Rekor dunia tak juga pecah di Borobudur 10 K yang kedua Ahad lalu. Pelari Afrika berjaya pelari nasional masih tercecer walau Nabunome memecahkan rekor nasional 10 km. KABUT tipis masih menggelayuti Dusun Pedak, Desa Bumirejo, Magelang, Minggu pagi lalu. Suhu udara antara 22 dan 25 C, tapi kelembapannya melampaui 90 derajat. Di garis start, 8.560 pasang kaki bersiap meregang otot, siap berpacu melampaui jarak sepuluh kilometer dalam Borobudur 10 K (atau juga disebut Borobudur Run) II. Ada perangsang hebat menanti: hadiah US$ 25 ribu untuk sang juara dan bonus US$ 500 ribu untuk pemecah rekor dunia. Dua puluh satu pelari asing ada di barisan terdepan. Tepat pukul 06.30 WIB, pistol tanda start diletuskan Ketua Umum KONI Pusat Surono yang didampingi Menpora Akbar Tandjung, Gubernur Jawa Tengah Ismail, dan Ketua Umum PASI Bob Hasan. Mulailah perburuan hadiah besar itu. Tepatnya, perburuan oleh para pelari asing karena prestasi mereka masih terlalu muluk untuk disaingi atlet Indonesia. Pelari nasional Suryati hanya bisa pasrah dan berkomentar, "Biarkan pelari asing lari kencang, saya tak mungkin mengikuti mereka." Ketika rombongan yang panjangnya lebih dari dua kilometer itu mulai menggeliat, pelari asing sudah 200 sampai 300 meter di depan. Mereka sudah membentuk kelompok tersendiri bagaikan menembus Pegunungan Menoreh di depan mereka. Mula-mula Andrews Lloyd dari Australia memimpin, dikawal ketat pelari Etiopia Addis Abebe. Berjarak sebahu, ada Arturo Barrios, juara Bali 10 K 1989 dari Meksiko lalu Chala Kelele (Etiopia), dan Paul Kipkoech (Kenya). Masuk di sebuah jalan menurun sepanjang 100 meter lepas kilometer kedua, Abebe lepas ke depan, Barrios mendampinginya. "Sejak kilometer ini, saya yakin anak buah saya akan memecahkan rekor dunia dan pasti juara di sini," ujar Yilma Berta, pelatih Abebe. Lepas dari kilometer ketiga, Abebe melaju sendirian. Pelari terdekat terpisah sekitar lima meter. Namun, mendadak muncul "musuh" Abebe lainnya: helikopter yang disewa TVRI terbang terlalu rendah. Akibatnya, daun-daun pohon akasia yang tingginya sekitar empat meter terbang tak keruan, begitu juga debu jalanan. Abebe sangat terganggu, berkali-kali ia mengusap mata dengan punggung tangannya. Meski begitu, Abebe seperti tak tersentuh lagi oleh pelari lainnya. "Saya juga heran mengapa Abebe tak bisa disusul," kata Yilma, si pelatih. Berlari tanpa pesaing membuat Addis Abebe sekali-sekali menengok ke belakang. "Padahal, itu menghambat waktunya," kata Yilma. Di kilometer kelima, Paul Kipkoech, Barrios, Kelele, dan "muka baru" Steve Plasencia (AS) mulai memperkecil jarak dari Abebe. Di tikungan Candi Pawon, Abebe "mendayung" di medan terberat lomba ini. Jalanan menurun melewati jembatan di atas Kali Progo, lalu menanjak kembali dengan cukup tajam. Di atas tanjakan, penonton berdesakan. Jalan selebar tujuh meter hanya tersisa jadi empat meter. Borobudur Run pun jadi pesta rakyat. Rumah-rumah penduduk mendadak jadi "penginapan" dengan tarif Rp 2.000 semalam untuk para pelari lokal dan penggembira. Khanafi, Ketua Karang Taruna Pedek, Bumirejo, menyediakan 20 rumah untuk pondokan sementara. "Tahun lalu sampai ratusan pelari yang menginap," ujarnya. Para pelari nasional dan asing ditampung di Hotel Garuda, Yogyakarta, yang punya tarif sekitar US$ 100. Kalau tarif hotelnya berbeda, hadiahnya pun berbeda. Di kelompok "elite" (jumlah pelari di kelompok ini 108 orang), hadiahnya menggiurkan: US$ 25 ribu, US$ 12,5 ribu, dan US$ 7,5 ribu (untuk putra) lalu US$ 20 ribu, US$ 10 ribu, dan US$ 5 ribu (untuk putri). Kelompok "masal" pun hadiahnya lumayan: Rp 500 ribu, Rp 400 ribu, dan Rp 300 ribu. Inilah daya tarik khusus lomba, yang juga disebut Bob Hasan 10 K ini -- Ketua PASI Bob Hasan mengeluarkan uang Rp 1,5 milyar untuk kerepotan ini. Addis Abebe, yang sudah membayangkan bonus US$ 500 ribu, makin ngotot menggenjot langkah di kilometer ketujuh. Sampai-sampai ia merapat di belakang mobil awak jaringan televisi olahraga AS ESPN dan mobil panitia yang berjalan melambat garagara membludaknya penonton. Padahal, penyelenggara sudah menyiapkan 1.200 petugas. Berkali-kali Abebe memberi kode tangan, agar mobil-mobil yang hanya semeter di depannya lebih cepat maju. Sia-sia. Abebe tampak kesal dan menggeleng-gelengkan kepala. Terpaksa ia mengerem laju larinya. Ada yang berseloroh, ini taktik panitia agar bonus hampir semilyar rupiah itu selamat. Toh Addis Abebe tak tertahan. Ia sampai di finis di pelataran Taman Nasional Candi Borobudur persis pukul 07.57,43 WIB, dan ia sudah berlari 27,43 menit. Ini masih di bawah rekor dunia 10 km atas nama Marc Nenow dengan 27,22 menit, dan empat detik lebih lambat dari waktu ketika Abebe menjuarai Borobudur Run 1990. Setelah Abebe, Chala Kelele, lalu Kipkoech dan baru Arturo Barrios. Pelari nasional Eduardus Nabunome memecahkan rekor naional atas namanya sendiri dengan waktu 9,52 menit, 19 detik lebih cepat dari rekor lama. Ia masuk urutan ke-11. Di bagian putri, Elizabeth Mc Colgan berada di tempat kedua, setelah Susan Sherma dari Kenya. Dan juara tahun lalu, Kathrin Ullrich dari Jerman, hanya di tempat ketiga. "Saya tak kaget dengan kemenangan ini," ujar Sherma, 25 tahun, anak pegawai kantor pos di Kenya. Ia menempuh waktu 31,41 menit. Pelari nasional Suryati dengan waktu 35,02 berada di urutan kesembilan. Laporan Iwan Qodar, Adjie Surya, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini