Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tersesat di Timur

Dokter yang satu ini terus mengembangkan konsep integrated hospital di RSUP Prof Dr R.D. Kandou. Konsep ini menggabungkan pengobatan modern, tradisional, dan holistik.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERGI ke Barat tapi tersesat di Timur. Itulah jalan hidup yang dilakoni Leonard Stefanus Angliadi, 58 tahun.

Alkisah, pada 1992, saat melanjutkan program spesialisasi, Angliadi—panggilan akrabnya—terbang ke Barat untuk mengambil spesialisasi fisik dan rehabilitasi di Universitas Novi Sad, Yugoslavia. Namun, tiga tahun setelah itu, ternyata dia lebih banyak menggumuli ilmu medis dari Cina. Apalagi, di Tanah Air, dia kemudian mengikuti pendidikan dan pelatihan metode pengobatan tradisional yang digelar Departemen Kesehatan.

Langkahnya kian serius dan mantap. Pada 1995, dia mulai merintis unit teknis Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional di rumah sakit terbesar di Sulawesi Utara, Rumah Sakit Umum Pusat Prof Dr R.D. Kandou di Manado. Padahal saat itu dia telah menjabat Kepala Instalasi Rehabilitasi Medik di rumah sakit yang sama—posisi yang masih dipegangnya sampai kini.

Bersama dua koleganya, dr Leonard Ratulangi dan dr Ani Suparmiani, dia terus memperkenalkan dan memperjuangkan hal yang sama. Dan hasilnya terbukti. Setahun berikutnya, Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan saat itu, Hidayat Hardjoprawito, meresmikan lembaga itu menjadi bagian dari pelayanan rumah sakit tersebut. Dan sejak itu, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado, tahun 1980 ini lebih dikenal sebagai dokter yang melayani pengobatan tradisional. Termasuk berbagai cara aplikasi teknik tradisional dan khasiat obat-obatan herbal.

Unik memang, tapi itulah Angliadi. Waktunya sehari-hari lebih banyak dihabiskan dengan memberikan layanan akupresur di poliklinik pengobatan tradisional di rumah sakit itu—meski secara finansial, katanya, pengobatan tradisional tidak mendatangkan keuntungan.

Akupunktur bukan ilmu yang mudah dipelajari, apalagi dengan fasilitas yang minim seperti dialami kolega juniornya saat ini. Satu contohnya, keinginannya agar para dokter yang berminat bisa mengikuti pelatihan akupunktur langsung dari ahlinya di Singapura atau Shanghai tidak bisa dilaksanakan. Alasannya, biaya pelatihannya sangat tinggi. ”Sedangkan bantuan dari pemerintah juga sangat sulit didapat karena mekanisme persyaratan, birokrasi, dan prosedur yang harus ditempuh tidak jelas,” ujarnya.

Namun kesulitan itu tak menghambat kiprahnya. ”Yang penting bisa membantu masyarakat yang ekonominya lemah,” katanya. Kini di kliniknya setiap hari dr Angliadi menerima pasien hingga mencapai seratus orang lebih. Dia dibantu dua orang tenaga akupresur pijat tradisional.

Tak aneh, akibat ketekunan dan kerja kerasnya itu, dia mendapat julukan ”terkun” atau dokter dukun. Dan dia tidak merasa risi. ”Pada dasarnya semua dokter itu adalah dukun. Zaman dulu yang ada hanya dukun,” ujarnya kalem. Bagi Angliadi, yang terpenting, ia bisa ”memperpanjang” hidup pasien-pasien yang datang ke kliniknya.

Hingga saat ini, Angliadi terus mengembang-kan konsep integrated hospital di RSUP Prof Dr R.D. Kandou. Konsep ini menggabungkan pengobatan modern, tradisional, dan holistik, yakni peran agama dalam penyembuhan. Di samping itu, dia rajin melakukan berbagai penelitian dan kajian uji klinis obat-obatan tradisional bersama peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.

Satu cita-citanya, kelak Universitas Sam Ratulangi membuka program studi traditional medicine di fakultas kedokterannya. Caranya bisa dilakukan lewat kerja sama dengan perguruan tinggi di luar negeri yang membuka program semacam itu.

”Agar bisa menghasilkan dokter yang betul-betul profesional dan mempunyai kemampuan akademik untuk mengembangkan dan merespons kebutuhan pengobatan tradisional serta semua dampak yang ada di masyarakat,” ujarnya. Ya, dokter yang telah melawat ke Barat itu telah kembali dengan oleh-oleh istimewa: kedokteran dari Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus