Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Soeharto, Beban Politik Habibie

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENDATI penghitungan suara hasil pemilu belum final, perkiraan perolehan kursi di MPR boleh dikata sudah dapat disusun dengan ketelitian cukup tinggi. Setidaknya, untuk memastikan bahwa Golkar, partai yang mencalonkan B.J. Habibie sebagai presiden periode 1999-2004, ternyata tidak sanggup merebut suara terbanyak. Maka, legitimasi vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) tak lagi dapat dipertahankan partai berlambang pohon beringin ini. Soalnya, pembenaran politik untuk berkuasa itu kini lebih layak dipanggul si banteng gemuk yang menjadi perlambang PDI-P pendukung Megawati, yang terbukti paling berhasil dalam meraih suara pemilih. Tapi kenyataan politik ini cuma menutup pintu etis bagi Habibie untuk menjadi presiden lagi. Jika soal etis diabaikan, jalan legal formal masih memberikan kesempatan untuk dimanfaatkannya. UUD 45 yang sekarang menjadi landasan konstitusional memang memberikan kewenangan yang luas kepada anggota MPR untuk memilih presiden. Bahkan, secara teoretis, setiap warga negara Indonesia asli yang berusia 40 tahun ke atas dapat diangkat menjadi kepala negara selama didukung oleh suara terbanyak di sidang MPR. Walhasil, Habibie memang masih berpeluang. Cuma, jalan mulus bebas hambatan ini tidak bebas biaya. Soalnya, sebelum maju mencalonkan diri menjadi kandidat, Habibie harus mempertanggungjawabkan dulu pelaksanaan tugasnya dalam melaksanakan 12 ketetapan MPR yang ditelurkan di Sidang Istimewa MPR November lalu, dalam suasana penuh unjuk rasa dan diwarnai oleh gugurnya sejumlah mahasiswa. Dan, yang paling sulit dipertanggungjawabkannya adalah pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor 11, tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi. Soalnya, upaya pemberantasan korupsi tanpa menuntaskan status hukum Soeharto jelas menciptakan kesan tidak serius. Apalagi, semua orang tahu bahwa yang paling berjasa membawa Habibie ke kursi kepresidenannya saat ini adalah Soeharto, yang di masa lalu acap kali dinyatakan Habibie dengan sebutan SGS, Super-Genius Soeharto. Tidak jelas benar apa alasan Habibie menyebut Soeharto sebagai seorang jenius super. Sebab, kenyataan bahwa hingga saat ini pemerintah belum juga mampu memastikan status hukum presiden kedua RI itu sebetulnya lebih menunjukkan ketidakmampuan Habibie ketimbang kehebatan pendahulunya itu. Ketidakmampuan itu bukan karena Habibie kurang encer otaknya. Kecerdasan putra kelahiran Parepare ini di bidang ilmu pasti, terutama aeronautika, mungkin tak tersaingi di seluruh negeri. Yang menjadi soal adalah Habibie bukan orang yang tepat untuk menyelesaikan kasus korupsi Soeharto karena ia, paling tidak, merupakan bagian penting dari jaringan korupsi dalam era Orde Baru. Karena itu, jika ia memukul air di dulang, akan terpercik muka sendiri. Keadaan ini memang sangat mencolok mata. Sehingga, para pendukung utama Habibie pun tidak merasa berguna jika berupaya mengingkarinya. Jualan mereka lebih diarahkan ke peran positif Habibie dalam terciptanya iklim pers bebas, terselenggaranya pemilu yang diakui cukup jujur dan adil, serta perkembangan keadaan ekonomi yang semakin hari semakin terasa lebih baik. Selain itu, juga dalam berkampanye negatif tentang pesaing utama tokoh idola mereka itu, baik dari segi gender, latar belakang pendidikan, keimanan, dan kemampuan melakukan debat publik. Semua ini tentunya bukan hal yang patut dilarang. Lagipula, persoalan apakah jualan ini akan dibeli atau tidak, terpulang ke sikap para anggota MPR di sidang umum nanti, terutama dalam memastikan apakah pertanggungjawaban mandataris MPR itu akan ditolak bila Ketetapan MPR Nomor 11 dianggap belum dilaksanakan tuntas. Selain itu, apakah bila pertanggungjawaban ditolak, berarti Habibie tidak diperkenankan mencalonkan diri sebagai presiden periode berikutnya? Apa pun keputusan yang diambil, keabsahannya secara konstitusional tidak akan menjadi masalah. Kekhawatiran yang muncul adalah bila keputusan di dalam gedung di Senayan ini mempunyai perbedaan yang besar dengan aspirasi yang berlaku di kalangan orang ramai. Suatu hal yang mungkin saja terjadi, mengingat hari pertama sidang MPR berarti juga hari perdana berubahnya secara formal kedaulatan 100 juta rakyat pemilih menjadi kedaulatan 700 anggota MPR. Lagipula, hanya 462 di antara mereka dipilih secara langsung. Habibie tampaknya memahami persoalan ini. Setidaknya itu terlihat dari dukungannya pada upaya untuk membentuk semacam Dewan Rekonsiliasi Nasional, yang melibatkan para tokoh partai pemenang pemilu untuk menuntaskan status hukum Soeharto. Hanya, sulit memahami, apalagi merasa optimistis, bahwa upaya ini akan disambut dengan tangan terbuka. Sebab, dilihat dari kacamata pihak-pihak yang menjagokan calon presiden di luar Habibie, tak ada keuntungan politik untuk menyambutnya. Yang terlihat hanya kerugian ikut tercemar oleh kesan ketidakseriusan pemerintah sekarang dalam persoalan ini. Bagi kebanyakan orang, kriteria terpenting dari presiden mendatang adalah kredibilitasnya untuk menjalankan agenda reformasi. Dan dalam soal ini, kemampuan untuk menyelesaikan kasus Soeharto menjadi batu ujian utama (acid test) bagi Habibie. Mata ujian yang tidak mudah mencari jawabnya. Bila ia lunak, akan dicurigai terlibat; dan bila bertindak keras, akan dicap sebagai pendurhaka ala si Malin Kundang. Tentu ada alternatif di luar dilema buah simalakama ini. Tak ada yang mewajibkan Habibie untuk ikut ujian politik itu. Adalah haknya juga untuk memilih kursi kejayaan sejarah ketimbang kursi kepresidenan. Ia bisa saja bertindak ksatria seperti Amien Rais, menyatakan tak layak menjadi Presiden karena partainya bukan peraih suara terbanyak dan memberi peluang kepada partai juara untuk meraih kursi di istana. Pilihan yang menjanjikan namanya akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah proses kenegaraan republik ini. Sayangnya, catatan masa lalu Habibie menunjukkan pilihan ini agak mustahil akan dilakukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus