Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bernando Nunes tiba-tiba melesat menembus barisan petugas keamanan yang berdiri rapat di pinggir lapangan sepak bola Granja Comary di Teresopolis, Brasil, Selasa pekan lalu. Bocah 8 tahun itu cepat menghampiri para pemain tim nasional Brasil yang tengah berlatih. Merasa kecolongan, dua petugas segera mengejar dan meringkus sang bocah.
Nunes meronta dan menangis. Ia ogah diseret ke luar lapangan. Saat itulah dewa penyelamat datang: Neymar da Silva Santos Júnior. Dia berlari menghampiri dan meminta kedua petugas melepaskan Nunes. Neymar bahkan mengajak sang bocah berfoto bersama para pemain lain. Klik!
Peristiwa itu pun memancing simpati ratusan orang yang berjejalan di pinggir lapangan. Mereka bertepuk tangan meriah.
Berlatih di kawasan perbukitan Granja Comary yang sejuk dalam rangka menyongsong perhelatan Piala Dunia 2014, tim nasional Brasil memang mempersilakan siapa saja menonton latihan mereka. Pelatih Brasil, Luis Felipe Scolari, juga mengizinkan pemainnya berinteraksi dengan pengunjung.
Scolari sepertinya tak khawatir latihan mereka bakal diintip para lawan. Dia percaya diri Brasil akan menjadi kampiun dalam kontes empat tahunan yang sudah dimulai Kamis pekan lalu itu. Apakah Brasil punya jurus rahasia sehingga merasa tak perlu ngumpet-ngumpet saat berlatih?
Mungkin saja. Yang jelas, perilaku kebanyakan tim lain bertolak belakang dengan kebijakan Scolari. Latihan tim-tim Eropa sulit ditembus wartawan, apalagi penonton biasa. Mereka punya 1.001 cara untuk melindungi diri. Tempo, misalnya, kecele saat bertandang ke tempat latihan tim nasional Belanda di Flamengo Stadium di Rio de Janeiro. Seorang petugas sudah mencegat di pintu masuk. "Anda harus membayar 10 real jika ingin masuk," ucapnya. Angka 10 real itu jika dirupiahkan setara dengan Rp 53 ribu. Cukup murah, sebenarnya.
Namun, saat Tempo hendak membayar, pak petugas buru-buru berkata, "Saya pikir akan sia-sia jika Anda masuk karena tetap tidak akan bisa melihat mereka." Dia menyebutkan pelatih tim nasional Belanda, Louis van Gaal, memerintahkan panitia menutup pinggir lapangan dengan seng. Maka penonton tetap tak bisa melihat pemain De Oranje-julukan Belanda-berlatih.
Tim nasional Inggris lebih ekstrem. Wayne Rooney dan kawan-kawan memilih berlatih di Ucra, kawasan militer di kaki Gunung Sugarloaf tak jauh dari Rio de Janeiro. "Tidak sembarang orang bisa mendekat," ujar seorang warga kepada Tempo. Kalau di Jakarta, tim Inggris seperti berlatih di lapangan sepak bola di kompleks Halim Perdanakusuma.
Tim Eropa lain yang tak tersentuh adalah Italia. Bermarkas di Portobello Resort & Safari di Mangaratiba, pasukan Gli Azzurri-julukan Italia-punya pintu rahasia untuk menuju lapangan yang tak jauh dari hotel. "Kami selalu berlatih di belakang pintu," kata pemain belakang Giorgio Chiellini kepada Football Italia.
Sterilisasi juga dilakukan tim nasional Rusia di pusat latihan mereka di sebuah kota kecil berjarak 110 kilometer dari Sao Paulo. Sedikitnya 20 petugas keamanan berjaga di San Raphael Hotel, tempat para pemain menginap. Tentara lengkap dengan kendaraan berat juga bersiaga di lapangan latihan.
Tim-tim yang berlatih secara rahasia ini sebenarnya tidak melulu karena cemas terhadap ulah para penggemar. Ada soal lain yang lebih serius, yakni intipan para spionase olahraga yang ingin mengetahui taktik dan strategi lebih dulu. Kisah spionase dalam urusan bal-balan bukan isapan jempol.
Silakan bertanya kepada Roy Hodgson. Pelatih tim nasional Inggris ini pernah menjadi korban telik sandi musuh saat memimpin Inggris di Piala Eropa 2012 di Kiev, Ukraina. Adalah Ola Billger, wartawan Swedia, yang mengintip Hodgson ketika tengah mempresentasikan taktiknya kepada para pemain. Melalui teropong dari kamar hotelnya di Kiev, Billger mencatat semua presentasi Hodgson dan melaporkannya ke markas tim Swedia.
Entah karena aksi ini entah bukan, faktanya Inggris hanya mampu menang tipis 3-2 atas Swedia saat itu. Belajar dari pengalaman, Hodgson kini memilih Ucra sebagai tempat berlatih. Barangkali ia berpikir, siapa sih yang nekat akan memata-matai mereka di kawasan tentara itu?
Jerman juga pernah kebobolan. Beberapa jam sebelum melawan Yunani di perempat final Piala Eropa 2012, formasi dan susunan pemain mereka sudah bocor ke media. Jerman memang memenangi laga itu. Namun sampai kini mereka tak pernah tahu siapa pembocor informasi tersebut.
Pergerakan para telik sandi ini berlanjut hingga ke Piala Dunia 2014. Akhir Mei lalu, misalnya, seorang pria asal Jerman kepergok memata-matai latihan tim nasional Kroasia di Bad Tatzmannsdorf, Austria. "Dia bersembunyi di bawah tiang lampu, lalu mengeluarkan buku kecil dan mulai menuliskan sesuatu," ujar Alen Lesicki, wartawan Kroasia kepada Jutarnji List. Petugas keamanan kemudian menangkapnya.
Saling mengintip kekuatan tak hanya dilakukan tim besar. Kosta Rika, misalnya, tim lemah wakil Amerika Tengah, menyiapkan tiga spion untuk mengendus kekuatan lawan. Pelatih Kosta Rika, Jorge Luis Pinto, mengatakan ketiga orang itu dikirim untuk menggali informasi sebanyak mungkin mengenai tim Uruguay, Italia, dan Inggris-ketiganya berada di Grup D bersama Kosta Rika.
Maraknya aksi mata-mata ini, menurut antropolog asal Brasil, Robert Da Matta, lantaran tim sepak bola saat ini, terutama tim Eropa, lebih mengandalkan sistem permainan ketimbang kreativitas dan keterampilan individu pemain. Pakem ini membuat sepak bola menjadi mirip lembaran soal di buku matematika: semua jawaban harus sesuai dengan rumus. Jika rumus sampai bocor ke tangan lawan, serangan dan pertahanan sepelik apa pun gampang diurai. Maka kini kita tahu kenapa kebanyakan tim Eropa memilih mengasingkan diri saat turnamen.
Tapi semua itu tak berlaku bagi Brasil. Dalam bukunya yang berjudul O que faz o Brasil, Brasil?, Da Matta menulis ada sesuatu dalam sepak bola Brasil yang membuatnya berbeda dari gaya bermain Eropa. Itulah jeitinho!
Jeitinho bermakna "jalan lain". Filosofi ini lahir dari perlawanan warga Brasil terhadap pengekangan orang kulit putih pada masa lalu. "Jeitinho membuat orang berpikir kreatif untuk keluar dari kesulitan," tulis Matta. "Jalan lain" ini membuat sepak bola Brasil menjadi antitesis sepak bola Eropa yang mirip permainan catur: serba terukur dan sistematis. Brasil lebih mengandalkan spontanitas dan kreativitas pemain.
Filosofi ini kemudian menjadi rahim lahirnya joga bonito: gaya bermain "acak" tapi indah. Inilah gaya yang membuat penonton tak hanya bersorak saat terjadi gol, tapi juga berdecak kagum oleh aksi individu memukau. Sifatnya yang sulit ditebak, individualistis, spontan, dan mengandalkan naluri pemain itulah yang barangkali membuat Big Phil-sapaan Luis Felipe Scolari-tak merasa perlu memagari lapangan dengan seng.
Sebab, kalaupun ada telik sandi di antara penonton, mereka toh tak akan bisa berbuat apa-apa. Sebab, spontanitas dan kreativitas tak bisa dirumuskan. Socrates, legenda sepak bola Brasil, suatu hari pernah berkata, "Orang Eropa memiliki jadwal untuk setahun ke depan, sementara kami bahkan tidak tahu apa yang akan kami lakukan 15 menit ke depan." Sederhananya, jika pemainnya saja tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, lantas apa yang bisa diintip para intel bal-balan?
Tentu saja bukan berarti Neymar cs akan bermain tanpa taktik. Pelatih tetap punya strategi yang menjadi kerangka permainan. Dan, di lapangan, para seniman bola Brasil mengisi bingkai itu dengan spontanitas-spontanitas permainan.
Matahari mulai bergeser ke barat ketika Selecao-julukan tim nasional Brasil-menyudahi latihan hari itu. Nunes pun meninggalkan Granja Comary dengan hati menari-nari. Ia tak menyangka kenekatannya berbuah manis. "Semula saya mengira akan dikirim ke penjara," ucap bocah berkulit cokelat ini tersenyum lebar.
Itu semua karena jeitinho, Amigo!
Dwi Riyanto Agustiar, Irfan Budiman (Brasil)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo