Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Mengaji Kaji

16 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zen Hae
Penyair

SEKARANG ini kata kerja ”mengkaji” dan ”mengaji” diperlakukan sebagai dua bentukan yang berbeda maknanya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga, 2001) mendaftar makna bentukan pertama adalah ”mempelajari, memeriksa, menyelidiki, memikirkan, menguji, menelaah”, sementara yang kedua berarti ”mendaras Al-Quran, belajar membaca tulisan Arab, belajar atau mempelajari”. Kamus Dewan (edisi ketiga, 2002) juga membedakan makna dua bentukan itu dengan makna yang lebih-kurang sama. Dalam bahasa Indonesia ”mengkaji” kemudian menurunkan kata benda ”pengkajian”, sementara ”mengaji” menurunkan kata benda ”pengajian”, dengan makna yang juga lebih-kurang sama.

Lantas, kata dasar apa yang menurunkan turunan-turunan itu? Kamus Besar, sebagaimana Kamus Dewan, jelas mendaftar kata ”kaji”. Itulah kata Melayu yang bermakna ganda: ”pelajaran” (agama) dan ”penyelidikan” (tentang sesuatu). Sementara W.J.S. Poerwadarminta dalam Logat Kecil Bahasa Indonesia (cetakan ke-8, 1980) mendaftar bukan hanya ”kaji”, tetapi juga ”aji”. Poerwadarminta menjelaskan makna ”kaji” sebagaimana yang kemudian diserap oleh Kamus Besar, tetapi ia tidak menjelaskan makna ”aji”, sebab lema itu langsung beralih kepada turunan ”mengaji”. Kata ”aji” sendiri diserap dari bahasa Kawi dan hidup dalam bahasa Jawa hingga hari ini. Salah satu maknanya adalah ”kesaktian”.

Yang menarik, Poerwadarminta mendaftar ”mengaji”, bukan ”mengkaji”, dengan tiga pengertian: ”belajar”, ”memeriksai (memikirkan, mempelajari) dengan sungguh-sungguh”, dan ”membaca Kuran”. Dengan begitu, makna bentukan ini ilmiah-sekuler sekaligus religius. Bagi saya, paparan Poerwadarminta jauh lebih masuk akal dan menarik ketimbang Kamus Besar dan Kamus Dewan. Pertama, ia konsisten. Dengan sendirinya konsonan k (sebagaimana konsonan p, s, dan t ) luluh dalam proses penyengauan (nasalisasi), sesuai dengan hukum pembentukan kata kerja dan kata benda dari kata dasar yang berawal konsonan-konsonan tersebut termasuk juga kata dasar yang diserap dari bahasa asing, seperti dalam ”mengonsumsi” dan ”mengomunikasikan”. Kedua, ia taksa. Bukan hanya kata dasarnya, tetapi juga turunannya. Dengan ketaksaan dan polisemi ”mengaji” dan ”pengajian” mengembalikan kekuatan dan kekayaan bahasa itu sendiri.

Berbeda dengan Poerwadarminta, penyusun Kamus Dewan dan Kamus Besar mengajukan bentukan ”mengkaji” dan ”pengkajian” sebagai semacam penegasan akan makna ilmiah-sekuler yang berbeda dengan makna religius. Ia sebuah makna khusus yang (di)muncul(kan) kemudian, ketika dirasa bentukan lama tidak bisa lagi melahirkan makna khusus yang cocok dengan perkembangan zaman atau makna yang ada terserap sepenuhnya oleh golongan tertentu. Akan tetapi, upaya ini menabrak sendiri hukum pembentukan kata kerja dan kata benda yang selama ini menjadi pegangan. Bahkan, cenderung mengada-ada.

Pada dekade 1950 hingga 1960 kaum intelektual, esais terutama, tidak menggunakan kata ”mengkaji” dan ”pengkajian” untuk menggambarkan tindakan mempelajari sesuatu secara cermat, tetapi kata ”studi” yang diturunkan dari bahasa Belanda kini ”cultural studies” diterjemahkan sebagai ”kajian budaya”. Kata yang berdekatan maknanya dengan itu dan kerap dipakai adalah ”menelaah”, ”mempelajari”, ”meneliti” dan ”menyelidiki”. Malah, Mh. Rustandi Kartakusuma menggunakan kata ”mengulik”, yang diserap dari bahasa Sunda.

Penggunakan kata ”mengkaji” dan ”pengkajian” tampaknya baru mulai pada era Orde Baru. Satu masa yang menandai dirinya dengan pemisahan yang nyata antara yang religius dan yang ilmiah sekuler. Ketika yang kedua tampak sebagai bagian dari modernitas, sementara yang pertama membelokkannya ke surga. Pada 1978, misalnya, berdiri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang diketuai oleh B.J. Habibie. Dari namanya, setidaknya, lembaga pengajian ini mau membedakan dirinya dengan kegiatan serupa yang berbau agama, seperti pengajian Habib Aly Alhabsy di Kwitang, Jakarta Pusat. Tapi kini lembaga pengajian bikinan pemerintah itu seperti tenggelam dalam suara keras pelantam pengajian Majlis Rasulullah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus