Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Cara ’Terbuka’ Menuju Laga Dunia

Untuk biaya berlaga ke Olimpiade, para atlet terpaksa menerima sponsor dari klub tari telanjang, berfoto bugil, bahkan menari tanpa busana. Menjadi muncikari pun oke.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah rumah bordil baru nan mewah dengan 14 kamar mulai beroperasi awal bulan lalu di kawasan ”lampu merah” terkenal Selandia Baru, K Road, Auckland. Puluhan gadis pendamping ”Yang cerdas, menarik, dan bukan sekadar ’daging’,” begitu promosi pemiliknya—melayani lelaki hidung belang dengan bayaran 500 dolar Selandia Baru (sekitar Rp 3,3 juta) untuk dua jam, atau 2.500 dolar Selandia Baru untuk satu malam.

”Kami menyebutnya klub untuk pria kelas atas,” kata Logan Campbell, pemi lik rumah bordil bernama 25 Cross Street itu, yang kini menjadi salah satu yang terbesar di Negeri Kiwi. ”Ini bukan klub tingkat negara dunia ketiga. Ka mi memberikan segala layanan berkelas untuk pelanggan, dari rokok, sopir, petugas keamanan, sampai kondom.”

Lelaki 23 tahun itu mempromosikan usahanya bak orang yang sudah belasan tahun menggeluti bisnis sejenis. Padahal Campbell ”pemain baru”. Dia lebih tersohor di dunia sabuk hitam bela diri. Pria berambut cepak ini atlet taekwondo Selandia Baru untuk kelas bulu dalam Olimpiade Beijing 2008.

Memegang gelar Korea Terbuka 2008 tak membuat Campbell mudah mendapat sponsor. Kantongnya tetap tipis, bokek. Biaya selama di Beijing, yang mencapai 150 ribu dolar Selandia Baru (sekitar Rp 987 juta), ditanggung sang ayah, Max, seorang juru lelang. ”Keinginan ibu saya membangun dapur baru selama sepuluh tahun ini tak terwujud karena uangnya habis untuk keperluan saya,” ujar Campbell.

Lalu dia pun mendirikan usaha rumah bordil bersama rekannya, Hugo Phillips, 20 tahun, seorang sarjana akuntansi, dengan niat mengumpulkan uang untuk menghadapi Olimpiade London 2012. Jangan khawatir, prostitusi adalah bisnis legal di Selandia Baru.

Campbell membutuhkan sekitar 300 ribu dolar Selandia Baru (sekitar Rp 1,9 miliar) untuk bisa mempersiapkan diri dengan baik dalam Olimpiade London 2012. ”Saya membuka bisnis ini dengan alasan yang tepat. Saya perlu uang untuk biaya latihan dan mengikuti tur pertandingan ke Asia serta Eropa, baik untuk saya maupun untuk pelatih dan dokter,” katanya.

Belum ada ”tangan mukjizat” bagi Campbell seperti yang terulur kepada Mohini Bardwaj di awal kariernya pada pertengahan 1990-an. Di tengah kesulitan keuangan yang menimpa keluarga Bardwaj atlet senam Amerika Serikat keturunan India artis Pamela Anderson tiba-tiba menyodorkan uang US$ 20.000 (sekitar Rp 198 juta) kepada Mohini. Hasilnya, Mohini meraih perak nomor artistik dalam Olimpiade Athena 2004.

Faisal juga beroleh jalan menyenangkan setelah setahun gagal mendapat uang dengan cara menjual mobil Ferrari 328 GTS keluaran 1989 miliknya. Dia ingin menjadi atlet Irak pertama yang berlaga di Olimpiade Musim Dingin. Pemuda yang sejak remaja tinggal di Australia ini menekuni nomor slalom ski es, jenis olahraga yang ganjil untuk orang Irak. Untungnya, sejak Kejuaraan Dunia Ski pada Maret lalu, pemerintah Irak bersedia mendanainya. ”Setahun lagi saya mewa kili Irak (di Olimpiade Musim Dingin Vancouver, Kanada),” kata atlet di peringkat 28 dunia untuk jenis olahraganya itu.

Campbell belum seberuntung Mohini dan Faisal. Secara keseluruhan, kondisi keuangan para atlet Selandia Baru memang mengenaskan. Sementara atlet dari negara lain ramai-ramai mendapat bonus saat meraih emas di Olimpiade, atlet Negeri Kiwi tidak. Mereka cuma mendapat uang pembinaan secara berangsur. Itu pun bila mereka berlatih di pemusatan latihan.

”Negeri kami memang berbeda,” kata Marty Toomey, Manajer Peningkatan Prestasi SPARC (Sports and Recreation), lembaga yang ditunjuk pemerintah Selandia Baru untuk mengurusi olahraga. ”Bila meraih emas, kami tak bisa langsung pulang dan membeli mobil baru,” kata Marty. Campbell sebenarnya berhak atas 15 ribu dolar Selandia Baru (sekitar Rp 98 juta) karena tampil dalam 16 besar Olimpiade. Namun uang ini tak jua sampai ke tangannya.

Kondisi itu sudah berlangsung di Selandia Baru dari dekade ke dekade. Ditambah dengan sulitnya mendapatkan sponsor, para atlet kerap berangkat ke sebuah kejuaraan dengan kantong tipis. Situasi rumit itu memaksa dua atlet wanita dari era 1990-an, perenang Toni Jeffs dan pebalap sepeda Nicole Tasker, ”zig zag” memasuki wilayah abu-abu.

Dalam Olimpiade 1992 Barcelona, Jeffs berangkat dengan disponsori Brian le Gross, pemilik klub malam tari telanjang terbesar di Selandia Baru. Klub Le Gross, bernama The White House, terletak di Auckland. Cara Tasker lebih memilukan. Dia menari erotis di pangkuan pengunjung sebuah klub malam, juga di Auckland, pada 1999 untuk mencari uang guna berangkat ke Olimpia de 2000 Sydney. Tentu saja, Tasker bertelanjang bulat.

Sementara Jeffs dan Tasker ”lolos” dengan membawa ”uang panas”, masa depan Campbell malah terancam. Federasi Taekwondo Selandia Baru (TNZ) tak mencantumkan namanya di daftar kontingen yang akan berlaga dalam Kejuaraan Dunia di Denmark pada Oktober nanti.

Alasannya, ”Logan belum pernah berlatih dan saya ragu apakah dia masih berkonsentrasi pada taekwondo,” kata Matt Ransom, salah seorang peng urus TNZ. Manajer Dana TNZ, John Schofield, lebih transparan mengenai penye babnya. ”Seleksi atlet bukan cuma menghitung prestasi, tapi juga kemampuan si atlet untuk menjadi contoh bagi generasi muda,” kata Schofield.

Bisnis prostitusi masih menjadi persoalan sensitif bagi TNZ, juga bagi keseluruhan masyarakat Selandia. Sebagai gambaran, parlemen mengesahkan legalitas bisnis prostitusi enam tahun lalu dengan perbandingan suara sangat tipis, yakni 60-59, dengan satu anggota abstain.

Max dan istrinya, orang tua Campbell, sempat mengalami dilema. ”Ibu merasa ragu sebelum bertemu gadis-gadis itu. Beberapa orang dari mereka mengunjungi Ibu. Akhirnya Ibu sadar, para gadis itu selayaknya manusia normal yang ingin membantu anak dan keluarganya.”

Ayah-ibu Phillips, rekan bisnis Campbell, idem ditto. Mereka pengacara. ”Mama sebenarnya tidak antusias, tapi dia mengatakan akan tetap mewakili saya di pengadilan bila terjadi masalah,” kata Phillips.

Dukungan keluarga juga didapat para atlet biathlon putri Kanada. November lalu, lima orang dari mereka harus menahan dingin untuk melakukan sesi pemotretan untuk kalender 2009. Mereka dipotret tanpa busana. Pada November, kalender US$ 25 (sekitar Rp 248 ribu) per eksemplar itu dicetak 5.000 lembar. Awal Januari, 1.000 eksemplar tambahan beredar di pasaran.

Biathlon, gabungan dari menembak dan ski lintas alam, tak sepopu ler nomor ski lintas alam. Sementara ski lin tas alam mendapat dana US$ 1,1 juta, biathlon cuma memperoleh US$ 287.325 dari pemerintah. Hasil penjual an ka lender itu digunakan untuk menutup kekurangan dana yang mereka perlukan untuk berlaga di Olimpiade Musim Dingin 2010.

Para atlet biathlon ini meniru langkah atlet putri Kanada ski lintas alam dan rugbi yang terlebih dulu melakukannya pada awal 2000-an. ”Keluarga saya membantu penjualan kalender. Saya senang sekali,” kata Megan Tandy, salah satu atlet biathlon. ”Ini bukan sekadar mengumpulkan uang. Kami juga mempromosikan gaya hidup sehat dan betapa indahnya tubuh atlet yang bergaya hidup sehat,” ujar rekannya, Rossana Crawford.

Selalu ada alasan pembenar untuk melakukan sesuatu. Termasuk Campbell, yang tak mau disebut muncikari atau germo, melainkan agen wanita pen damping (lady escort agency). ”Sa ya tahu, banyak orang mengerutkan dahi,” katanya. ”Bila mereka melihat tempat dan cara beroperasi (bisnis saya), pandangan mereka pasti berubah. Mereka harus melihat betapa bermartabatnya saya mengelolanya.”

Andy Mahaendra (Timesonline, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus