DUA tiket tinju ke Olimpiade Barcelona sudah pasti direbut Indonesia. Satu untuk Hendrik Simangunsong (kelas menengah ringan) dan sebuah lagi buat Albert Papilaya (menengah). "Saya sudah siap mental dan fisik ke Barcelona. Tapi soal kans, saya belum bisa ngomong. Soalnya, kemampuan petinju Asia merata, juga Eropa," kata Albert, 24 tahun. Tapi ia berjanji tak mau gugur di babak-babak awal. Tekad ini sudah dibuktikan di Turnamen Tinju Piala Seoul. Albert mencapai final. Sayang, ia kalah angka oleh petinju tuan rumah, Lee Sungbae, Selasa malam pekan lalu. "Saya dicurangi. Waktu itu saya sudah menang mutlak, lalu dapat warning dari wasit tanpa saya tahu apa kesalahan saya. Point saya akhirnya dikurangi," kata Albert. Dan kubu Indonesia tak perlu protes. Sebab turnamen itu hanya uji coba. Sasaran utama adalah Barcelona. Asia kebagian jatah 66 petinju, dua di antaranya petinju Indonesia: Hendrik yang menjadi juara Asia di Bangkok awal Maret dan Albert juara di turnamen Filipina awal bulan ini. Sebelum bertarung di Barcelona, mereka dikirim ke Jerman didampingi pelatih kepala Zulkaryono. Jadi dari Seoul tak perlu pulang kampung tapi langsung ke Jerman. Maksudnya agar kedua petinju, "Merasa perang belum selesai. Atau kalau sebagai pekerja merasa kerjaan belum selesai dan tak perlu pulang ke rumah dulu," kata Mohammad Dahlan, wakil komandan pelatnas. Jerman jadi pilihan karena petinju Indonesia sudah terbiasa ke sana. Kelebihan Jerman adalah, "Mulai dari komunikasi, latihan, fasilitas, makanan, dan lingkungannya memenuhi syarat," kata Dahlan. Selain itu, sirkuit tinju di Eropa yang gampang dicapai melalui darat dari Jerman punya jadwal pasti. Selain atlet tinju, di Jerman juga ada atlet senam, balap sepeda, dan atletik Indonesia. "Ada semangat, ada gairah, dan ada nilai tambah yang saya lihat," kata Dahlan tentang pelatnas di Jerman itu. Pertimbangan lain, di sana ada pelatih Helmut Kruger, yang dulu menangani petinju Indonesia. "Kruger kan bisa dijadikan semacam konsultan," katanya. Soal makanan pun dijamin memenuhi syarat kebutuhan atlet. Malah kasarnya, kata Dahlan, jika petinju di sini makan hanya memakai mulut, di sana diciptakan memakai "otak". Sebagai contoh, di sini tersedia nasi sebakul, sayur, ikan, atau daging, maka yang dimakan hanya sesuai selera mulut atlet. Artinya, yang tak disenangi tak akan disentuh. Berbeda dengan di Jerman. Porsi makanan di sana kecil-kecil tapi teratur dan komplet. Mulai dari makanan pembuka sampai makanan penutup: susu, keju, roti, sop, semua bisa diludeskan. "Kondisi dan situasi menuntut kita harus memakannya," kata Dahlan. Yang penting lagi, dengan berlatih di Jerman itu, baik Hendrik maupun Albert diharapkan terbiasa jika menghadapi petinju asing. Mental mereka pun diharapkan jauh lebih siap lantaran, "Sering nggebuki atau digebukin bulebule," kata Dahlan. Adakah gemblengan itu akan menghasilkan lebih baik, wallahualam. Yang pasti, menurut Albert, ia sudah sering menghadapi petinju asing. Dan soal teknik dan stamina ternyata tak ada yang perlu ditakutkan. Rindu kampung halaman juga bukan lagi halangan. Albert kini justru mengkhawatirkan soal izin kerjanya. "Izin saya cuma sampai tanggal 5 Mei. Itulah yang saya takutkan," kata Albert yang anggota Brimob ini. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini