Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Gema Azan dan Tercerabutnya Pohon Zaitun

Sejumlah film dokumenter yang sangat menarik diputar di Jiffest 2010. Dari kisah muazin, konflik di tanah Palestina, hingga melancong ke ruang angkasa.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMA azan zuhur memecah langit North Hollywood, Los Angeles, Amerika Serikat, pada suatu siang yang cerah. Azan dari sebuah masjid di kompleks Islamic Centre itu dikumandangkan Mohammad Ja’ara, seorang imigran dari Yordania. Di sela kesibukannya, Ja’ara, yang berprofesi sebagai salesman mobil, selalu menyempatkan diri hadir lima waktu di masjid itu sebagai muazin.

Begitulah keseharian Ja’ara yang direkam sutradara Endah Wahyu Sulistianti dalam film dokumenter The Caller. Film yang diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2010 ini berkisah tentang kehidupan ”para pemanggil umat”—mereka yang bertugas memanggil umat datang ke rumah ibadah. Ada muazin di masjid, petugas lonceng gereja, dan pemukul gong di kelenteng.

Menurut Endah, ide penggarapan The Caller berawal dari kebiasaannya mendengar bunyi lonceng gereja. Setiap pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6 petang, lonceng di gereja, yang hanya sepelemparan batu dari apartemennya, itu berdentang. Semula Endah hanya ingin membuat film dokumenter sosok muazin dan petugas lonceng. Sosok pemukul gong di kelenteng kemudian dimasukkan untuk mewakili Konghucu dan Buddha.

Tapi, saat mulai riset, Endah menemui kendala. Ternyata mereka adalah sosok langka di Los Angeles, kota yang notabene dijuluki The City of Angel. Gereja di dekat apartemennya, misalnya, tidak lagi punya pemukul bel untuk membunyikan lonceng-loncengnya. Mereka memakai timer, yang menggerakkan mesin (semacam audio player) dan membunyikannya dengan speaker. Hampir tidak ada lagi gereja di Los Angeles yang masih orisinal memakai campanologist (sebutan petugas lonceng gereja). Satu-satunya yang masih memakai campanologist di sana adalah gereja ortodoks Rusia.

Yang menarik, tutur Endah, ketika penggarapannya. Ia menemui banyak kisah menyentuh seputar kehidupan mereka. Petugas lonceng gereja, Mary McEntyre, misalnya, sudah lebih dari 20 tahun menjalani profesinya itu dan tak ada yang mau menggantikannya. Awalnya, dia baik-baik saja. Tapi sekarang dia makin tua dan pernah mengalami cedera punggung. Mary ingin mencari penggantinya, tapi sangat susah. Begitu pula dengan petugas pemukul gong di Kelenteng Tin Hau, Andy Hua. Dia ingin terbebas dari tugasnya, tapi sangat sulit mendapat penggantinya.

Begitulah. Selain The Caller, film dokumenter yang diputar di Jiffest rata-rata sangat menarik. Film Budrus, misalnya. Film dokumenter karya sutradara Julia Bacha itu berkisah tentang perlawanan warga Budrus, sebuah desa di perbatasan Palestina-Israel. Dipimpin Ayed Morrar, mereka menentang tentara Israel yang akan membangun dinding pemisah karena akan menghancurkan 3.000 pohon zaitun yang merupakan sumber utama penghasilan penduduk Budrus.

Yang tak kalah menarik adalah Armadillo, film dokumenter sepanjang 119 menit karya sutradara Denmark, Janus Netz Pedersen. Sang sutradara merekam kehidupan sehari-hari tentara Denmark di Afganistan. Pederson menyuguhkan sisi-sisi humanisme. Misalnya, para tentara itu ada yang mengeluh tak bisa berkencan karena harus bertugas. Sebagai penyaluran, mereka memutar blue film di markasnya.

Ada pula Bhutto. Film berdurasi 111 menit ini merekam kematian tragis Benazir Bhutto, pemimpin Pakistan, pada pengujung 2007, yang mendadak sontak membuat suhu politik di negeri itu mendidih. Dalam film dokumenter ini, sutradara Duane Baughman dan Johnny O’Hara tak hanya merekam detik-detik ketika Bhutto diterjang desing peluru dan bom bunuh diri di Rawalpindi. Duet sutradara itu juga menampilkan arsip dokumentasi yang belum pernah ditayangkan dan wawancara dengan keluarga dekat Bhutto, seperti anak-anaknya, pamannya, dan kakaknya.

Terakhir, Space Tourist arahan sutradara Christian Frei. Dalam film dokumenter ini, Frei merekam perjalanan Anousheh Ansari, warga negara Amerika kelahiran Iran, yang menjadi perempuan wisatawan angkasa pertama dengan membayar US$ 20 juta atau sekitar Rp 180 miliar. Ansari diterbangkan dengan pesawat Soyuz milik Rusia pada September 2006.

Frei tak hanya merekam Ansari yang melayang-layang di stasiun luar angkasa internasional, tapi juga sisi lain yang kontras: bangkai pesawat Soyuz di pinggir kampung Kazakstan dan para pemulung roket bekas peluncur Soyuz.

Nurdin Kalim, Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus