Adi Sasono jatuh sakit. Seorang dokter dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, keluar-masuk kamar sang menteri. Ajudan pribadinya tampak tegang. Apa yang terjadi? "Wah, maaf, jangan masuk. Pak Adi lagi gawat. Jangan diganggu dulu, deh," kata Wahyudi saat TEMPO mencoba masuk ke kamar itu, Rabu pagi pekan lalu. "Saya tidak tahu apakah Pak Adi bisa hadir ke sidang kabinet nanti siang atau tidak," katanya menjelaskan kondisi si bos.
Benar saja, untuk pertama kalinya, Menteri Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah, Adi Sasono, terpaksa absen dalam sidang kabinet di Istana Negara, siang harinya. Mengapa Adi sakit? Ada bisik-bisik, ia sangat terpukul dengan kecilnya perolehan suara Partai Daulat Rakyat (PDR), yang menjagokannya sebagai kandidat presiden. Padahal, menteri yang mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini paling bersemangat menggalang kekuatan politik sebelum hari pencoblosan 7 Juni lalu. Berkali-kali Adi mendengungkan ide ekonomi kerakyatan untuk menarik simpati masyarakat bawah—slogan penting partai itu.
Sejauh ini, menteri yang gemar berkemeja batik ini kerap membantah jika disebut berada di belakang partai berlambang tangan menggenggam padi dan kapas itu. Tapi, sejak gambarnya terpampang dalam iklan sehalaman penuh sebagai calon PDR di dua harian Ibu Kota, semuanya menjadi jelas. Foto diri Adi berkopiah hitam tercetak rapi di selebaran partai pada masa kampanye dulu. Ia bahkan tak aktif menyokong Partai Golkar meski posisinya penting: salah seorang ketua dan koordinator wilayah di Jawa Tengah. Puncaknya, jabatan Adi dicopot dari Partai Beringin, bulan lalu.
Celakanya, PDR ternyata susah dijadikan tumpuan harapan. Beberapa pengurus partai itu malah ngacir begitu sadar bahwa suara yang terkumpul hanya sekitar 200 ribu. Syahganda Nainggolan, misalnya, tokoh penting dalam tim sukses PDR, sudah hengkang ke Belanda. "Saya hanya pergi liburan, kok. Capek. Sudah satu setengah tahun tidak liburan. Istri saya kan orang Belanda. Mertua saya juga ada di sini. Bukannya mau lepas tanggung jawab soal PDR," kata Syahganda, yang dihubungi TEMPO lewat telepon internasional.
Dampak kekalahan telak partai itu sungguh berat, memang. Sejauh ini, PDR belum mendapat satu pun kursi. Tentu saja Adi kecewa. "Belum lagi ada tagihan saat kampanye yang belum dilunasi pengurus PDR dan itu harus ditanggung Mas Adi," kata sumber TEMPO di PDR. Tagihan berupa atribut kampanye itu, menurut Sekretaris Jenderal PDR Jumhur Hidayat, mencapai Rp 1,5 miliar. "Semua vendor datang untuk menagih uang spanduk, bendera, dan kaus," kata Ketua Umum PDR Latief Burhan, yang berjanji akan segera membereskan utang.
Padahal, jauh hari sebelumnya, para pentolan partai itu yakin akan menangguk 30 persen suara. Perhitungan itu didasari dengan kalkulasi massa dari Departemen Koperasi, plus koperasi yang tersebar di seantero Nusantara. Mau tahu jumlahnya? Ada 54 ribu unit koperasi, yang memiliki 26 juta anggota, serta 38,9 juta pengusaha kecil dan menengah yang berada di bawah naungan departemen yang dipimpin pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, yang kini berusia 56 tahun itu. Pendek kata, kalkulator partai menyebut angka 60 juta orang yang dianggap berpotensi memilih PDR.
Pelbagai strategi sengaja ditempuh untuk menarik massa. Ibarat sebuah holding company, PDR memecah dirinya dalam dua kekuatan: sebagai partai politik (parpol) dan organisasi kemasyarakatan (ormas). PDR-ormas punya proyek dengan Departemen Koperasi dan Departemen Dalam Negeri: Pos Ekonomi Rakyat (PER). Lewat PER inilah suara petani dan nelayan diharapkan datang—tentunya dengan kucuran dana Jaring Pengaman Sosial (JPS). Toh, suara PDR tetap jeblok dan membuat para elitenya syok. "Kami siap kok untuk membubarkan diri," kata Jumhur, yang berniat mengasingkan diri menjadi petani kentang di Pengalengan, Jawa Barat.
Belum lagi tonjokan Wardah Hafidz dan kawan-kawan yang aktif memantau dana JPS. Aktivis perempuan itu belum lama ini menuding bahwa para elite partai menyalahgunakan dana JPS—dari total rencana yang dikucurkan sebesar Rp 10,8 triliun—untuk membujuk massa pemilih. Tegasnya, PDR-Adi Sasono-Departemen Koperasi menjadi lumbung rezeki untuk partai. Koordinator Konsorsium Masyarakat Miskin Perkotaan itu terus saja melakukan kampanye negatif terhadap politik main uang yang dilakukan PDR. Partai besar tetap menjadi favorit rakyat.
Akibatnya sungguh terasa. Suara partai jeblok. Adi Sasono "tersungkur" seorang diri. Hubungannya dengan Presiden B.J. Habibie pun renggang akibat iklan presiden itu. Menurut sumber TEMPO, Habibie merasa ditohok dari belakang oleh Adi Sasono, yang juga karib dekatnya semasa barengan mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Mahmud F. Rakasima, salah satu calon anggota legislatif PDR dari Tangerang, juga kecewa dengan kenyataan yang terjadi kini. "Ini menjadi pelajaran bagi teman-teman. Mengurus partai itu tidak sama dengan mengurus LSM. Kami harus realistis. PDR haruslah dilupakan," katanya pelan. Tapi tudingan penyalahgunaan dana JPS tentu tetap harus dipertanggungjawabkan.
Ahmad Taufik, Ardi Bramantyo, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini