Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAFTAR peringkat yang diumumkan Union Cycliste Internationale pada 25 November lalu menjadi kabar gembira bagi pengurus klub Polygon Sweet Nice yang bermarkas di Surabaya. Organisasi sepeda sedunia itu menempatkan pembalap andalan Polygon, Herwin Jaya, dalam kelompok elite delapan pembalap teratas yang mengikuti lomba di Asia. ”Selama saya berkecimpung di dunia balap sepeda, ini peringkat terbaik pembalap Indonesia,” kata Sastra Harijanto Tjondrokusumo, yang mendirikan klub sepeda itu pada 1994.
Dalam daftar peringkat perseorangan itu, hanya dua pembalap asal Asia yang lebih baik daripada Herwin, yaitu dua pembalap Jepang, Yusuke Hatanaka, di ranking lima, dan Takashi Miyazawa di posisi tujuh. Sisanya menjadi milik para pembalap asal Eropa—termasuk pemuncak klasemen, Kenny Robert van Hummel dari Belanda—dan Australia. Adapun dalam peringkat negara, Indonesia berada di posisi kedua setelah Jepang, dari sembilan negara yang berkompetisi, termasuk Cina dan Korea Selatan.
Melonjaknya peringkat Herwin, yang pada bulan sebelumnya tak masuk daftar urutan yang dirilis UCI, berkat prestasi yang ia raih pada Speedy Tour d’Indonesia, 24 Oktober-3 November lalu. Di balap sepeda jalan raya itu, meski tak menjuarai satu pun dari sepuluh etape, Herwin menutup lomba yang menempuh jarak 1.432 kilometer dari Jakarta hingga Denpasar dengan waktu 28 jam 2 menit 6 detik. Ia menyisihkan Abdullah Fatahillah dari Yogyakarta, pembalap spesialis sprinter, dan Edmund Hollands dari Australia, dengan selisih 10 dan 21 detik.
Tampilnya Herwin Jaya sebagai juara di ajang tahunan yang masuk kalender kegiatan UCI itu mendobrak dominasi pembalap asing, yang sepanjang dekade ini bergantian menutup lomba dengan mengenakan kaus kuning, tanda pembalap dengan total waktu tercepat alias juara umum. Bagi Herwin, Tour d’Indonesia 2010 ini adalah prestasi terbaiknya, setelah lima tahun malang-melintang di berbagai tur di Asia. ”Gelar ini sangat penting karena sejak 2006 saya belum pernah memenangi Tour d’Indonesia,” katanya.
Berkat prestasinya yang kinclong, Herwin memperoleh hadiah US$ 26 ribu (sekitar Rp 234 juta). Selain hadiah utama sebagai pemegang kaus kuning, uang tersebut merupakan akumulasi beberapa kali naik podium etape, meski bukan sebagai peringkat pertama. ”Uang itu sebagian saya bagikan ke rekan-rekan satu tim, karena saya bisa menjadi juara berkat dukungan mereka. Sisanya saya tabung, ada juga yang saya pakai untuk membeli tiga ekor sapi untuk investasi,” kata pembalap kelahiran Probolinggo, Jawa Timur, 7 Februari 1985, ini. Praktis tak ada uang sisa bagi Herwin untuk memanjakan diri dengan gadget teranyar, kecuali telepon seluler qwerty—yang sesekali ia gunakan untuk membuka situs Internet, termasuk Facebook.
Di Surabaya, ia tinggal bersama rekan satu timnya di mes Polygon di kawasan Tenggilis Mejoyo. Ditemui pada Selasa siang dua pekan lalu, Herwin masih memakai seragam balap, dengan gelang plastik di lengan kiri dan tasbih di tangan kanan, dan wajah terbakar sengatan matahari.
Hari itu, Herwin dan sepuluh rekannya baru saja menyelesaikan sesi latihan harian. Mereka menggenjot sepeda dari Surabaya menuju Nongkojajar, Pasuruan, pulang-pergi sekitar 150 kilometer. Nongkojajar adalah kawasan pegunungan yang berbatasan dengan Malang. Berangkat pukul 04.30, Herwin dan kawan-kawan tiba kembali di mes pada tengah hari. ”Berangkatnya harus pagi karena kalau kesiangan keburu kena macet di kawasan lumpur Lapindo,” kata pembalap lajang ini, dengan logat Madura yang kental.
Herwin menuturkan ketertarikannya pada balap sepeda berkat dorongan kakaknya. Sang kakak, yang juga hobi balap sepeda, selalu memotivasi dirinya supaya serius di balap sepeda. ”Padahal cita-cita saya ingin menjadi pembalap motor,” ujarnya. Pada usia sembilan tahun, Herwin dibelikan sepeda BMX oleh orang tuanya. Di kategori BMX inilah Herwin mengikuti lomba pertamanya, Piala Wali Kota Probolinggo 2000. Meski gagal menjadi juara, sejak saat itu setiap ada kejuaraan resmi Herwin tak ketinggalan.
Toh, pembalap dengan tinggi 164 sentimeter dan berat 57 kilogram ini tak bertahan lama di ajang BMX. Minimnya turnamen membuat Herwin berpindah ke sepeda balap. Pada 2005, ia tampil di Tour d’East Java. Setahun kemudian Herwin mengikuti seleksi atlet balap sepeda untuk dibawa ke pemusatan latihan di tingkat Provinsi Jawa Timur. Meski tak mendapat gelar, berkat penampilannya di turnamen itu Herwin terpilih masuk kontingen Jawa Timur untuk PON 2007, saat itu pula ia bergabung dengan klub Polygon.
Di klub milik pengusaha Sastra Harijanto itu Herwin mendapat kesempatan tampil di berbagai turnamen. Selain Tour d’East Java, ia menggenjot sepedanya di Tour de Hainan di Cina, Tour de Langkawi di Malaysia, Tour de Singkarak, dan Tour d’Indonesia 2010. Polygon, sebagai klub yang selalu tampil di turnamen-turnamen resmi UCI Asia, memang memberikan tantangan bagi pembalapnya. Selain itu, beberapa pembalap asing yang bergabung di Polygon menjadi rekan berlatih, dan mengerek kemampuan Herwin.
Sastra mengatakan Herwin adalah pembalap yang memiliki semangat tinggi dan petarung di jalanan. ”Karena itu, kami menerima dia berlatih di Polygon,” kata pria yang juga menjabat Sekretaris Umum Ikatan Sport Sepeda Indonesia Jawa Timur ini. Di klub ini, para atlet digembleng dengan porsi latihan berjarak 900-1.200 kilometer per minggu. ”Itu adalah standar latihan untuk dapat bersaing di turnamen internasional,” ujar Sastra. Dalam sepekan, para pembalap mendapat libur latihan pada Minggu.
Nah, pada hari libur inilah Herwin kembali ke kampung halaman dan mbalap di kategori lain: karapan sapi. Ihwal sapi yang ia beli dari uang hadiah tersebut tak lepas dari kegemarannya akan olahraga pacu tradisional tersebut. Sebelum terjun penuh di ajang balap sepeda, Herwin kerap tampil di kejuaraan karapan sapi yang digelar Pemerintah Kota Probolinggo, yakni Piala Kasodo dan Piala Wali Kota. ”Selain di event resmi tahunan, saya juga mengikuti lomba karapan sapi yang digelar orang punya hajat,” katanya.
Menurut Herwin, memelihara sapi karapan merupakan tradisi keluarga. Tapi, sejak menekuni balap sepeda, ia tak punya banyak waktu untuk menyalurkan hobi memelihara sapi karapan dan joki karapan. ”Sudah tidak sempat ngurusi karapan,” kata lulusan jurusan mesin SMK Ahmad Yani Probolinggo 2005 ini. Nah, belasan sapi yang ia miliki sekarang memang untuk bisnis. ”Ini sapi potong,” kata pembalap yang bercita-cita menjadi pegawai negeri sipil di Kota Probolinggo ini.
Adek Media, Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo