DISADARI atau tidak, otak manusia disisipi oleh butir-butir kristal yang amat kecil dan keras. Jumlahnya pun luar biasa. Setiap gram jaringan otak mengandung paling tidak lima juta butir kristal. Padahal, berat otak orang dewasa rata-rata 1,5 kg. Yang istimewa, butiran kristal itu mempunyai sifat seperti besi berani yang disebutnya magnetit. Ini memancarkan medan magnet dan mampu berinteraksi dengan magnet lain. Penemuan penting ini diumumkan oleh Joseph Kirschvink, seorang guru besar biologi dan geologi di California Institute of Technology, dua pekan lalu. Profesor Kirschvink yang baru berumur 38 tahun itu berhasil mengungkap magnetit pada otak manusia, yang berat seluruhnya cuma 1/1000 gram, setelah hampir 20 tahun menggumuli biomagnetik halihwal kekuatan magnet yang ada pada material jasad hidup. Hasil penemuan terbaru Joseph Kirschvink, yang biasa dipanggil Joe itu, membuka cakrawala baru dalam dunia biomagnetik. Sebelumnya, dia cuma bisa menjumpai bahan magnetik itu pada binatang tertentu seperti lebah, ikan paus, tuna, dan salmon. Tentang peranan kristal magnetik dalam otak manusia itu, Joe mengaku belum mampu mengungkapnya. "Masih merupakan misteri," ujarnya. Namun, dia mempunyai hipotesa bahwa kristal-kristal itu berperan sebagai kompas, sensor yang membuat manusia tak mudah kehilangan arah. Dengan kata lain, kristal magnetik ini yang membuat orang punya kepekaan agar bisa berjalan dari satu tempat ke tempat lain, dan pulang kembali ke tempat asal. Ia sebelumnya meneliti otak ikan salmon yang sering berkelana ribuan kilometer dari habitatnya ke tempat bertelur di hulu sungai. Mereka sanggup kembali ke tempat semula tanpa nyasar. Menurut teori Joe, sepanjang perjalanan kristal magnetik itu bertindak sebagai sensor yang sanggup mengukur intensitas gaya magnet dari sumber magnet bumi di kutub utara dan selatan. "Tarikan" pada kristal magnetik itu direkam dalam otak, dijadikan semacam peta. Pada waktu balik, mereka tinggal menyusuri peta di memori otaknya. Hal sama terjadi pada lebah. Fungsi magnetik pada lebah, Joe pernah menelitinya, dengan dibantu oleh istrinya yang berdarah Jepang, Atsuko Kobayashi-Kirschvink. Rute kawanan lebah pekerja dari sarang ke kebun bunga tempat mencari nektar nyaris tak berubah dari hari ke hari. Kemudian Joe memasang sumber magnet yang kuat. Tentu saja, muncul medan magnet baru yang mengganggu jalur magnetik lebah-lebah itu. Mereka harus berputar-putar dahulu sebelum menemukan kebun bunga. Ini diulanginya pada hari-hari berikutnya. Joe memang bukan perintis riset biomagnetik. Dia baru tertarik bidang ini 20 tahun lalu, ketika duduk pada tingkat pertama di California Institute of Technology, setelah menyaksikan fosil moluska primitif yang mengandung kristal magnetik. Pada masa itu, riset biomagnetik memang belum maju. Penemuan magnetik masih sebatas pada kelompok-kelompok bakteri yang hidup di perairan, laut dan danau. Kristal-kristal magnetik itu, pada penafsiran Joe, diperlukan oleh bakteri untuk mengangkat atau menurunkan tubuhnya ke dalam air agar mendapatkan oksigen yang paling pas. Joe habis-habisan meriset soal biomagnetik itu setelah dia lulus doktor dari Unversitas Princeton pada 1981, dan kembali ke California Institute of Technology (Caltech), sebagai peneliti. Di Caltech, dibangunlah lab istimewa berlapiskan logam antimagnet, bebas dari pengaruh medan magnet bumi dan sumber magnet lain, seperti kawat listrik bertegangan tinggi. Di situ Joe juga memiliki detektor magnet yang sangat peka. Di lab itulah Joe mencoba mencari kristal magnetik pelbagai spesimen jaringan otak, dari serangga, ikan, reptilia, mamalia, sampai ke manusia. Mulanya, Joe beranggapan bahwa kristal magnetik itu bakal mudah dijumpai pada semua otak hewan yang gemar kelayaban. Ternyata, ia tak menemukannya di otak burung dara, penyu, kupu-kupu, dan kelelawar. Kendati demikian, penemuan magnetit pada otak manusia membuat Joe tambah beken. Namun, banyak ilmuwan yang meragukan penemuan Joe. Buletin ilmiah bergengsi terbitan Amerika, The Nature dan The Science, menolak untuk menerbitkan penemuan itu. Lynn Margulis, ahli biologi dari University of Massachusetts, menanggapinya dengan ragu. "Kirschvink memang peneliti yang dapat diandalkan. Tapi agaknya dia perlu bantuan ahli lain agar tak mengambil kesimpulan secara sembrono," katanya. Tokoh semacam Margulis memang keberatan dengan anggapan Joe, bahwa magnetik itu bisa berperan serbagai sensor penunjuk arah pada lebah, ikan salmon, atau manusia. Metode penelitian Joe dianggap kurang memadai, mengesampingkan unsurunsur seperti kondisi lingkungan setempat, struktur otak dan organ pengindera dari obyek penelitian. Joe bukannya tak menyadari kelemahan risetnya. Joe kemudian menemukan bahwa magnetit itu telah hadir sejak awal dunia diciptakan nun bermilyar tahun silam. Berbekal kristal magnetit, kata Joe, makhluk perdana di muka bumi, yang berbentuk jasad renik sel tunggal, bergerak mencari oksigen dan makanan. Lewat proses evolusi, magnetit itu diturunkan kepada makhluk masa kini, manusia atau hewan. Fenomena kanker otak sering dikait-kaitkan dengan pengaruh medan magnet dari kawat listrik, komputer, dan layar televisi. Ada kemungkinan, kata Joe, medan magnet "jadian" itu merusak orientasi kristal magnetik, sehingga membuat sel otak sakit. Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini