Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=1 color=brown><B>Ketua Kelompok Kerja Pelayanan Pengobatan Komplementer-Alternatif, Merdias Almatsier: </B></font><BR />Dokter Jangan Jadi Dukun

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter spesialis saraf lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Merdias Almatsier, adalah seorang "penjaga gawang". Dia mengepalai Kelompok Kerja Pelayanan Pengobatan Komplementer-Alternatif, yang bertugas menyeleksi cara pengobatan nonkonvensional-alternatif atau komplementer-yang bisa diterima secara biomedis atau sesuai dengan teknik dan kaidah medis.

Mantan Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta ini memimpin tim ahli, termasuk dokter dari Ikatan Dokter Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia. "Ahli pengobatan tradisional seperti sinse tidak masuk kelompok kerja," ujar pria kelahiran Lampung 65 tahun lalu itu. Tugas tim ini: menjaga "agar dokter tidak menjadi dukun".

Agung Sedayu dan Ahmad Taufik dari Tempo mewawancarai Merdias di kantor Konsil Kedokteran.

Bagaimana pengobatan konvensional bisa diterima dalam sistem kesehatan kita?

Pengintegrasian. Namun itu ada dasarnya. Pengobatan nonkonvensional memiliki dasar biomedis sehingga bisa dipahami ilmu kedokteran Barat. Untuk bisa diintegrasikan, harus ada keputusan Menteri Kesehatan. Setelah dilakukan peninjauan dan lolos, nanti menteri yang memutuskan.

Sampai saat ini yang sudah bisa diintegrasikan secara resmi itu ada tiga: akupunktur, hiperbarik, dan herbal. Kami sedang menyusun kriteria pengobatan herbal agar sesuai dengan persyaratan kedokteran Barat, yaitu evidence based medicine, ilmu pengobatan berdasarkan bukti. Jadi, kalau ada bukti, berarti ada alat pembuktian, level of evidence-nya harus cukup tinggi agar bisa dipertanggungjawabkan.

Pengujian untuk menilai apa?

Pengujian untuk menilai tiga aspek: apakah secara signifikan tinggi tingkat efektivitasnya, tinggi tingkat keamanannya, dan seberapa terjangkau oleh masyarakat. Misalnya obat-obatan. Akan dilihat bagaimana efektivitasnya yang telah dibuktikan, jadi bukan hanya "katanya". Memang tidak mesti setinggi standardisasi pengobatan Barat, tapi lumayan tinggi. Lalu apakah aman dan minim efek samping.

Bagaimana posisinya terhadap pengobatan Barat?

Misalnya akupunktur. Sifatnya komplementer. Artinya, pengobatannya dengan ilmu kedokteran, diagnosis dengan cara Barat, terapinya dengan akupunktur. Diagnosisnya tidak menggunakan yin dan yang. Sebab, yin dan yang belum masuk ilmu kedokteran.

Kalau mau menggunakan metode itu (yin dan yang), silakan, tapi di luar rumah sakit. Sebab, di rumah sakit, yang mengobati harus tetap dokter. Enggak ada tenaga pengobat yang bukan dokter yang punya hak mengobati di rumah sakit. Ada Undang-Undang Praktek Kedokteran, peraturan mengenai rumah sakit. Semua menjamin yang mengobati adalah dokter. Yang lainnya boleh membantu dokter, tapi harus berpendidikan, tidak bisa yang hanya terlatih dalam pengobatan tradisional. Intinya, semua harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Beberapa tahun silam, ada dokter yang dipecat karena menggunakan ramuan buatan sendiri untuk mengobati seorang pejabat tinggi negara. Sekarang masyarakat bisa menerima teknik pengobatan seperti itu. Ini bagaimana?

Masalahnya, waktu itu dokter tersebut tidak terbuka cara pengobatannya. Apa yang diberikan kepada pasiennya tidak disebutkan. Ini soal etika. Juga tidak jelas yang diberikan itu kandungannya seperti apa.

Kami tidak tertutup, asalkan jelas efektif, jelas aman, dan jelas bisa terjangkau harganya. Itu semua diketahui melalui penelitian.

Dokter jangan jadi dukun. Mereka bisa berhadapan dengan Konsil Kedokteran dan bisa kena sanksi. Kalau dokter menambahkan pengobatan dengan cara alternatif, ia juga harus memiliki dasar ilmu pengetahuan alternatif yang dia terapkan itu. Jadi tidak hanya sekadar memberikan pengobatan. Terkun (dokter dukun) itu kan hanya memberikan obat atau mengobati dengan cara tidak jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus