Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJALANAN Agustinus Wibowo menembus Afganistan membawanya ke tepian Sungai Amu Darya di ujung utara negeri itu. Menunggang keledai di jalan berbatu dan terjal, ia melihat di seberang sungai berseliweran mobil di atas jalan beraspal.
Pemandangan itu membuat Agus penasaran dengan kehidupan di negara-negara pecahan Uni Soviet yang berada di seberang sungai. Agus, yang menetap di Beijing, sebenarnya bisa dengan mudah naik pesawat dari Cina. Tapi ia memilih jalan darat dari Afganistan masuk ke Tajikistan. ”Jalan darat itu makan waktu lebih lama,” ujar pria berusia 28 tahun ini. ”Semakin lama perjalanan, semakin banyak yang bisa saya pelajari.”
Dimulai pada 2006, Agus satu tahun lamanya berkeliling Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Hitungannya, ia menghabiskan uang US$ 400 per bulan. ”Itu relatif lebih murah daripada ke Eropa,” ujarnya.
Kisah perjalanan di negara-negara berakhiran ”stan” begitu ia menyebutnya—dibukukan dengan judul Garis Batas. Ahad dua pekan lalu, buku itu jadi bahan diskusi Komunitas Backpacker Dunia di Kafe Pondok Penus, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selama lima jam nonstop, Agus menceritakan perjalanannya kepada para ”petualang ransel” Tanah Air. Diselingi penayangan foto dan film pendek, Agus diberondong pertanyaan seputar cara memasuki negara-negara itu.
”Agus menginspirasi agar travelling itu tidak sekadar lewat tapi dekat sama masyarakatnya dan belajar bahasanya,” kata Muhammad Fadli, 27 tahun. Setelah mengikuti bedah buku itu, fotografer yang sudah pernah menjelajahi India dan Nepal ini berniat mengikuti jejak Agus di negara-negara ”stan” yang terletak di Asia Tengah itu.
Nah, mengapa Agus jatuh cinta pada negara-negara ”terbelakang” di kawasan Asia Tengah?
Selalu ada kebetulan dalam setiap perjalanan. Kisah Agus bermula dari petualangan pada 2003 di sela-sela liburan kuliah ilmu komputernya di Cina. Ia memilih Mongolia sebagai destinasinya. Hari pertama perjalanan ia hampir saja dirampok di kereta. Malam harinya ia dicegat begal di jalan. Tapi Agus tak lantas kapok. ”Perjalanan kalau datar-datar saja juga kurang berkesan,” ujarnya.
Karena itu ia tak gentar ketika mendengar cerita tentang ”terorisme vodka” alias kejahatan yang dilakukan orang-orang yang mabuk vodka di negara-negara pecahan Uni Soviet. Ia pun masuk ke Afganistan tatkala negara itu tengah dilanda perang antara milisi Taliban dan tentara Amerika Serikat beserta sekutunya.
Agus berpendapat, perjalanan ke Asia Tengah tidak cocok buat mereka yang mencari kenyamanan dan kemudahan. Perjalanan dari kota ke kota kadang harus ditempuh berjalan kaki atau menunggu berhari-hari sampai ada truk yang melintas buat ditumpangi.
Persiapan bahasa juga penting. ”Paling tidak harus bisa bahasa Rusia karena daerah itu dulunya di bawah Uni Soviet,” ujarnya. Selain itu, Agus juga mempelajari bahasa Turki dan Farsi. ”Itu modal utama supaya mudah mempelajari bahasa dan dialek Asia Tengah,” kata pria asal Lumajang, Jawa Timur, yang fasih berbahasa Kazakh dan Kirgis ini.
Bagi Agus, bahasa mengantarnya pada tipe perjalanan yang diidamkan. ”Saya tidak ingin sekadar numpang lewat tapi mau belajar dari orang-orang di negara yang saya kunjungi,” ujarnya. Karena itu juga agenda perjalanan Agus bukan sibuk berfoto atau mengunjungi tempat wisata. Ia lebih banyak keluar-masuk rumah penduduk sampai ke desa terpencil. Salah satu yang diburunya adalah pesta pernikahan setempat. ”Pernikahan biasanya berisi kristalisasi budaya dan konsep kehidupan sebuah masyarakat,” ujar Agus. ”Tapi, untuk bisa sampai ikut pesta itu, ya harus lama di sana dan bisa bahasanya.”
Agus tak keranjingan ”stan” sendirian. Petualang ransel dari berbagai negara memang tengah mengarahkan perhatian mereka ke kawasan Asia Tengah sebagai tujuan wisata alternatif. Situs rujukan para pelancong seperti Lonely Planet pun dipenuhi permintaan saran tentang perjalanan ke negeri-negeri ”stan”.
Merasa bosan dengan Eropa, Rusmailia Lenggogeni, 37 tahun, tiga tahun lalu berangkat ke Uzbekistan. ”Saya mencari tujuan baru yang punya keunikan sejarah, budaya, dan etnik,” kata Lia, begitu ia biasa disapa.
Bermodal bahasa Rusia seadanya, perempuan yang berprofesi sebagai penulis iklan ini seorang diri berkelana di Uzbekistan dan Kazakhstan. Sebulan di sana, Lia tak banyak keluar uang. ”Biaya perjalanan termasuk murah asalkan bisa menawar dan mau tinggal di rumah penduduk,” ujarnya.
Menurut Lia, orang ragu ke Asia Tengah karena memang tidak populer sebagai tujuan wisata. Meski murah, akomodasi dan transportasi kadang terbilang ajaib. ”Saya pernah naik pesawat terbang yang lebih mirip angkot terbang,” ujarnya.
Lia bercerita, di pesawat itu tak ada sabuk pengaman. Bagasi di atas kepala juga tak bisa ditutup karena kelewat penuh. Kursi penumpang kadang disesaki barang. Mereka yang kalah cepat berebut tempat duduk pun harus puas berdiri sepanjang penerbangan.
Menurut warga Indonesia yang sudah sembilan tahun tinggal di Uzbekistan, Rosalina Tobing, memang semakin banyak pelancong dari berbagai negara ke Uzbekistan. Rosalina bercerita, awalnya yang datang ke sana lebih banyak pengusaha. Negara-negara muda pecahan Uni Soviet yang ekonominya sedang bertumbuh ini dianggap sebagai lahan potensial buat berbisnis.
Terselip di antara pengusaha itu beberapa turis, baik yang berkoper maupun yang cuma memanggul ransel. Rata-rata turis itu berasal dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan belakangan mulai banyak dari India. ”Wisatawan dari Indonesia mulai berdatangan sejak 2003,” kata Rosalina.
Uzbekistan menjadi negara tujuan favorit karena mengurus visanya lebih mudah. Negara ini juga sering dijadikan transit penerbangan dari Eropa ke Asia Timur. Kini pemerintah Uzbekistan tengah membangun bandara internasional di Navoiy demi menjadikan negaranya sebagai jembatan perdagangan antara Eropa dan Asia. Bila bandara itu jadi, pejalan dan petualang dari berbagai penjuru dunia pun akan makin banyak yang datang.
Apa yang dicari para backpacker ke Uzbekistan? Rosalina menunjuk Samarkand, yang jadi tujuan wisata rohani umat Islam dunia karena ada makam Imam Al-Bukhari. Selain itu, Uzbekistan dan negara-negara tetangganya juga punya daya tarik karena ada di Jalur Sutra—jalur perdagangan tradisional Benua Asia yang menghubungkan Asia timur, selatan, barat dengan Timur Tengah dan Afrika timur laut serta Eropa.
Rute perdagangan sutra dari Cina ke Eropa yang dimulai pada abad ketiga itu melewati Lembah Fergana dan Termez, yang berada di wilayah Uzbekistan. Jalur niaga itu juga melintasi bekas ibu kota Kazakhstan, Almaty, dan daerah Balkh di Afganistan. ”Jalur Sutra itu yang membuat saya tertarik pergi ke negara-negara ‘stan’,” kata Lenny Katan. Penerjemah lepas ini pun nekat menyusuri rute dagang itu dari Xinjiang, Cina. Padahal permohonan visa ke Kazakhstan belum dikabulkan.
Mengurus visa memang jadi hambatan besar bepergian ke Asia Tengah. Mereka yang boleh masuk ke negara-negara di sana, kata dia, harus mendapat surat undangan. Agustinus Wibowo mengalami repotnya mengurus visa Tajikistan di kedutaan mereka di Kabul, Afganistan. Kala itu kedutaan libur selama dua pekan. Tak kehilangan akal, Agus minta bantuan ke kedutaan Indonesia agar membujuk diplomat Tajikistan membuka pintu. Akhirnya visa diterbitkan setelah proses tawar-menawar layaknya di pasar.
Karena Agus sukses, Lenny pun minta nasihat kepadanya. Ia disarankan mencari agen perjalanan di Kazakhstan yang bisa mencarikan surat undangan seharga hampir Rp 1 juta. Namun dua minggu menanti di Xinjiang, visa itu tak kunjung datang. Malah akhirnya permohonannya ditolak. ”Saya kecewa berat karena saya sudah lama bermimpi pergi ke sana,” ujarnya. ”Tapi, seperti banyak backpacker lainnya, saya akan terus mencari kesempatan agar bisa mengunjungi negara-negara itu.”
Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo