih tapi kurang aktivitas fisik. ”Asupan makanan bernatrium tinggi, seperti produk-produk junk food dan snack, juga memicu hipertensi,” kata dokter Ganesja Harimurti, guru besar tetap FKUI-RS Jantung Harapan Kita di bidang kardiologi pediatrik.
Agar jumlah anak yang menderita hipertensi tak terus menggelembung, Ganesja meminta pemerintah mengeluarkan aturan tentang kadar natrium yang diizinkan dalam berbagai makanan olahan, termasuk kudapan. ”Di Malaysia, aturan seperti ini sudah diberlakukan,” ujarnya. ”Di sini, tak ada aturan seperti itu. Pemerintah terkesan cuek.”
Mengurangi asupan garam merupakan salah satu cara yang diberikan dokter kepada para pengidap prahipertensi dan hipertensi. Tujuannya agar tekanan darah terkendali. Selain itu, mereka yang mengalami obesitas harus bertekad kuat menurunkan berat badan. Selain mengkonsumsi makanan sehat, seperti buah, sayur, dan air putih, mereka harus banyak beraktivitas, termasuk berolahraga setidaknya 30 menit sehari.
Adapun bagi pengidap hipertensi yang menyertai kelainan organ ginjal, seperti Guntur dan Zakia, selain diet makanan, mau tak mau, terapi obat harus diberikan. Guntur, misalnya, saban hari harus minum captopril dan angioten (keduanya obat antihipertensi). Soal makan, misalnya, kata Asti, Guntur tak boleh mengkonsumsi yang asin-asin. ”Kalau dia protes, baru saya kasih sedikit garam,” ujarnya. Dengan diet makanan dan obat itu, Asti berharap kondisi Guntur tetap stabil, tak memburuk.
Dwi Wiyana
Silent killer
Hipertensi pada anak--di bawah 18 tahun--memang makin menjadi keprihatinan banyak kalangan. Penelitian tugas akhir Harini Diestiana, mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2009 mengukuhkan hal itu. Ia meneliti 50 anak di Sekolah Dasar Islam Terpadu Assalamah, Ungaran, dan menguji hubungan asupan natrium dengan munculnya hipertensi. Hasilnya, prevalensi hipertensi di kalangan anak-anak itu ditemukan sebesar 18 persen.
Bila hal ini tak ditangani dengan baik, dampak lanjutannya bisa berupa:
- Stroke (kematian jaringan otak/infark serebral karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak)
- Penyakit jantung koroner (terjadi penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh nadi koroner sehingga suplai darah terganggu)
- Gagal ginjal (ginjal mengalami penurunan fungsi, bahkan tidak mampu bekerja sama sekali)
- Penyakit vaskuler perifer (suplai darah ke kaki berkurang karena arteri menyempit, timbul rasa nyeri)
”Hipertensi adalah pembunuh kedua (12,3 persen) penyakit tidak menular, setelah stroke (26,9 persen). Hipertensi juga dikenal sebagai silent killer karena umumnya tanpa gejala (asimtomatis). Sebagian besar orang tak merasakan apa pun walau tekanan darahnya sudah jauh di atas normal.”
Profesor Rully M.A. Roesli, Ketua Indonesian Society of Hypertension
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo