Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Athallah atau Neo adalah anak yang didiagnosis positif autisme sejak usia 22 bulan. Mengetahui putranya autistik, Acieta Arbi mencari referensi yang menggiringnya ke sebuah buku berjudul Untukmu Segalanya. Dari buku karangan Karyn Seroussidengan judul asliUnraveling the Mystery of Autism and Pervasive Developmental Disorder itu, Cieta membaca bahwa makanan yang mengandung gluten dan kasein berpengaruh terhadap perilaku anak autistik. "Saya coba ke Neo," kata ibu dua anak ini, Selasa pekan lalu.
Neo, yang saat itu berusia dua tahun, kemudian diberi camilan dengan kandungan gluten (protein yang banyak ditemui dalam gandum) dan diamati responsnya. "Benar, setelah makan makanan yang mengandung gluten, dia seperti orang yang baru mengkonsumsi morfin," ujar Cieta. Neo kerap menerawang. Dari mulut bocah dua tahun itu terdengar tawa yang keras. "Kadang tiba-tiba kelihatan sedih banget. Kayak orang fly yang pakai morfin," ucap Cieta tentang anaknya yang kini berusia sepuluh tahun itu.
Berdasarkan dua kali percobaan, perempuan 37 tahun ini pun mantap memberlakukan diet bebas gluten dan kasein (protein utama dalam susu hewan) pada anaknya. Tapi diet ini sempat tidak direkomendasikan oleh neurolog anak Hardiono D. Pusponegoro. "Kalau dokter Hardiono memang tidak menyarankan diet," ujarnya. Keyakinan Hardiono tentang tidak perlunya anak penyandang autisme melakukan diet bebas gluten dan kasein itu kemudian ia tuangkan dalam disertasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun lalu.
Pada disertasi berjudul "Hubungan antara Derajat Perilaku Maladaptif dengan Gangguan Saluran Cerna dan Efek Pemberian Suplemen Gluten-Kasein pada Anak dengan Gangguan Spektrum Autism", Hardiono menegaskan bahwa penambahan gluten-kasein tidak membuat anak mengalami peningkatan perilaku maladaptif atau perilaku yang tidak sesuai dengan anak lain seumurnya.
Pendapat Hardiono ini tentu berbeda dengan pendapat banyak ahli. Pendapat mereka itu pula yang dihimpun oleh Cieta, baik lewat mailing list maupun buku-buku yang dibacanya. Karena itu, meski Hardiono tidak menyarankan, Cieta tetap menerapkan diet bebas gluten dan kasein pada Neo.
Diet bebas gluten dan kasein adalah salah satu diet yang populer untuk anak penyandang autisme. Menurut psikiater anak khusus autisme, Kresno Mulyadi, pada anak autistik memang kasein dan gluten tidak terserap dengan baik di usus. Seperti saringan santan dengan pori yang terlalu besar, dinding usus anak penyandang autisme meloloskan dua protein ini tanpa proses yang normal dalam bentuk molekul besar atau dikenal sebagai peptida opioid.
Peptida ini kemudian masuk ke darah dan beredar ke seluruh tubuh. Di otak, Kresno mengatakan, peptida akan ditangkap oleh reseptor yang khusus menangkap zat yang mengandung candu, yaitu reseptor opioid. Efek yang ditimbulkan dari penangkapan itu mirip dengan kecanduan. Itulah kenapa Neo berperilaku seperti orang fly.
Kresno, yang juga menulis buku Autism is Curable, menjelaskan bahwa metabolisme tersebut bisa dicek dengan darah. Pada darah anak autistik dapat ditemui zat seperti morfin yang merupakan turunan kasein dan gluten, yaitu caseomorphin dan gluteomorphin. Efeknya adalah hilang kesadaran, seperti mengkonsumsi narkotik yang mengandung asam lisergat dietilamida (LSD).
Namun hasil metabolisme seperti itu tidak ditemui oleh Hardiono dalam percobaannya. Wakil Ketua Yayasan Autisme Indonesia ini dalam percobaannya memberikan asupan gluten dan kasein kepada anak penyandang autisme dan anak normal. Ternyata tak satu pun anak memiliki caseomorphin dan gluteomorphin dalam urine mereka. Maka, kata dia, teori peningkatan penyerapan peptida opioid tidak terbukti. Menurut Hardiono, beberapa penelitian terbaru juga menunjukkan hasil yang sama: nihil.
Memang dulu ada penelitian ilmiah yang menemukan kandungan zat ini pada anak penyandang autisme yang mengkonsumsi gluten dan kasein. Tapi hasil positif dalam penelitian terdahulu ditengarai karena masalah alat uji. Sekarang, dengan teknologi yang lebih presisi, beberapa penelitian justru menunjukkan hasil negatif.
Salah satunya adalah temuan dari Pusat Penelitian dan Informasi Bioteknologi (NCBI) yang ditulis dalam jurnal berjudul "Gluten-and Casein-Free Diets for Autistic Spectrum Disorder". Kesimpulan dari penelitian pada 2004 iniadalah diet bebas kasein dan gluten tidak mempengaruhi keterampilan kognitif, kemampuan bahasa, dan kemampuan motorik anak autistik.
Posisi ilmiah tersebut diperkuat dalam jurnal Absence of Urinary Opioid Peptides in Children with Autism pada 2008. Kajian yang juga diterbitkan oleh NCBI itu menunjukkan bahwa masih kurang bukti untuk menyatakan peptida opioid sebagai penanda biokimia anak penyandang autisme. Jadi keberadaan turunan protein akibat gangguan pencernaan kasein dan gluten ini bisa ditemukan pada anak mana pun, tidak spesifik untuk anak autistik.
Kresno mengakui adanya perbedaan pendapat soal itu. "Memang penelitian masih terus-menerus dilakukan. Tapi, dalam praktek kami, ketika menerapkan diet ini, terapi terhadap anak-anak autistik berjalan lebih baik," ujarnya. Kresno mengatakan anak autistik butuh enam jam setiap hari untuk terapi. Dengan diet ini, kata dia, anak-anak dengan autisme dapat menjalani terapi tanpa harus mengkonsumsi obat penenang atau tranquilizer.
Sedikit berbeda dari Kresno, Hardiono mengatakan perbaikan perilaku saat terapi itu memang merupakan hasil dari terapi, bukan dari diet bebas gluten dan kasein. "Dalam pelayanan medis, dokter tidak perlu memberikan diet bebas gluten dan kasein untuk anak autistik," ujarnya. Terapi perilaku adalah satu-satunya metode yang terbukti secara teori dan klinis mampu memperbaiki kemampuan anak penyandang autisme.
Hardiono mengakui memang ada laporan dari orang tua yang memiliki anak penyandang autisme menunjukkan pengubahan perilaku karena konsumsi gluten dan kasein. Namun ia meminta kasus-kasus khusus tersebut dilihat lebih lanjut. Mungkin saja ada penyebab lain yang memicu. Untuk Indonesia, belum ada kesepakatan pedoman penanganan anak autistik. Maka, Hardiono mengatakan, di Yayasan Autisme Indonesia-dia menjadi wakil ketua di sana-ada dokter yang menyarankan diet bebas gluten dan bebas kasein, ada pula yang tidak. "Bagi saya, diet yang tepat untuk anak autistik tidak ada. Makan apa saja bisa," katanya.
Dianing Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo