ADDIS Abebe dan Addis Ababa hampir sama. Yang pertama, nama juara Borobudur Run dua tahun berturut-turut. Yang kedua, nama ibu kota negara asal sang pelari. Tinggi Abebe 160 cm. Beratnya 50 kg. Usia? Itu yang membingungkan. Kepada wartawan TEMPO, Abebe menerangkan, "Saya lahir di Provinsi Tigray, Etiopia, pada 5 September 1972." Namun, data resmi panitia dan buku pegangan dunia atletik memperlihatkan ia lahir 1970. Sehari setelah merebut hadiah pertama US$ 25 ribu, Abebe dan pelatihnya, Yilma Berta, berbelanja di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Ia memborong berbagai suvenir dan kain batik. Ia masih memakai kaus putih lusuh bertuliskan New York City Competition, celana jeans Bremen, dua karet gelang di tangan, dan sandal Adidas. "Saya muda dan cukup kaya, tapi saya juga harus membantu orangtua dan ketiga adik saya. Maklum, saya hidup di negeri miskin," ujar letnan satu angkatan darat Etiopia ini. Orangtua Abebe adalah petani yang juga berjualan barang-barang kelontong. Kemelaratan itulah yang mendorong Abebe berlatih lari, sejak ia di sekolah dasar. Ia masuk tim nasional negerinya pada 1988, dan sejak itu ditangani Yilma Berta. Latihan yang ditempuh Abebe unik. Kadang ia berlari di hutan atau di semak-semak. kadang di jalan raya. Porsi latihan juga seenaknya, boleh 20 atau 30 kilometer. Sekali waktu, ia hanya berlatih lari sekencang-kencangnya sejauh 6 kilometer. "Pokoknya, dalam seminggu saya harus lari 200 sampai 300 kilometer. Itu memang persiapan untuk menumbangkan rekor dunia," katanya. Ia dinobatkan jadi atlet yunior terbaik dunia 1989. Pada kejuaraan lintas alam di Chiba, Jepang, Februari lalu, Abebe menduduki tempat pertama -- - prestasi ini menempatkan dirinya di peringkat satu pelari lintas alam dunia. Namun, Maret lalu, di kejuaraan dunia lintas alam di Antwerpen, Abebe hanya sanggup menduduki peringkat kesembilan. Abebe belum punya mobil, motor pun tidak. "Saya sedang berencana membeli mobil. Motor sangat berbahaya karena angin di Tigray sangat kencang," katanya. Sekarang ini, dari rumah ke tempatnya bertugas, ia menempuh perjalanan dua kilometer dengan jalan kaki, padahal ada bis dan taksi. Ambisi besar Abebe adalah menjuarai lomba 10 km di Olimpiade Barcelona 1992. "Setelah itu saya akan menikah," ujar pemuda yang mengaku sudah punya pacar di kampungnya ini. Niat besar lainnya tentu saja memecahkan rekor dunia. Ini yang tak kesampaian di Borobudur. "Sejak kilometer kedua, saya sudah di depan, tak ada yang bisa mengejar saya," ujarnya. Dalam latihan, Abebe bisa berlari 2,41 menit untuk tiap kilometer, dan staminanya yang luar biasa membuat ia bisa bertahan di kecepatan tadi. Juara Bali 10 K 1988, John Ngugi, yang mencatat waktu 27,88 menit, tadinya diharapkan jadi "penarik". Namun, pelari Kenya itu sakit dan tak datang ke Borobudur. Yang juga membuat Abebe tak berhasil memecahkan rekor adalah mobil dan motor panitia. "Mobil itu benar-benar menghalangi saya di tikungan (Kali Progo). Mobil dan motor panitia itu seharusnya berjarak 15 meter. Lutut saya hampir saja kena motor polisi, kalau saya tak menghindar. Asapnya juga mengganggu sekali," ujar Abebe. Gangguan lain datang dari helikopter yang terbang terlalu rendah, sampai, "mata saya kemasukan debu." Tahun depan, katanya meyakinkan, "saya akan datang untuk memecahkan rekor dunia." Laporan Adjie Surya, Sri Wahyuni, dan R. Fadjri (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini