Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font color=#FF9900>Ngejazz Etnis</font> di Benteng Tua

Sebuah festival jazz diselenggarakan untuk pertama kalinya di Indonesia timur. Ikhtiar lain untuk meleburkan elemen etnis.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTENG peninggalan Belanda itu bernama Fort Rotterdam. Terjepit di antara gedung perkantoran dan permukiman di Makassar, kompleks bangunan dari abad ke-16 ini sudah seperti mati saja, meskipun masih berdiri tegak dan sejumlah bangunan di dalamnya dimanfaatkan untuk museum serta pusat budaya dan seni. Tapi tidak demikian keadaannya pada dua hari, Sabtu dan Minggu dua pekan lalu: irama jazz menyelimutinya dan menjadikannya bagaikan hidup kembali—irama jazz yang menggairahkan.

Lihatlah ketika Tohpati tampil pada malam pertama. Memainkan Mori Sambe bersama Nera, band yang didirikan pada 2002, dia menyajikan kombinasi yang bertaut antara smooth jazz dan warna suara Flores yang kental dari sang vokalis, Ivan Nestorman. Mengisi beberapa birama dengan permainan solo pada gitar Sadowski-nya, Tohpati menunjukkan bagaimana jazz pun bisa menyentuh karya musik yang bercerita tentang kepasrahan pada sesuatu yang menyerupai Tuhan: masyarakat Flores menyebutnya Mori.

Tak banyak nada kromatis di situ. Progresi akornya sederhana, dalam minor. Walau begitu, dengan permainannya, Tohpati seperti membubuhkan liriknya sendiri. Seperti puisi untuk Sang Mori.

Inilah salah satu penggalan momen dalam Jazz @ Fort Rotterdam, festival jazz pertama yang diselenggarakan di wilayah Indonesia timur. Kenapa festival? ”Kami ingin memperkenalkan jazz dengan cara lain. Di Makassar kita tidak memiliki tokoh jazz, sehingga sedikit susah untuk mensosialisasi jazz. Ini modus kami untuk memperkenalkan jazz dengan mudah,” kata Hendra Sinadia, Chief One Note Entertainment, penyelenggara festival.

Publikasi festival berbiaya Rp 500 juta yang hanya didukung donatur dan pemerintah Kota Makassar itu sebenarnya tak luar biasa. Billboard besar dipasang hanya di perempatan jalan strategis. Spanduk pun jarang. Tapi pemilihan tempat bersejarah sebagai lokasi festival—terasa eksotis, memang—ikut berperan menjadi semacam magnet dengan daya tarik yang kuat. Selain warga setempat dari berbagai kalangan, terlihat pula turis asing datang menonton. Sekitar 1.800 orang dalam dua hari membayar antara dua pilihan tiket, Rp 75 ribu untuk pertunjukan sehari dan Rp 100 ribu untuk dua hari.

Panitia menyediakan dua panggung dan memilih tema When Jazz Meets Ethnics. Musik jazz meminang elemen etnis dan disuguhkan dalam cita rasa kontemporer. Dan memang begitulah adanya. Tak semua band yang tampil, kombinasi antara mereka yang diundang dari Jakarta dan mereka yang berasal dari Makassar, membawakan jazz mainstream; lebih banyak yang merangkul berbagai genre musik seperti hip-hop dan world music, yang semuanya diramu dengan elemen jazz. Ada cita rasa Makassar, Flores, Bali, bahkan Papua dalam nomor-nomor yang disajikan.

Penampilan Tohpati dan Nera merupakan contohnya. Selain Mori Sambe, mereka membawakan pula Wajogea, Samolime, Nera, Condo the Bird, dan Wongga.

Hampir di setiap lagu, Tohpati bukan saja cekatan menghasilkan vibrasi yang terasa romantis, tapi juga eksotis. Manakala tak bermain solo, dia membubuhkan variasi posisi akor (chord voicing) yang membuang jauh kesan monoton. Pada saat yang lain dia juga sangat efektif memainkan aksen pianissimo dan fortissimo, lembut dan keras, seperti dalam piano (bedanya, dia memainkannya pada bilah fret gitarnya). Sesekali dia memblok beberapa birama dengan hanya satu akor, dan itu pun dia mainkan dengan teknik ritmis, misalnya pada Samolime.

Nera bukan saja menampilkan Tohpati, melainkan juga Gilang Ramadhan. Penggebuk drum yang pernah bergabung dengan Krakatau pada pertengahan 1980-an ini memang dikenal selalu bereksperimen dengan aneka jenis perkusi, khususnya perkusi tradisional.

Dan itulah pula yang dia tampilkan. Pada malam pertama, dia memasukkan warna etnis dari Aceh hingga Papua. Dia, misalnya, menambahkan kenong—berwujud mirip gong berukuran jauh lebih kecil—yang lazim dalam karawitan Jawa. Efek bunyi nong-nong yang dihasilkan membubuhkan suasana Jawa dalam lagu yang dimainkan. Dia juga memasukkan kecrek, yang biasanya dimainkan dominan sebagai bagian dari pengiring tari kecak.

Pada bagian lain dia bahkan menyangkutkan sikunya ke snare drum di depannya untuk menghasilkan tone kendang Sunda: dia memanfaatkan getar setelah memukul selaput drum. Tak ketinggalan, dia juga memunculkan rampak kendang Makassar. Menggebuk kendang Makassar dengan stick drumnya, seolah dia bermain-main dengan warna suara itu. Kombinasi simbal menghadirkan keriuhan dalam setiap pukulan. Kesan etnis sangat kental.

”Warna etnis harus dimunculkan dalam suguhan karya ini, sesuai dengan tema. Ini menjadi daya pikat tersendiri bagaimana kita mengenalkan jazz kepada audiens,” kata Gilang seusai pertunjukan.

Indra Aziz and Bit Box Project punya cara lain. Dalam beberapa nomor karyanya, kelompok ini memadukan jazz mainstream dengan hip-hop, lewat vokalisnya, Billy Tange. Penonton terpukau pada cara Billy memperagakan scat singing atau improvisasi vokal tanpa kata-kata yang jelas dan punya makna, yang memproduksi suara perkusi.

Saat tampil untuk solo, Billy berimprovisasi dengan mulut, lidah, dan tenggorokannya dan menghasilkan suara satu set perkusi tekno. Dengan memainkan tenggorokannya ia bahkan berhasil memproduksi suara robot. Tepuk tangan bergemuruh dari penonton. Mereka meminta Billy mendemonstrasikan kemampuannya lagi. ”Semua produksi suara ini ada tekniknya,” kata Billy usai pertunjukan.

Nomor The Last Train to Jogjakarta adalah etalase yang menyajikan teknik-teknik yang unik lewat berbagai instrumen pendukung. Dibuka dengan suara kereta uap, yang dihasilkan dari mulut Billy, komposisi ini lalu memberikan tempat bagi saksofon, yang dimainkan oleh Aziz. Riza Arshad, pemain keyboard kelompok SimakDialog, membubuhkan elemen yang mempermanis komposisi. Satu per satu instrumen lalu bersahut-sahutan, menjadi seperti dialog. Sesekali Aziz melakukan trik voicing: suara mulutnya mirip sekali dengan saksofon yang dibawanya.

Elemen etnis bukan saja datang dari berbagai band Jakarta. Pada hari kedua, misalnya, ada La’ Biri, kelompok jazz dari Makassar yang berhasil menembus festival Java Jazz di Jakarta tahun ini. Membuka rangkaian pertunjukan di panggung utama, mereka membawakan dua lagu, Cinna Ciniku dan Cincing Banca. Musik mereka tak sepenuhnya jazz mainstream yang patuh pada sinkopasi yang mengagetkan atau improvisasi nada yang rumit. Lagu kedua, Cincing Banca, mengedepankan biola untuk memainkan tema yang mudah ditangkap telinga. Sesudah itu nada-nadanya terbentuk urut. Vokal tak penuh mengisi lagu, tapi kesan melodis dan sedikit perkusif tetap terasa.

Penonton pada hari kedua memang berkurang sedikit, sekitar 850 orang. Mungkin karena pertunjukan hari pertama jatuh pada Sabtu malam. Walau begitu, dengan musisi-musisi yang masih tampil pada hari terakhir, festival pun berhasil merampungkan jadwalnya. ”Syukurlah, Pemerintah Kota Makassar sudah berkomitmen menjadikannya sebagai acara tahunan,” kata Hendra Sinadia. Pesta ditutup dengan penampilan Satriya, drummer berusia lima tahun. Dia berduet dengan Gilang Ramadhan, bermain bersama Nera.

Fort Rotterdam pun lalu kembali sepi.

PS, Ismi Wahid (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus