Tasrif gigih berjuang untuk hak asasi dan demokrasi. Kebebasan pers berarti tanpa surat izin, sensor, dan bredel. Dialah konseptor Kode Etik Jurnalistik. BEBERAPA pengacara, mengenakan toga hitam, berjajar di bibir liang lahad ketika keranda berselimut hijau tua diturunkan pelan-pelan. Sejumlah wartawan dan masyarakat berjubel di pemakaman Jeruk Purut, Jakarta Selatan, melepas keberangkatannya. Dialah Suardi Tasrif, S.H., pengacara dan wartawan. Ia wafat Rabu pekan lalu, dalam usia 69 tahun, setelah mengidap kanker hati. Sesungguhnya, Tasrif sudah siap menghadapi sang maut. Ketika masih dirawat di rumah sakit Mitra Keluarga, ia sempat menulis sepucuk surat kecil kepada istrinya, Ratna Hadjari Singgih. "Saya berangkat dengan kereta yang lebih awal. Jangan kuatir, akan saya tunggu kamu di stasiun berikut...," tulisnya. Seminggu sebelum wafat, ia minta diizinkan pulang. "Saya ingin mati di rumah," katanya. Agaknya, ia merasa harapan untuk hidup kian tipis. "Tubuhku sudah rapuh, tapi semangat hidupku masih menyala," katanya kepada rekannya, sesama wartawan senior, Rosihan Anwar. Sampai hari-hari terakhirnya, Tasrif masih punya perhatian besar terhadap persoalan yang bergolak di masyarakat. Ia selalu minta dibacakan berita-berita yang menarik, seperti soal Forum Demokrasi. Di rumah sakit ia minta dibacakan ayat-ayat Quran oleh Puspita Rani, 30 tahun, anak perempuan satu-satunya. Lahir 3 Januari 1922 di Cimahi, Jawa Barat, Suardi -- yang belakangan lebih beken dengan nama ayahnya, Tasrif -- meninggalkan seorang istri, enam anak, dan delapan cucu. Garis hidupnya dipengaruhi dua tokoh nasionalis: M. Tabrani dan Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo. Ia mengagumi Tabrani, pemimpin redaksi Pemandangan, yang tangguh menghadapi penjajah. Ia mengagumi Mr. Iskaq, advokat yang membela Bung Karno di pengadilan kolonial Bandung 1930. Baginya, kedua profesi itu sama-sama mendukung misi memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Karenanya, dalam hidupnya ia mengabdikan diri untuk kedua profesi itu. Pada awal revolusi, Tasrif menjadi wartawan Arena di Yogya, kemudian pindah ke Jakarta memimpin harian Berita Indonesia. Secara kebetulan ia menggunakan kantor Tabrani, yang kelak diangkat sebagai perintis pers. Dan ketika beralih profesi jadi advokat, ia magang di kantor Mr. Iskaq. Pada zaman demokrasi liberal, tahun '50-an, Tasrif, yang ketika itu memimpin harian Abadi, merupakan seorang dari empat serangkai yang gigih memperjuangkan demokrasi dari dominasi politik PKI. Tiga yang lain: B.M. Diah (Merdeka), Rosihan Anwar (Pedoman), dan Mochtar Lubis (Indonesia Raya). Tasrif boleh dikatakan sebagai peletak dasar "kepribadian" pers modern dan cita-cita penegakan hukum. Dialah wartawan Indonesia pertama yang mengajarkan bahwa berita harus berdasarkan fakta, lepas dari opini. Juga nilai-nilai moral, seperti pantangan bagi wartawan menerima imbalan atas penulisan berita. Ini dituangkan dalam Kode Etik Jurnalistik 1954. Ide itu, menurut Rosihan, dipetiknya dari konperensi International Press Institute di Paris, 1952. Ketika itu, ia berangkat bersama Rosihan dan Mochtar. Usai konperensi, mereka mengunjungi beberapa negara. Perjalanan mereka kemudian diterbitkan oleh Kementerian Penerangan, berjudul Ke Barat dari Rumah -- reportase menarik yang ketika itu langka. Menurut Rosihan, tanpa tedeng aling-aling almarhum berpendapat bahwa kebebasan pers berarti tanpa surat izin terbit, sensor, bredel. "Ia prototipe wartawan Indonesia yang punya cita-cita, komitmen terhadap kemanusiaan dan kerakyatan," kata pemimpin redaksi Kompas, Jakob Oetama. Kariernya sebagai advokat sangat menonjol. Tahun 1974 ia membela Hariman Siregar dalam kasus Malari. Ia dikenal sebagai pendiri dan Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan perancang AD/ART Ikadin (Ikatan Advokat Indonesia). Ia juga anggota beberapa organisasi advokat internasional seperti International Bar Association. Meski tak lagi aktif di pers, sejak 1962, Tasrif masih menulis kolom. Tahun 1978-1983 ia diangkat sebagai Ketuai Dewan Kehormatan PWI, lembaga pengawas pelaksanaan kode etik. Buku-bukunya, Jalan Kembali (kumpulan cerpen), Menegakkan Rule of Law di Bawah Orde Baru, Sejarah Negara Madagaskar: Merina dan Bunga Rampai Filsafat Hukum. Perhatiannya untuk hak asasi manusia dan demokrasi sangat besar. Menurut Tasrif, dalam seminar hukum ke-4 BPHN 1979, memang tak semua butir Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB 1948 tercantum dalam UUD 1945. Namun, ia bersyukur -- - setelah debat panjang antara Bung Karno-Supomo dan Bung Hatta-Moh Yamin ketika menyusun UUD 1945 -- terumus pasal 28 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Untuk menjamin demokrasi, Tasrif mengusulkan adanya mekanisme kontrol, misalnya pemberian hak uji material atas UU kepada Mahkamah Agung, pembentukan suatu mahkamah konstitusi, atau alternatif lainnya. Di bidang hak asasi, ia ingin agar hak dasar manusia itu berkembang dari sekadar moral rights menjadi positive rights, dan harus dihormati sampai kapan pun. Budiman S. Hartoyo, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini