DI dunia olahraga tak ada nomor yang lebih bergengsi dari lomba lari 100 meter putra. Pertandingannya amat singkat—tak sampai 10 detik—tapi rekor dan sensasi yang menyertai rekor itu lekat terus dalam ingatan orang. Menjadi manusia tercepat di dunia memang bukan prestasi yang bisa dicapai sembarang orang.
Dan adalah sangat wajar ketika rekor dunia tercipta, sebagai bukti pencapaian tertinggi manusia, sang atlet disanjung dan didudukkan di tempat yang sangat terhormat. Belum lama ini, yang beruntung memecahkan rekor—sehingga tiba-tiba namanya termasyhur ke seantero dunia—adalah Maurice Greene, sprinter asal Amerika Serikat. Catatan waktu yang dibukukan pemuda berusia 25 tahun dua pekan lalu itu memang sangat tajam: 9,79 detik. Ia menumbangkan rekor lama milik Donovan Bailey, 9,84 detik, yang dibuat di Olimpiade Atlanta, tiga tahun lalu.
Sebenarnya, rekor secepat ini pernah dibuat oleh Ben Johnson asal Kanada di Olimpiade Seoul tahun 1988. Bedanya, Greene bersih, sedangkan kehebatan Johnson terpacu berkat bantuan obat anabolic stereoid. Alhasil, setelah tertangkap basah, rekor itu tak pernah diakui. Lakon tragis ini menimbulkan kecemasan di kalangan pengamat atletik. Mereka khawatir, rekor setajam Johnson jangan-jangan tak mungkin ditempuh dengan cara normal. Sebelas tahun kemudian, perkiraan itu ternyata meleset.
Sukses Greene bukan semata-mata karena bakat alam. Greene, dan juga para sprinter papan atas dunia lainnya, adalah produk dari kerja ilmiah bertahun-tahun. Memang, sprinter seperti Greene dikaruniai serabut otot putih di tubuhnya yang lebih banyak ketimbang serabut otot merah. Serabut otot putih ini punya andil besar dalam mendukung pergerakan tubuh secara cepat. Namun, serabut otot putih ini baru bisa bekerja optimal bila dilatih dengan metode fast-twitch training system. Dalam latihan, flaw alias kekurangan dalam kerja otot, yang tak tertangkap oleh mata telanjang, bisa dipantau lewat peralatan modern. Metode yang memungkinkan atlet melatih kekuatan dan tenaganya pada kecepatan tertinggi ini bertujuan membuat atlet menyadari seluruh potensi miliknya.
Faktor penting lain dalam pemecahan rekor adalah peralatan olahraga yang semakin canggih. Lintasan lari yang terbuat dari karet sintetis, tepatnya polyurethane, selain sangat lembut untuk telapak kaki, juga memberikan dorongan balik yang cukup kuat bagi pelari. Sepatu pun dirancang khusus. Biasanya, setiap pelari unggulan mempunyai sepatu berdesain khusus yang dirancang untuknya. Sekalipun tiap sepatu unik, ada kesamaan umum yaitu melebar di sekitar ujung jari, karena bagian inilah yang paling sering menyentuh lintasan.
Bila syarat fisik dan teknis tadi sudah dipenuhi, dua hal yang diperlukan agar rekor dunia baru bisa tercipta adalah strategi dan kecepatan angin. Bagi pelari seperti Carl Lewis, strategi adalah rahasia suksesnya. Lewis sadar, ia lambat dalam bereaksi meninggalkan blockstart ketika aba-aba dibunyikan. Untuk menambal kekurangannya, Lewis berkonsentrasi melatih diri mempertahankan kecepatan pada 50 meter terakhir.
Dengan demikian, kecepatan angin jadi ikut menentukan, apalagi karena rekor baru disahkan bila tiupan angin belakang (tail wind) tak lebih dari 2 meter per detik. Dengan demikian, pelari yang berlomba dengan kecepatan angin belakang 1,9 meter per detik beroleh kondisi yang paling menguntungkan. Menurut Jonas R. Mureika dari Department of Computer Science, University of Southern California, Amerika Serikat, sebetulnya angin yang bertiup dari depan (head wind) lebih berpengaruh daripada tail wind. Melalui rumus yang dikembangkannya, dari seluruh waktu terbaik untuk 100 meter putra, bila dikoreksikan pada kondisi tak ada angin (calm air), pemegang rekor dunia (sebelum dipecahkan Greene) bukanlah Donovan Bailey, melainkan Frank Fredericks dari Namibia. Bila dikoreksikan ke kondisi calm air, catatan waktu Frederick yang 9,86 detik dengan head wind 0,4 meter per detik menjadi 9,81 detik, sementara waktu Bailey yang 9,84 detik dengan tail wind 0,7 meter per detik merosot jadi 9,88 detik.
Mureika juga menciptakan berbagai rumus yang mempertimbangkan faktor ketinggian, berkurangnya tenaga, dan kemiringan tubuh. Dari seluruh rumus yang diciptakannya, Mureika membuat prediksi waktu terbaik yang bisa diciptakan pelari dalam waktu mendatang seiring dengan kemajuan teknologi (lihat tabel). Satu hal yang pasti, ia yakin tak ada seorang pun yang bisa berlari di bawah 9 detik. Alasannya: keterbatasan tubuh manusia. Jadi, kalaupun kelak ada perbaikan terhadap rekor yang dibuat Greene, hal itu mungkin baru akan tercapai dalam satu atau dua dasawarsa lagi. Dan perbaikan rekornya pun mungkin hanya sepersekian detik.
Yusi A. Pareanom
Tahun | 100 m putra | 100 m putri | 1999 | 9,79 (Maurice Greene) | 10,49 (Florence Griffith-Joyner) |
2000 | 9,74 | 10,49 |
2028 | 9,57 | 10,46 |
2033 | 9,57 | 10,44 |
2040 | 9,49 (maksimal) | 10,44 (maksimal) |
Sumber: J.R. Mureika Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini